Minggu, 31 Januari 2010

HUJAN AKHIR 2006

Sejenak luangkan waktu
dengarkan melodi hujan
bersandar ke dinding
lupakan risau zaman
hujan adalah kawan
tuk lupakan goresan
masa silam
yang kelam
hujan adalah ilham tuk fahami
kebenaran
dibalik awan gemawan
hujan adalah senandung tanpa batas
yang mengakhiri kekeringan jiwa
dengan pendar-pendar cinta
hujan mengakhiri kemarau hati
menumbuh kembangkan cinta
menembus batas
ekstase jiwa..

Jumat, 15 Januari 2010

Meski kau pisahkan aku dengan
dunia luar
kau putuskan hubungan
dalam pergaulan
kau asingkan dari
keramaian
namun hati tetap
damai..
bercinta bersama RABBI..
TSM-JENU

Melodi Hujan

MELODI HUJAN
Bangilan diguyur hujan
aroma tanah
gremicik air
mengingatkan kembali
kampung halaman
ingat irama desa
menari diatas langit intuisi
telapak kaki para bocah
bahagia
tertawa bersama
11 sept. 05

Anasir Hidup

ANASIR HIDUP
Yang dari tanah kembali ketanah
Yang dari air kembali ke air
Yang dari api kembali ke api
Yang dari angin kembali ke angin
Yang dari cahaya kembali ke cahaya
kembali..
lebur..
musnah..
sirna..
sunyi..

2006

Mimpi

MIMPI 2005
Kehidupan adalah sebuah petaka
perjalanan panjang melelahkan
Penuh liku dan halangan
siapkan hati baja
semangat membara
walau tak sekuat matahari
gejolak hati tak pernah mati
walau tak setegar batu karang
harapan kokoh menjulang
kejar seribu angan
genggam dunia
hiasi langit dengan tawa
mimpi tak boleh berhenti
mimpi senantiasa abadi
mimpi harus bersemi
bersemi diujung pagi
suci...

Rabu, 13 Januari 2010

URIP IKU ANA KANG NGURIPI

URIP IKU ANA KANG NGURIPI

YA KHAYU, YA KHAYUMU
URIP IKU ANA KANG NGURIPI
Duh yayi ingkang ka-ebekan kalimput ing kasenengan. Mugi kapiyarsakna atur kula sejatosipun duk nalika Ibu anggarbini lajeng sapunika dumugi lekipun keraos anggerahi ing riku emaring sarira, kumesaring panggalih mahanani wontenipun kula tuwin adi kula estri, punika kasebat “Marmati” wandene medal kula saking dada sareng ngajengaken uwating jabang bayi, punika wonten ingkang rumiyin saking marga ina dipun wastani kawah, dados adi kula ingkang sipatipun petak punika tumenten medalipun bayi saking marga ina nenggih salira panjenengan punika sasampunipun makaten lajeng kasusul medalipun ari-ari, ingkang rayi paduka ingkang rupinipun jene.
Lajeng kasundul medalipun rah, dados rayi paduka ingkang rupinipun abrit sinarenganipun mangsa pupakipun puser, dados rayi paduka ingkang rupinipun cemeng.
Kajawi ingkang kula aturaken wau yektinipun taksih wonten malih ingkang dipun wastani saderek, medal sareng sadinten, inggih punika pepataranipun panjenengan ingkang sareng lairipun, malah mboten namung manungsa kemawon, nanging senadiyan Dewa Denawa, gandrarwo sato iwen, buron wana, buron toya, buron iberan lan sanes-sanesipun punika kasebut manjing dados saderek, kula-warga panjenengan nanging menawi dipun pepetri hadanipun alus, sami purun ambau reksa panjenengan.

KITAB MUSARAR JAYABAYA

Kitab Musarar inganggit
Duk Sang Prabu Jayabaya
Ing Kediri kedhatone
Ratu agagah prakosa
Tan ana kang malanga
Parang muka samya teluk
Pan sami ajrih sedaya

BAWANA AGENG DAN BAWANA ALIT

Sejak manusia hidup secara sederhana, belum mengenakan pakaian dan tempat tinggalnya berpindah-pindah. Mereka mempunyai keyakinan bahwa ada kekuatan besar di luar kekuatan manusia.kekuatan besar diluar dirinya itu itu yang menguasai segalanya. Kalau dapat membujuk dan menyanjungnya, meraka yakin kekuatan besar itu akan baik pula. Mulailah manusia memuja dan meyembah segala sesuatu yang berbentuk besar dan dhsyat seperti kayu, batu, air terjun, lubuk, bulan, matahari, juga hewan, gunung, sungai dan samudra.

NGAMBAH ALAM SUNYA RURI

Merema Sing Ndipet

Manawi miturut pamanggih kula, ingkang tumindakipun sarwa-sarwi sruwat-sruwut, srengkat-srengkot, rupak ing pangerti (manawi ginagas tansaya ngranuhi), rungsit (rekaos marginipun), tur remit (bebasan madosi susuhing angin), werit (tebih sarta awrat kajangka gegayuhanipun), wedharanipun rerumpakan “merema (mripat) sing ndhipet” punika mengku suraos bilih nalika laku patrap semedi, meleng cipta, manembah lan memuji asmaning Hyang Suksma Kawekas, tiyang kedah resik ing pangangen-angenipun, nora kasisiban ing pangajeng-ajeng, ateges estu kedah suwung tanpa paminta punapa-punapa.

SERAT JANGKA SECH SUBAKIR

PUPUH I
ASMARANDANA

– 01 –

Karya penget genya nulis, supadya dadya tututunan, mring weka kadang wargane, tuwin antuka kang rahmat, timbang nganggur klekaran, becik ngleluri leluhur, caritane jaman kuna.

– 02 –

Sejarah para Narpati, kang mengku rat nata praja, tanah Jawa sedaya, mugi paringa nugraha, marang para kawula, tinebihna ing bebendu, kalawan ing ila-ila.

Membuka Rahasia ilmu Kasampurnan

Ketika selesai membangun pesantren, Raden Paku teringat salah satu bungkusan yg harus dibukanya. Ia ingat kata2 ayahnya kalau bingkisan itu berisi rahasia ilmu sejati yg harus dibacanya. Dengan hati2 dibukanya bungkusan tsb. Didalamnya ada beberapa lembar daun lontar bertuliskan huruf arab pegon. Segera dibacanya tulisan tsb.

A. Tentang Macam Ilmu Manusia.

Adalah suatu yg pasti terjadi anakku, ketahuilah ini, renungkan demi kasampurnaan ilmumu. Di dunia ini, entah kapan, sakit, dan mati pasti terjadi. Maka hendaklah waspada, tidak urung kita juga akan mati, jangan lupa pada sangkan paran dumadi. Untuk itu, di dunia ini hendaklah selalu prihatin. Agar benar2 sempurna engkau berilmu.

Filosofi Semar

Semar dalam bahasa Jawa (filosofi Jawa) disebut Badranaya

Bebadra = Membangun sarana dari dasar

Naya = Nayaka = Utusan mangrasul

Artinya : Mengembani sifat membangun dan melaksanakan perintah Allah demi kesejahteraan manusia

Filosofi, Biologis Semar

Javanologi : Semar = Haseming samar-samar (Fenomena harafiah makna kehidupan Sang Penuntun). Semar tidak lelaki dan bukan perempuan, tangan kanannya keatas dan tangan kirinya kebelakang. Maknanya : “Sebagai pribadi tokoh semar hendak mengatakan simbul Sang Maha Tumggal”. Sedang tangan kirinya bermakna “berserah total dan mutlak serta selakigus simbul keilmuaan yang netral namun simpatik”.

AL FAATIHAH

AL FAATIHAH ( BEBUKA )

Surat kaping 1 : 7 ayat

( Tumuruning wahyu ana ing Mekkah, tumurun sawuse surat Al-Muddatstsir )

Bahasa Arab :

1. Bismillahir rahmaanir rahim

2. Alhamdu lillaahi rabbil ‘aalamiin

3. Arrahmanir rahiim

JAMUS KALIMO SODO

JAMUS KALIMO SODO


Papat kalima pancer merupakan sebuah wacana yang perlu terus kita gali dan kita renungkan plus bertukar fikiran dengan orang-orang tua kita yang sudah mumpuni baik dari ilmu tahid dan ilmu rasanya. Menurut petunjuknya papat kalima pancer itu pusatnya ada di PANCER (yaitu lubuk hati yang paling dalam) dan PAPAT-nya adalah unsur-unsur ilahi yang kita sendiri hak untuk mendapatkannya. Karena dengan menggunakan PAPAT itu kita bisa selalu ingat kepada Allah Subhanahu wata’ala sebagai penguasa alam semesta ini.


Ajaran Sri Rama

Berdasarkan “Serat Rama” atau Ramayana Kakawin, yang disadur oleh pujangga Yasadipura I dan diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia oleh Kamajaya.

BARATA BERTAKHTA SEBAGAI
RAJA AYODYANEGARA
MELAKSANAKAN AMANAT DAN
AJARAN SANG BIJAKSANA RAMAWIJAYA

Ajaran Ranggawarsito

Pembukaan :

Amenangi jaman edan

ewuh aya ing pambudi

Melu edan nora tahan

yen tan melu anglakoni

boya kaduman melik

Kaliren wekasanipun

Dilalah karsa Allah

Begja-begjane kang lali

luwih begja kang eling lawan waspada”

(pupuh 7, Sent Kalatidha)

Terjemahan :

Mengalami jaman gila

sukar sulit (dalam) akal ikhtiar

Turut gila tidak tahan

kalau tak turut menjalaninya

tidak kebagian milik

kelaparanlah akhirnya

Takdir kehendak Allah

sebahagia-bahagianya yang lupa

lebih berbahagia yang sadar serta waspada”.

- Syair jaman edan, dimana manusia kehilangan dasar sikap dan perilaku yang benar.

- Di dalam Serat Kalatidha, Sabda Pranawa Jati Ki pujangga melihat kesusahan yang terjadi pada jaman itu . . .

Rajanya utama, patihnya pandai dan menteri-menterinya mencita-citakan kesejahteraan rakyat serta semua pegawai-pegawainya cakap. Akan tetapi banyak kesukaran-kesukaran menimpa negeri; orang bingung, resah dan sedih pilu, serta dipenuhi rasa kuatir dan takut. Banyak orang pandai dan berbudi luhur jatuh dari kedudukannya. Banyak pula yang sengaja menempuh jalan salah . . . harga diri turun . . . akhlak merosot. Pada waktu-waktu seperti itu berbahagialah mereka yang sadar/ingat dan waspada.

- Menghadapi jaman seperti itu Ki Ronggowarsito memberikan petuah-petuahnya, yaitu yang dapat disebut sebagai empat pedoman hidup.

I. Tawakal marang Hyang Gusti

- Pedoman yang pertama; yaitu kepercayaan iman dan pengharapan kepada Tuhan.

- Pedoman inilah yang menjadi dasar hidup, perilaku dan karya manusia.

1. “Mupus papasthening takdir, puluh-puluh anglakoni kaelokan”

(pupuh 6, Kalatidha).

Arti :

Menyadari ketentuan takdir, apa boleh buat (harus) mengalami keajaiban. Manusia hidup harus menerima keputusan Tuhan.

2. “Dialah karsa Allah, begja-begjane kang lali, luwih becik eling lawan waspada”

(pupuh 7, Kalatidha)

Arti :

- Memanglah kehendak Allah, sebahagia-babagianya yang lupa, lebih bahagia yang sadar ingat dan waspada.

- Manusia harus selalu menggantungkan diri kepada kehendak (karsa) Allah.

- Karsa atau kehendak Allah itu seperti yang tersirat dalam ajaran agama, kitab suci, hukum-hukum alam, adat istiadat dan ajaran leluhur.

3. Muhung mahasing ngasepi, supaya antuk parimirmaning Hyang suksma.

(pupuh 8, Kalatidha)

Arti:

Sebaiknya hanya menjauhkan diri dari keduniawian, supaya mendapat kasih sayang Tuhan.

- Di kala ingin mendekatkan jiwa pada Tuhan, memang pikiran dan nafsu harus terlepas dari hal keduniawian.

- Supayantuk: Supaya dilimpahi Parimirmaning Hyang suksma; Kasih sayang Tuhan.

4. Saking mangunah prapti, Pangeran paring pitulung.

(pupuh 9, Kalatidha)

Arti :

Pertolongan datang dari Tuhan, Tuhan melimpahkan pertolongan.

- Hanya Dia, Puji sekalian alam, Gembala yang baik, yang dapat menolong manusia dalam kesusahannya.

- Mangunah : Pertolongan Tuhan

Prapti : Datang.

5. Kanthi awas lawan eling, kang kaesthi antuka parmaning suksma.

(pupuh 10, Kalatidha)

Arti:

Disertai dasar/awas dan ingat, bertujuan mendapatkan kasih sayang Tuhan.

6. Ya Allah ya Rasululah kang sifat murah lan asih.

(pupuh 11, Kalatidha)

Arti :

Ya Allah ya nabi yang pemurah dan pengasih.

7. Badharing sapudendha, antuk mayar sawatawis, borong angga suwarga mesti martaya.

(pupuh 12, Kalatidha)

Arti

(Untuk) urungnya siksaan (Tuhan), mendapat keringanan sekedarnya, (sang pujangga) berserah diri (memohon) sorga berisi kelanggengan.

- Pengakuan kepercayaan bahwa pada Tuhanlah letak kesalamatan manusia.

Pupuh-pupuh tambahan:

8. Setyakenang naya atoh pati, yeka palayaraning atapa, gunung wesi wasitane tan kedap ing pan dulu ning dumadi dadining bumi, akasa mwang; riya sasania paptanipun, jatining purba wisesa, tan ana lara pati kalawan urip, uripe tansah tungga”.

(pupuh 88, Nitisruti)

Arti:

Bersumpahlah diri dengan niat memakai tuntunan (akan) mempertaruhkan nyawa, yaitulah laku orang bertapa di (atas) gunung besi (peperangan) menurut bunyi petuah. Tak akan salah pandangannya terhadap segala makhluk dan terjadinya bumi dan langit serta segala isinya. Sekaliannya itu sifat Tuhan; tak ada mati, hiduppun tiada, hidupnya sudah satu dengan yang Maha suci.

- Karya sastra Nitisruti ditulis oleh Pangeran di Karangayam (Pajang), pada tahun saka atau 1591 M.

- Mengenai tekad untuk mengenal Tuhan dan rahasiaNya.

- Mengenal kekuasaan di balik ciptaan-Nya, karena sudah bersatu dengan Gusti-Nya.

9. Sinaranan mesu budya, dadya sarananing urip, ambengkas harda rubeda, binudi kalayan titi, sumingkir panggawe dudu, dimene katarbuka, kakenan gaibing widi.

(Dari serat Pranawajati)

Arti:

Syaratnya ialah memusatkan jiwa, itulah jalannya di dalam hidup, menindas angkara yang mengganggu, diusahakan dengan teliti, tersingkirkanlah perbuatan salah, supaya terbukalah mengetahui rahasia Tuhan.

- Serat Pranawajati ditulis oleh Ki R.anggawarsita

- Pupuh ini menjelaskan jalan kebatinan untuk mencapai (rahasia) Tuhan.

10. Pamanggone aneng pangesthi rahayu, angayomi ing tyas wening, heninging ati kang suwung, nanging sejatine isi, isine cipta kang yektos”.

(Dari serat Sabda Jati)

Arti:

Tempatnya ialah di dalam cita-cita sejahtera, meliputi hati yang terang, hati yang suci kosong, tapi sesungguhnya berisi, isinya cipta sejati.

11. Demikianlah orang yang dikasihi Tuhan, yang selalu mencari-Nya untuk memuaskan dahaga batin. Ia akan berbahagia dan merasa tentram sejahtera; sadar akan arti hidup maupun tujuan hidup manusia. Pembawaannya rela, jujur dan sabar; pasrah, sumarah lan nanima, berbudi luhur dan teguh dihati.

II. Eling lawan Waspada

- Pedoman yang kedua; yaitu sikap hidup yang selalu sadar-ingat dan waspada.

- Pedoman inilah yang menjaga manusia hingga tidak terjerumus ke dalam lembah kehinaan dan malapetaka.

Pupuh-pupuh :

1. Dilalah karsa Allah, begja-begjane kang lali luwih becik kang eling lawan waspada.

(Pupuh 1, Kalatidha)

Arti :

akdir kehendak Allah, sebahagia-bahagianya yang lupa, lebih bahagia yang sadar / ingat dan waspada.

2. Yen kang uning marang sejatining kawruh, kewuhan sajroning ati, yen tan niru nora arus, uripe kaesi-esi, yen niruwa dadi asor.

(Pupuh 8, Sabda Jati)

Arti:

Bagi yang tidak mengetahui ilmu sejati bimbanglah di dalam hatinya, kalau tidak meniru (perbuatan salah) tidak pantas, hidupnya diejek-ejek, kalau meniru (hidupnya} menjadi rendah.

3. Nora ngandel marang gaibing Hyang Agung, anggelar sekalir-kalir, kalamun temen tinemu, kabegjane anekani, kamurahaning Hyang Monon”.

(Pupuh 9, Sabda Jati)

Arti :

Tidak percaya kepada gaib Tuhan, yang membentangkan seluruh alam, kalau benar-benar usahanya, mestilah tercapai cita-citanya, kebabagiaannya datang, itulah kemurahan Tuhan.

- Serat Sabda Jati adalah juga ditulis oleh pujangga Ki Ranggawarsita.

- Pupuh 8 membicarakan keragu-raguan hati karena melihat banyak orang menganggap perbuatan salah sebagai sesuatu yang wajar.

- Akan tetapi bagi yang sadar/ingat dan waspada, tuntunan Tuhan akan datang membawa kebahagiaan batin.

4. Mangka kanthining tumuwuh, salami mung awas eling, eling lukitaning alam, dadi wiryaning dumadi, supadi nir ing Sangsaya, yeku pangreksaning urip.

(Pupuh 83, Wedhatama)

Arti :

Untuk kawan hidup, selamanya hanyalah awas dan ingat ingat akan sasmita alam, menjadi selamatlah hidupnya, supaya bebas dari kesukaran, itulah yang menjaga kesejahteraan hidup.

5. Dene awas tegesipun, weruh warananing urip, miwah wisesaning Tunggal, kang atunggil rina wengi, kang makitun ing sakarsa, gumelar ngalam sekalir.

(Pupuh 86, Wedhatama)

Arti :

Adapun awas artinya, tahu akan tabir di dalam hidup, dan kekuasaan Hyang Maha Tunggal, yang bersatu dengan dirinya siang malam, yang meliputi segala kehendak, disegenap alam seluruhnya.

- Wedhatama ditulis oleh Pangeran Mangkunegara IV.

6. Demikianlah sikap hidup yang berdasarkan “Eling lawan waspada”; yaitu selalu mengingat kehendak Tuhan sehingga tetap waspada dalam berbuat; untuk tidak mendatangkan celaka. Kehendak Tuhan mendapat dicari/ditemukan di dalam hukum alam, wahyu jatmika yang tertulis dalam kitab suci maupun karya sastra, adat-istiadat, nasehat leluhur/orang tua dan cita-cita masyarakat.

7. Eling” juga berarti selalu mengingat perbuatan yang telah dilakukan, baik maupun buruk, agar “waspada” dalam berbuat. Berkat sikap “eling lawan waspada” ini, terasalah ada kepastian dalam langkah-langkah hidup.

III. Rame ing gawe.

- Pedoman hidup yang ketiga, yaitu hidup manusia yang dihiasi daya-upaya dan kerja keras.

- Menggantungkan diri pada wasesa dan karsa Hyang Gusti adalah sama dengan menerima takdir.

Karena siapakah yang dapat meriolak kehendak Nya?

1. Ada tertulis:

Tidak ada sahabat yang melebihi (ilmu) pengetahuan Tidak ada musuh yang berbahaya dan pada nafsu jahat dalam hati sendiri Tidak ada cinta melebihi cinta orang tua kepada anak-anaknya Tidak ada kekuatan yang menyamai nasib, karena kekuatan nasib tidak tertahan oleh siapapun”.

(Ayat 5, Bagian II Kitab Nitiyastra).

2. Tetapi apakah kekuatiran atau ketakutan akan nasib menjadi akhir dan pada usaha atau daya upaya manusia? Berhentikah manusia berupaya apabila kegagalan menghampiri kerjanya?

3. …. Karana riwayat muni, ikhtiar iku yekti, pamilihe reh rahayu, sinambi budi daya, kanthi awas lawan eling, kang kaesthi antuka parmaning suksma.

(Pupuh 10, Kalatidha)

Arti :

…. Karena cerita orang tua mengatakan, ikhtiar itu sungguh-sungguh, pemilih jalan keselamatan, sambil berdaya upaya disertai awas dan ingat, yang dimaksudkan mendapat kasih sayang Tuhan.

- Menerima takdir sebagai keputusan terakhir, tidak berarti mengesampingkan ikhtiar sebagai permulaan daripada usaha.

4. Kuneng lingnya Ramadayapati, angandika Sri Rama Wijaya, heh bebakal sira kiye, gampang kalawan ewuh, apan aria ingkang akardi, yen waniya ing gampang, wediya ing kewuh, sabarang nora tumeka, yen antepen gampang ewuh dadi siji, ing purwa nora ana.

(Tembang Dandanggula, Serat Rama)

Arti :

Haria sehabis haturnya Ramadayapati (Hanoman), bersabdalah Sri Rama : Hai, kau itu dalam permulaan melakukan kewajiban, ada gampang dan ada sukar, itu adalah (Tuhan) yang membuat. Kalau berani akan gampang; takut akan yang sukar, segala sesuatu tidak akan tercapai. Bila kau perteguh hatimu, gampang dan sukar menjadi satu, (itu) tidak ada, tidak dikenal dalam permulaan (usaha).

5. Demikianlah, takdir yang akan datang kelak tidak seharusnya menghentikan usaha manusia. Niat yang tidak baik adalah niat “mencari yang mudah, menghindari yang sukar”. Semua kesukaran atau tugas harus dihadapi dengan keteguhan hati. “Rame ing gawe” dan “Rawe-rawe rantas malang-malang putung” adalah semangat usaha yang lahir dari keteguhan hati itu.

Catatan:

Pupuh ke empat adalah cuplikan dari serat Rama, yang ditulis oleh Ki Yosadipura.

(1729 – 1801 M)

IV. Mawasdiri:

- Pedoman hidup yang keempat, yaitu perihal mempelajari pribadi dan jiwa sendiri; yang merupakan tugas semua mamusia hidup.

Pupuh-pupuh:

1. Wis tua arep apa, muhung mahasing ngasepi, supayantuk parimirmaning Hyang Suksma.

(Pupuh 8, Kalatidha)

Arti :

Sudah tim mau apa, sebaiknya hanya menjauhkan diri dari keduniawian, supaya mendapat/kasih sayang Tuhan.

- Nasehat agar tingkat orang yang telah berumur menunjukkan martabat.

2. Jinejer neng wedhatama, mrih tan kemba kembenganing pambudi, sanadyan ta tuwa pikun, yen tan mikani rasa, yekti sepi asepi lir sepah samun, samangsaning pakumpulan, gonyak-ganyuk ngliling semi.

(Pupuh 2, Pangkur, Wedhatama)

Arti:

Ajarannya termuat dalam Wedhatama, agar supaya tak kendor hasrat usahanya memberi nasehat, (sebab) meskipun sudah tua bangka, kalau tak ketahuan kebatinan, tentulah sepi hambar bagaikan tak berjiwa, pada waktu di dalam pergaulan, kurang adat memalukan.

3. …. Pangeran Mangkubumi ing pambekanipun. Kang tinulad lan tinuri-luri, lahir prapteng batos, kadi nguni ing lelampahane, eyang tuwan kan jeng senopati, karem mawas diri, mrih sampurneng kawruh.Kawruh marang wekasing dumadi, dadining lalakon, datan samar purwa wasanane, saking dahat waskitaning galih, yeku ing ngaurip, ran manungsa punjul.

(Dari babad Giyanti)

Arti :

….Pangeran Mangkubumi budi pekertinya. Yang ditiru dan dijunjung tinggi, lahir sampai batin, seperti dahulu sejarahnya, nenek tuan kanjeng senopati gemar mawas diri untuk kesempumaan ilmunya. Ilmu tentang kesudahan hidup, jadinya lelakon, tidak ragu akan asal dan kesudahannya (hidup), karena amat waspada di dalam hatinya, itulah hidup, disebut manusia lebih (dari sesamanya).

- Babad Giyanti ditulis oleh pujangga Yasadipura I. Isinya memberi contoh tentang seseorang yang selalu mawas diri, yaitu Panembahan Senopati.

4. Mawas diri adalah usaha meneropong diri sendiri dan dengan penuh keberanian mengubah pribadinya. Maka inilah asal dan akhir dari pada keteguhan lahir dan batin.

5. Laku lahir lawan batin, yen sampun gumolong, janma guna utama arane, dene sampun amengku mengkoni, kang cinipta dadi, kang sinedya rawuh”.

(Dari babad Giyanti)

Arti :

Amalan lahir dan batin, bilamana sudah bersatu dalam dirinya, yang demikian itu disebut manusia pandai dan utama, karena ia sudah menguasai dan meliputi, maka yang dimaksudkan tercapai, yang dicita-citakan terkabul.

6. Nadyan silih prang ngideri bumi, mungsuhira ewon, lamun angger mantep ing idhepe, pasrah kumandel marang Hyang Widi, gaman samya ngisis, dadya teguh timbul).”

(Tembung Mijil, Dari babad Giyanti)

Arti :

Meski sekalipun perang mengitari jagad, musuhnya ribuan, tetapi asal anda tetap di dalam hati, berserah diri percaya kepada Tuhan, semua senjata tersingkirkan, menjadi teguh kebal.

7. Demikianlah ajaran Ki Ranggawarsita, yaitu mengenai empat pedoman hidup. Begitulah orang yang menggantungkan dirinya kepada kekuasaan Tuhan dan menerima tuntunan-Nya. Ia akan memiliki kepercayaan pada diri sendiri, tetapi tanpa disertai kesombongan maupun keangkaraan.

Cita-cita kemasyarakatan.

1. Ki pujangga Ranggawarsito mencita-citakan pula datangnya jaman Kalasuba, yaitu jaman pemerintahan Ratu Adil Herucakra. Karena itu beliau merupakan seorang penyambung lidah rakyatnya, yang menciptakan masyarakat “panjang punjung tata karta raharja” …. “gemah ripah loh jinawi” ….loh subur kang sarwa tinandur” dimana “wong cilik bakal gumuyu.

2. Tiga hal yang pantas diperjuangkan, untuk menegakkan pemerintahan Ratu Adil; yaitu: Bila semua meninggalkan perbuatan buruk, bila ada persatuan dan bila hadir pemimpin-pemimpin negara yang tidak tercela lahir batinnya.

3. Dengarlah!

4. Ninggal marang pakarti tan yukti, teteg tata ngastuti parentah, tansah saregep ing gawe, ngandhap lan luhur jumbuh, oaya ana cengil-cengil, tut runtut golong karsa, sakehing tumuwuh, wantune wus katarbuka, tyase wong sapraya kabeh mung haryanti, titi mring reh utama.

(Dari Serat Sabdapranawa)

Arti :

Meninggalkan perbuatan buruk, tetap teratur tunduk perintah, selalu rajin bekerja, bawahan dan atasan cocok-sesuai tak ada persengketaan, seia sekata bersatu kemauan, dari segala makhluk, sebab telah terbukalah, tujuan orang seluruh negara hanyalah kesejahteraan, faham akan arti ulah keutamaan.

5. Ngarataning mring saidenging bumi, kehing para manggalaningpraya, nora kewuhan nundukake, pakarti agal lembut, pulih kadi duk jaman nguni, tyase wong sanagara, teteg teguh, tanggon sabarang sinedya, datan pisan nguciwa ing lahir batin, kang kesthi mung reh tama.

(Tembang Dandanggula, Serat Sabdapranawa)

Arti:

Merata keseluruh dunia; sebanyak-banyak pemimpin negara tak kesukaran menjalankan perbuatan kasar-halus; kembalilah seperti dahulu kala, tujuan orang seluruh negara, tetap berani sungguh, boleh dipercaya segala maksudnya, tak sekali-kali tercela lahir batinnya, yang dituju hanyalah selamat sejahtera.

6. Demikianlah yang dicita-citakan pujangga agung Ranggawarsita.

AJARAN DAN PEMIKIRAN SYEKH SITI JENAR

AJARAN DAN PEMIKIRAN SYEKH SITI JENAR

Kepada Yth Pembaca Yang Budiman,
Artikel ini disampaikan untuk menambah wacana dan referensi untuk memperkaya pemahaman dan bisa juga untuk tujuan menambah perbendaharaan pengetahuan ajaran-ajaran jawa semata. Soal benar dan salah ajaran beliau, kami mohon agar para pembaca bisa arif dan bijaksana. Terima kasih. (Editor)
Ketika dihadapkan pada peradaban baru, banyak di antara manusia yang memilih jalan yang dianggap benar. Jalan wali adalah salah satu yang mungkin bisa membawa manusia memasuki peradaban yang penuh dengan kesadaran untuk menuju Tuhan, karena jalan wali adalah jalan menuju pembebasan…..
Syekh Siti Jenar adalah salah satu wali yang memiliki ajaran dan pemikiran kontroversial. Banyak ulama melihat ajaran Beliu dari sudut pandang tasawwuf dan menjadikan persoalan yang timbul menjadi lain, karena dianggap menyesatkan tetapi justru menjadi suatu ajaran yang sudah mencapai derajat ”fana”.
Apa dan bagaimana ajaran dan pemikiran Syekh Siti Jenar yang telah menemukan ”sejati ning urip” hidup yang lahir. Apakah ajaran dan pemikiran Beliu dapat kita petik untuk bekal kehidupan atau malah menyesatkan ….
Mari kita ungkap ajaran-ajaran Beliu serta membuka misteri yang selama ini masih menjadi teka-teki yang belum terpecahkan,sbb:
140 AJARAN DAN PEMIKIRAN SYEKH SITI JENAR
001. …. tidak usah kebanyakan teori semu, karena sesungguhnya ingsun (saya) inilah Allah. Nyata ingsun yang sejati, bergelar Prabu Satmata, yang tidak ada lain kesejatiannya yang disebut sebangsa Allah.
002. Jika ada seseorang manusia yang percaya kepada kesatuan lain selain Allah SWT, maka ia akan kecewa karena ia tidak akan memperoleh apa yang ia inginkan.
003. Allah itu adalah keadaanku, lalu mengapa kawan-kawanku sama memakai penghalang? Dan sesungguhnya aku ini adalah haq Allah pun tiada wujud dua; saya sekarang adalah Allah, nanti Allah, dzahir bathin tetap Allah, kenapa kawan-kawan masih memakai pelindung?.
004. Sebenarnya keberadaan dzat yang nyata itu hanya berada pada mantapnya tekad kita, tandanya tidak ada apa-apa, tetapi harus menjadi segala niat kita yang sungguh-sungguh.
005. Tidak usah banyak bertingkah, saya ini adalah Tuhan. Ya, betul betul saya ini adalah Tuhan yang sebenarnya, bergelar Prabu Satmata, ketahuilah bahwa tidak ada tuhan yang lain selain saya.
006. Saya ini mengajarkan ilmu untuk betul-betul dapat merasakan adanya kemanunggalan. Sedangkan bangkai itu selamanya tidak ada. Adapun yang dibicarakan sekarang adalah ilmu yang sejati yang dapat membuka tabir kehidupan. Dan lagi semuanya sama. Tidak ada tanda secara samar-samar, bahwa benar-benar tidak ada perbedaan yang bagaimanapun, saya akan tetap mempertahankan tegaknya ilmu tersebut.
007. Bahwa sesungguhnya, lafadz Allah yaitu kesaksian akan Allah, yang tanpa rupa dan tiada tampak akan membingungkan orang, karena diragukan kebenarannya. Dia tidak mengetahui akan diri pribadinya yang sejati, sehingga ia menjadi bingung. Sesungguhnya nama Allah itu untuk menyebut wakil-Nya, diucapkan untuk menyatakan yang dipuja dan menyatakan suatu janji. Nama itu ditumbuhkan menjadi kalimat yang diucapkan Muhammad Rasulullah.
008. ….. padahal sifat kafir berwatak jisim, yang akan membusuk, hancur lebur bercampur tanah. Lain jika kita sejiwa dengan Dzat Yang Maha Luhur. Ia gagah berani, Maha Sakti dalam syarak, menjelajahi alam semesta. Dia itu pangeran saya, yang mengusai dan memerintah saya, yang bersifat wahdaniyah, artinya menyatukan diri denga ciptaan-Nya. Ia dapat abadi mengembara melebihi peluru atau anak sumpit, bukan budi bukan nyawa, bukan hidup tanpa asal dari manapun, bukan pula kehendak tanpa tujuan. Dia itu yang bersatu padu dengan wujud saya. Tiada susah payah, kodrat dan kehendak-Nya, tiada kenal rintangan, sehingga pikiran keras dari keinginan luluh tiada berdaya. Maka timbullah dari jiwa raga saya kearif-bijaksanaan saya menjumpai ia sudah ada di sana.
009. Syehk Lemah Bang namaku, Rasulullah ya aku sendiri, Muhammad ya aku sendiri,Asma Allah itu sesungguhya dirilu, ya akulah yang menjadi Allah ta’ala.
010. Jika Anda menanyakan di mana rumah Tuhan, maka jawabnya tidaklah sukar. Allah berada pada Dzat yang tempatnya tidak jauh, yaitu berada dalam tubuh manusia. Tapi hanya orang yang terpilih saja yang bisa melihatnya, yaitu orang-orang suni.
011. Rahasia kesadaran kesejatian kehidupan, ya ingsun ini kesejahteraan kehidupan, engkau sejatinya Allah, ya ingsun sejatinya Allah; yakni wujud yang berbentuk itu sejati itu sejatinya Allah, sir (rahasia) itu Rasulullah, lisan (pengucap) itu Allah, jasad Allah badan putih tanpa darah, sir Allah, rasa Allah, rahasia rasa kesejatian Allah, ya ingsun (aku) ini sejatinya Allah.
012. Adanya kehidupan itu karena pribadi, demikian pula keinginan hidup itupun ditetapkan oleh diri sendiri, tidak mengenal roh, yang melestarikan kehidupan, tiada turut merasakan sakit ataupun lelah. Suka dukapun musnah karena tidak diinginkan oleh hidup. Dengan demikian hidupnya kehidupan itu berdiri sendiri.
013. Dzat wajibul maulana adalah yang menjadi pemimpin budi yang menuju ke semua kebaikan. Citra manusia hanya ada dalam keinginan yang tunggal. Satu keinginan saja belum tentu dapat dilaksanankan dengan tepat, apalagi dua. Nah cobala untuk memisahkan Dzat wajibul maulana dengan budi, agar supaya manusia dapat menerima keinginan yang lain.
014. Hyang Widi, kalau dikatakan dalam bahasa di dunia ini adalah baka bersifat abadi, tanpa antara tiada erat dengan sakit apapun rasa tidak enak, ia berada baik disana, maupun di sini, bukan ini bukan itu. Oleh tingkah yang banyak dilakukan dan yang tidak wajar, menuruti raga, adalah sesuatu yang baru.
015. Gagasan adanya badan halus itu mematikan kehendak manusia. Di manakah adanya Hyang Sukma, kecuali hanya diri pribadi. Kelilingilah cakrawala dunia, membubunglah ke langit yang tinggi, selamilah dalam bumi sampai lapisan ke tujuh, tiada ditemukan wujud yang mulia.
016. Kemana saja sunyi senyap adanya; ke Utara, Selatan, Barat, Timur dang Tengah, yang ada di sana hanya adanya di sini. Yang ada di sini bukan wujud saya. Yang ada dalam diriku adalah hampa dan sunyi. Isi dalam daging tubuh adalah isi perut yang kotor. Maka bukan jantung bukan otak yang pisah dari tubuh, laju peasat bagaikan anak panah lepas dari busur, menjelajah Mekkah dan Madinah.
017. Saya ini bukan budi, bukan angan-angan hati, bukan pikiran yang sadar, bukan niat, buka udara, bukan angin, bukan panas, dan bukan kekosongan atau kehapaan. Wujud saya ini jasad, yang akhirnya menjadi jenazah, busuk bercampur tanah dan debu. Napas saya mengelilingi dunia, tanah, api, air, dan udara kembali ke tempat asalnya, sebab semuanya barang baru bukan asli.
018. Maka saya ini Dzat sejiwa yang menyatu, menyukma dalam Hyang Widi. Pangeran saya bersifat Jalil dan Jamal, artinya Maha Mulia dan Maha Idah. Ia tidak mau sholat atas kehendak sendiri, tidak pula mau memerintah untuk shalat kepada siapapun. Adapun shalat itu budi yang menyuruh, budi yang laknat dan mencelakakan, tidak dapat dipercaya dan dituruti, karena perintahnya berubah-ubah. Perkataannya tidak dapat dipegang, tidak jujur, jika dituruti tidak jadi dan selalu mengajak mencuri.
019. Syukur kalau saya sampai tiba di dalam kehidupan yang sejati. Dalam alam kematian ini saya kaya akan dosa. Siang malam saya berdekatan dengan api neraka. Sakit dan sehat saya temukan di dunia ini. Lain halnya apabila saya sudah lepas dari alam kematian. Saya akan hidup sempurna, langgeng tiada ini dan itu.
020. Menduakan kerja bukan watak saya. Siapa yang mau mati dalam alam kematian orang kaya akan dosa. Balik jika saya hidup yang tak kekak ajal, akan langeng hidup saya, tida perlu ini dan itu. Akan tetapi saya disuruh untuk memilih hidup ayau mati saya tidak sudi. Sekalipun saya hidup, biar saya sendiri yang menetukan.
021. …….Betapa banyak nikmat hidup manfaatnya mati. Kenikmatan ini dijumpai dalam mati, mati yang sempurna teramat indah, manusia sejati adalah yang sudah meraih ilmu. Tiada dia mati, hidup selamanya, menyebutnya mati berarti syirik, lantaran tak tersentuh lahat, hanya beralih tempatlah dia memboyong kratonnya.
022. Aku angkat saksi dihadapan Dzat-KU sendiri, susungguhnya tidak ada Tuhan selain Aku. Dan Aku angkat saksi sesungguhnya Muhammad itu utusan-KU, susungguhny yang disebut Allah adalah ingsun (aku) diri sendiri. Rasul itu rasul-KU, Muhammad itu cahaya-KU, aku Dzat yang hidup yang tak kena mati, Akulah Dzat yang kekal yang tidak pernah berubah dalam segala keadaan. Akulah Dzat yang bijaksana tidak ada yang samar sesuatupun, Akulah Dzat Yang Maha Menguasai, Yang Kuasa dan Yang Bijaksana, tidak kekurangan dalam pegertian, sempurna terang benderang, tidak terasa apa-apa, tidak kelihatan apa-apa, hanyalah aku yang meliputi sekalian alam dengan kodrat-KU.
023. Janganlah ragu dan janganlah menyekutukan, karena engkau adalah keberadaan Allah. Disebut Imannya Iman.
024. Jangalah ragu dan janganlah menyekutukan, karena engkau adalah tempat manunggalnya Allah. Disebut Imannya Tauhid.
025. Jangalah ragu dan janganlah menyekutukan, karena engkau adalah sifatnya Allah. Disebut Imannya Syahadat.
026. Jangalah ragu dan janganlah menyekutukan, karena engkau adalah kewaspadaan Allah. Disebut Imannya Ma’rifat.
027. Jangalah ragu dan janganlah menyekutukan, karena engkau adalah menghadap Allah. Disebut Imannya Shalat.
028. Jangalah ragu dan janganlah menyekutukan, karena engkau adalah kehidupannya Allah. Disebut Imannya Kehidupan.
029. Jangalah ragu dan janganlah menyekutukan, karena engkau adalah kepunyaan dan keagungan Allah. Disebut Imannya Takbir.
030. Jangalah ragu dan janganlah menyekutukan, sebab engkau adalah pertemuan Allah. Disebut Imannya Saderah.
031. Jangalah ragu dan janganlah menyekutukan, karena engkau adalah kesucian Allah. Disebut Imannya Kematian.
032. Jangalah ragu dan janganlah menyekutukan, sebab engkau adalah wadahnya Allah. Disebut Imannya Junud.
033. Jangalah ragu dan janganlah menyekutukan, karena engkau adalah bertambahnya nikmat dan anugrah Allah. Disebut Imannya Jinabat.
034. Jangalah ragu dan janganlah menyekutukan, karena engkau adalah asma Nama Allah. Disebut Imannya Wudlu.
035. Jangalah ragu dan janganlah menyekutukan, karena engkau adalah ucapan Allah. Disebut Imannya Kalam.
036. Jangalah ragu dan janganlah menyekutukan, karena engkau adalah juru bicara Allah. Disebut Imannya Akal.
037. Jangalah ragu dan janganlah menyekutukan, karena engkau adalah wujud Allah, yaitu tempat berkumpulnya seluruh jagad makrokosmos, dunia akhirat, surga neraka,arsy kursi, loh kalam, bumi langit, manusia, jin, iblis laknat, malaikat, nabi, wali, orang mukmin, nyawa semua, itu berkumpul di pucuknya jantung, yang disebut alam khayal (ala al-khayal). Disebut Imannya Nur Cahaya.
038. Yang disebut kodrat itu yang berkuasa, tiada yang mirip atau yang menyamai. Kekuasannya tanpa piranti, keadaan wujudnya tidak ada baik luar maupun dalam merupakan kesatuan, yang beraneka ragam.
039. Iradat artinya kehendak yang tiada membicarakan, ilmu untuk mengetahui keadaan, yang lepas jah dari panca indra bagaikan anak gumpitan lepas tertiup.
040. Inilah maksudnya syahadat: Asyhadu berarti jatuhnya rasa, Ilaha berarti kesetian rasa, Ilallah berarti bertemunya rasa, Muhammad berartihasil karya yang maujud dan Pangeran berarti kesejatian hidup.
041. Mengertilah bahwa sesungguhnya inisyahadat sakarat, jika tidak tahu maka sakaratnya masih mendapatkan halangan, hidupnya dan matinya hanya sperti hewan.
042. Syahadat allah, allah badan lebur menjadi nyawa, nyawa lebur menjadi cahaya, cahaya lebur menjadi roh, roh lebur menjadi rasa, rasa lebur sirna kembali kepada yang sejati, tinggalah hanya Allah semata yang abadi dan terkematian. (Terjemahan dalam Bahasa Indonesia).
043. Syahadat Ananing Ingsun, Asyhadu keberadaan-KU, La Ilaha bentuk wajahku, Ilallah Tuhanku, sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Aku, yaitu badan dan nyawa seluruhnya. (Terjemahan dalam Bahasa Indonesia).
044. Syahadat Panetep Panatagana yaitu, yang menjdai bertempatnya Allah, menghadap kepada Allah, bayanganku adalah roh Muhammad, yaitu sejatinya manusia, yaitu wujudnya yang sempurna. (Terjemahan dalam Bahasa Indonesia).
045. Kenikmatan mati tak dapat dihitung ….tersasar, tersesat, lagi terjerumus, menjadikan kecemasan, menyusahkan dalam patihnya, justru bagi ilmu orang remeh…..
046. Segala sesuatu yang wujud, yang tersebar di dunia ini, bertentangan denga sifat seluruh yang diciptakan, sebab isi bumi itu angkasa yang hampa.
047. Shalat limakali sehari adalah pujian dan dzikir yang merupakan kebijaksanaan dalam hati menurut kehendak pribadi. Benar atau salah pribadi sendiri yang akan menerima, dengan segala keberanian yang dimiliki.
048. Pada permulaan saya shalat, budi saya mencuri, pada waktu saya dzikir, budi saya melepaskan hati, menaruh hati kepada seseorang, kadang-kadang menginginkan keduniaan yang banyak, lain dengan Dzat Maha yang bersama diriku, Nah, saya inilah Yang Maha Suci, Dzat Maulana yang nyata, yang tidak dapat dipikirkan dan tidak dapat dibayangkan.
049. Syahadat, shalat, dan puasa itu adalah amalan yang tidak diinginkan, oleh karena itu tidak perlu dilakukan. Adapun zakat dan naik haji ke Makkah, keduanya adalah omong kosong. Itu semua adalah palsu dan penipuan terhadap sesama manusia. Menurut para auliya’ bila manuasia melakukannya maka dia akan dapat pahala itu adalah omong kosong, dan keduanya adalah orang yang tidak tahu.
050. Tiada pernah saya menuruti perintah budi, bersujud-sujud di masjid mengenakan jubah, pahalanya besok saja, bila dahi sudah menjadi tebal, kepala, berbelang. Sesungguhnya hal itu tidak masuk akal. Di dunia ini semua manusia adalah sama. Mereaka semua mengalami suka duka, menderita sakit dan duka nestapa, tiada bedanya satu dengan yang lain. Oleh karena itu saya, Siti Jenar, hanya setia pada satu hal, saja, yaitu Gusti Dzat Maulana.
051. ….Gusti Dzat Maulana. Dialah yang luhur dan sangat sakti, yang berkuasa Maha Besar, lagi pula memiliki dua puluh sifat, kuasa atas segala kehendak-Nya. Dialah Maha Kuasa pangkal mula segala ilmu, Maha Mulia, Maha Indah, Maha Sempurna, Maha Kuasa, Rupa warna-nya tanpa cacat, seperti hamba-Nya. Di dalam raga manusia ia tiada tanpak. Ia sangat sakti menguasai segala yang terjadi, dan menjelajahi seluruh alam semesta, Ngindraloka.
052. Hyang Widi, wjud yang tak tampak oleh mata, mirip dengan ia sendiri, sifat-sifatnya mempunyai wujud, sperti penampakan raga yang tiada tanpak. Warnanya melambangkan keselamatan, tetapi tanpa cahaya atau teja, halus, lurus terus menerus, menggambarkan kenyataan tiada dusta, ibaratnya kekal tiada bermula, sifat dahulu yang meniadakan permulaan, karena asal diri pribadi.
053. Mergertilah bahwa sesungguhnya ini syahadat sakarat, jika tidak tahu maka sekaratnya masih mendapatkan halangan, hidupnya dan matinya hanya seperti hewan.
054. Syekh Siti Jenar mengetahui benar di mana kemusnahan anta ya mulya, yaitu Dzat yang melanggengkan budi, berdasarkan dalil ramaitu, ialah dalil yang dapat memusnahkan beraneka ragam selubung, yaitu dapat lepas bagaikan anak panah, tiada dapat diketahui di mana busurnya. Syari’at, tarekat, hakekat, dan ma’rifat musnah tiada terpikirkan. Maka sampailah Syekh Siti Jenar di istana sifat yang sejati.
055. Kematian ada dalam hidup, hidup ada dalam mati. Kematian adalah hidup selamanya yang tidak mati, kembali ke tujuan dan hidup langgeng selamanya, dalam hidup ini adalah ada surga dan neraka yang tidak dapat ditolak oleh manusia. Jika manusia masuk surga berarti ia senang, bila manusia bingung, kalut, risih, muak, dan menderita berarti ia masuk neraka. Maka kenikmatan mati tak dapat dihitung.
056. Hidup itu bersifat baru dan dilengkapi dengan panca indera. Panca indera ini merupakan barang pinjaman, yang jika sudah diminta oleh yang mempunyai, akan menjadi tanah dan membusuk, hancur lebur bersifat najis. Oleh karena itu panca indera tidak dapat dipakai sebagai pedoman hidup. Demikian pula budi, pikiran, angan-angan dan kesadaran, berasal dari panca indera, tidak dapat dipakai sebagai pegangan hidup. Akal dapat menjadi gila, sedih, bingung, lupa, tidur dan sering kali tidak jujur. Akal itu pula yang siang malam mengajak kita berbuat dengki, bahkan merusak kebahagiaan orang lain. Dengki juga akan menimbulkan kejahatan, kesombongan yang pada akhirnya membawa manusia ke dalam kenistaan dan menodai citranya. Kalau sudah sampai sedemikian parahnya manusia biasanya baru menyesali perbuatannya.
057. Apakah tidak tahu bahwa penampilan bentuk daging, urat, tulang, dan sumsum busa rusak dan bagaimana cara Anda memperbaikinya. Biarpun bersembahyang seribu kali setiap barinya akhirnya mati juga. Meskipun badan Anda, Anda tutupi akhirnya kena debu juga. Tetapi jika penampilan bentuknya seperti Tuhan, apakah para wali dapat membawa pulang dagingnya, saya rasa tidak dapat. Alam semesta ini adalah baru. Tuhan tidak akan membentuk dunia ini dua kali dan juga tidak akan membuat dunia ini dua kali dan juga tidak akan membuat tatanan baru.
058. Segala sesuatu yang terjadi di alam ini pada hakikatnya adalah perbuatan Allah. Berbagai hal yang dinilai baik maupun buruk pada hakikatnya adalah dari Allah juga. Jadi sangat salah besar bila ada yang menganggap bahwa yang baik itu dari Allah dan yang buruk adalah dari selain Allah. Oleh karena itu Af’al allah harus dipahami dari dalam dan dari luar diri manusia. Misalnya saat manusia menggoreskan pensil, di situlah terjadi perpaduan dua kemampuan kodrati yang dipancarkan oleh Allah kepada makhluk-Nya, yaitu kemampuan gerak pensil. Tanah yang terlempar dari tangan seseorang itu adalah berdasar kemampuan kodrati gerak tangan seseorang, ”maksudnya bukanlah engkau yang melempar, melainkan allah yang melempar ketika engkau melempar.
059. Di dunia ini kita merupakan mayat-mayat yang cepat juga akan menjadi rusak dan bercampur tanah. Ketahuilah juga bahwa apa yang dinamakan kawulo-gusti tidak berkaitan dengan seorang manusia biasa seperti yang lain-lain. Kawulo dan Gusti itu sudah ada dalam diriku, siang dan malam tidak dapat memisahkan diriku dari mereka. Tetapi hanya untuk saat ini nama kawula-gusti itu belaku, yakni selama saya mati. Nanti kalau saya sudah hidup lagi, gusti dan kawulo lenyap, yang tinggal hanya hidupku sendiri, ketentraman langgeng dalam Anda sendiri. Bial kamu belum menyadari kata-kataku, maka dengan tepat dapat dikatakan bahwa kamu masih terbenam dalam masa kematian. Di sini memang terdapat banyak hihuran macam warna. Lebih banyak lagi hal-hal yang menimbulkan hawa nafsu. Tetapi kau tidak melihat, bahwa itu hanya akibat panca indera. Itu hanya impian yang sama sekali tidak mengandung kebenaran dan sebentar lagi akan cepat lenyap. Gilalah orng yang terikat padanya. Saya tidak merasa tertarik, tak sudi tersesat dalam kerajaan kematian, satu-satunya yang ku usahakan ualah kembali kepada kehidupan.
060. Bukan kehendak, angan-angan, bukan ingatan, pikir atau niat, hawa nafsupun bukan, bukan juga kekosongan atau kehampaan, penampilanku bagai mayat baru, andai menjadi gusti jasadku dapat busuk bercampur debu, napsu terhembus ke segala penjuru dunia, tanah, api, air kembali sebagai asalnya, yaitu kembali menjadi baru.
061. Bumi, langit dan sebagainya adalah kepunyaan seluruh manusia. Manusialah yang memberi nama. Buktinya sebelum saya lahir tidak ada.
062. Sesungguhnya pada hakikatnya tidak ada perbedaan antara ajaran Islam dengan Syiwa Budha. Hanya nama, bahasa, serta tatanan yang berbeda. Misalnya dalam Syiwa Budha dikenal Yang Maha Baik dan Pangkal Keselamatan, sementara dalam Islam kita mengenal Allah al Jamal dan as Salam. Jika Syiwa dkenal sebagai pangkal penciptaan yang dikenal dengan Brahmana maka dalam Islam kita mengenal al Khaliq. Syiwa sebagai penguasa makhluk disebut Prajapati, maka dalam Islam kita mengenal al Maliku al Mulki. Jika Syiwa Maha Pemurah dan Pengasih disebut Sankara, maka dalam Islam kita mengena ar-Rahman dan ar-Rahim.
063. Kehilangan adalah kepedihan. Berbahagialah engkau, wahai musafir papa, yang tidak memiliki apa-apa maka tidak akan pernah kehilangan apa-apa.
064. Jika engkau kagum kepada seseorang yang engkau anggap Wali Allah, jangan engkau terpancang pada kekaguman akan sosok dan perilaku yang diperbuatnya. Sebab saat seseorang berada pada tahap kewalian, maka keberadaab dirinya sebagi manusia telah lenyap, tenggelam ke dalam al Waly.
065. Kewalian bersifat terus menerus, hanya saja saat tenggelam dalam al Waly. Berlangsungnya Cuma beberapa saat. Dan saat tenggelam ke dalam al Waly itulah sang wali benar-benar menjadi pengejawantahan al Waly. Lanaran itu sang wali memiliki kekeramatan yang tidak bisa diukur dengan akal pikiran manusia, dimana karamah itu sediri pada hakekatnya pengejawantahan al Waly. Dan lantaran itu pila yang dinamakan karamah adalah sesuatu diluar kehendak sang wali pribadi. Semua itu semata-mata kehendak-Nya mutlak.
066. Kekasih Allah itu ibarat cahaya. Jika ia berada di kejahuan, kelihatan sekali terangnya. Namun jika cahaya itu didekatkan ke mata, mata kita akan silau dan tidak bisa melihatnya dengan jelas. Semakin dekat cahaya itu kemata maka kita akan semakin buta tidak bisa melihatnya.
067. Engkau bisa melihat cahaya kewalian pada diri seseorang yang jauh darimu. Nemun engkau tidak bisa melihat cahaya kewalian yang memancar dari diri orang-orang yang terdekat denganmu.
068. Saya hanya akan memberi sebuah petunjuk yang bisa digunakan untuk meniti jembatam (shiratal mustaqim) ajaib ke arahnya. Saya katakan ajaib karena jembatan itu bisa menjauhkan sekaligus mendekatkan jarak mereka yang meniti dengan tujuan yang hendak dicapai.
069. Bagi kalangan awan, istighfar lazimnya dipahami ebagai upaya memohon ampun kepada Allah sehingga mereka memperoleh pengampunan. Tetapi bagi para salik, istighfar adalah upaya pembebasan dari belenggu kekakuan kepada Allah sehingga memperoleh ampun yang menyingkap tabir ghaib yang menyelubungi manusia. Sesungguhnya di dalam asma al Ghaffar terangkum makna Maha Pengampun dan juga Maha menutupi, Maha Menyembunyikan dan Maha Menyelubungi.
070. Semua itu terika itu benar, hanya nama dan caranya saja yang berbeda. Justru ”cara” itu menjadi salah dan sesat ketika sang salik melihat menilai terlalu tinggi ”cara” yang diikutinya sehinga menafikan ”cara” yang lain.
071. Semua rintangan manusia itu berjumlah tujuh, karena kita adalah makhluk yang hidup di atas permukaan bumi. Allah membentangkan tujuh lapis langit yang kokoh di atas kita, sebagaimana bumipun berlapis tujuh, dan samuderapun berlapis tujuh. Bahkan neraka berlapis tujuh. Tidakkah anda ketahui bahwa suragapun berjumlah tujuh. Tidakkah Anda ketahui bahwa dalam beribadaaah kepada Allah manusia diberi piranti tujuh ayat yang diulang-ulang dari Al-Quran untuk menghubungkang dengan-Nya? Tidakkah Anda sadari bahwa saat Anda sujud anggota badan Anda yang menjadi tumpuan?
072. Di dunia manusia mati. Siang malam manusia berpikir dalam alam kematian, mengharap-harap akan permulaan hidupnya. Hal ini mengherankan sekali. Tetapi sesungguhnya manusia di dunia ini dalam alam kematian, sebab di dunia ini banyak neraka yang dialami. Kesengsaraan, panas, dingin, kebingungan, kekacauan, dan kehidupan manusia dalam alam yang nyata.
073. Dalam alam ini manusia hidup mulia, mandiri diri pribadi, tiada diperlukan lantaran ayah dan ibu. Ia beberbuat menurut keingginan sendiri tiada berasal dari angin, air tanah, api, dan semua yang serba jasad. Ia tidak menginginkan atau mengaharap-harapkan kerusakan apapun. Maka apa yang disebut Allah ialah barang baru, direka-reka menurut pikiran dan perbuatan.
074. Orang-orang muda dan bodoh banyak yang diikat oleh budi, cipta iblis laknat, kafir, syetan, dan angan-angan yang muluk-muluk, yang menuntun mereka ke yang bukan-bukan. Orang jatuh ke dalam neraka dunia karena ditarik oleh panca indera, menuruti nafsu catur warna : hitam, merah, kuning, serta putih, dalam jumlah yang besar sekali, yang masuk ke dalam jiwa raganya.
075. Saya merindukan hidup saya dulu, tatkala saya masih suci tiada terbayangkang, tiada kenal arah, tiada kenal tempat, tiada tahu hitam, merah, putih, hijau, biru dan kuning. Kapankah saya kembali ke kehidupan saya yang dulu? Kelahiranku di dunia alam kematian itu demikian susah payahnya karena saya memiliki hati sebagai orang yang mengandung sifat baru.
076. Kelahiranku di dunia kematian itu demikian susah payahnya karena saya memiliki hati sebagai orang yang mengandung sifat baru.
077. Keinginan baru, kodrat, irodat, samak, basar dan ngaliman )’aliman). Betul-betul terasa amat berat di alam kematian ini. Panca pranawa kudus, yaitu lima penerangan suci, semua sifat saya, baik yang dalam maupun yang luar, tidak ada yang saya semuanya iti berwujud najis, kotor dan akan menjadi racun. Beraneka ragam terdapat tersebut dalam alam kematian ini. Di dunia kematian, manusia terikat oleh panca indera, menggunakan keinginan hidup, yang dua puluh sifatnya, sehingga saya hampir tergila-gila dalam dan kematian ini.
078. Hidup itu bersifat baru dan dilengkapi dengan panca indera. Panca indera ini merupakan barang pinjaman, yang jika sudah diminta oleh yang mempunyai, akan menjadi tanah dan membusuk, hancur lebur bersifat najis, oleh karena itu panca indera tidak dapat dipakai sebagai pedoman hidup. Demikian pula budi, pikiran, angan-angan dan kesadaran, berasal dari panca indera, tidak dapat dipakai sebagai pandangan hidup. Akal dapat menjadi gila, sedih, bingung, lupa, tidur dan sering kali tidak jujur. Akal itu pula yang siang malam mengajak kita berbuat dengki, bahkan merusak kebahagian orang lain. Dengki juga akan menimbulkal kejahatan, kesombongan yang pada akhirnya membawa manusia ke dalam kenistaan dan menodai citranya. Kalau sudah samapai sedemikian parahnya manuasia biasanya baru menyesali perbuatannya.
079. Apakah tidak tahu bahwa penampilan bentuk daging, urat, sungsum, bisa merusak dan bagaimana cara anda memperbaikinya. Biarpun bersembahyang seribu kali tiap harinya akhirnya mati juga. Meskipun badan anda, anda tutupi akhirnya kena debu juga. Tetapi jika penampilan bentuknya seperti Tuhan, apakah para wali dapat membawa pulang dagingnya, saya rasa tidak dapat. Alam semesta ini adalah baru. Tuhan tidak akan membentuk dunia ini dua kali dan juga tidak akan membuat tatanan baru.
080. mayat-mayat berkeliaran kemana-mana, ke Utara dan ke Timur, mencari makan dan sandang yang bagus dan permata serta perhiasan yang berkilauan, tanpa mengetahui bahwa mereka adalah mayat-mayat belaka. Yang naik kereta, dokar atau bendi itu juga mayat, meskipun seringkali ia berwatak keji terhadap sesamanya.
081. Orang yang dihadapi oleh hamba sahayanya, duduk di kursi, kaya raya, mempunyai tanah dan rumah yang mewah, mereka sangat senang dan bangga. Apakah ia tidak tahu, bahwa semua benda yang terdapat di dunia akan musnah menjadi tanah. Meskipun demikia ia bersifat sombong lagi congkak. Oh, berbelas kasihan saya kepadanya. Ia tidak tahu akan sifat-sifat dan citra dirinya sebagai mayat. Ia merasa dirinya yang paling cukup pandai.
082. Di alam kematian ada surga dan neraka, dijumpai untung serta sial. Keadaan di dunia seperti ini menurut Syekh Siti Jenar, sesuai dengan dalil Samarakandi ”al mayit pikruhi fayajitu kabilahu” artinya Sesungguhnya orang yang mati, menemukan jiwa raga dan memperoleh pahala surga serta neraka.
083. ”Keadaan itulah yang dialami manusia sekarang” demikian pendapat Syekh Siti Jenar, yang pada akhirnya Siti Jenar siang malam berusaha untuk mensucikan budi serta menguasai ilmu luhur dengan kemuliaan jiwa.
084. Di alam kematian terdapat surga dan neraka, yakni bertemu dengan kebahagian dan kecelakaan, dipenuhi oleh hamparan keduniawian. Ini cocok dengan dalil Samarakandi analmayit pikutri, wayajidu katibahu. Sesungguhnya orang mati itu akan mendapatkan raga bangkainya, terkena pahala surga serta neraka.
085. Surga neraka tidaklah kekal dan dapat lebur, ataupun letaknya hanya dalam rasa hati masing-masing pribadi, senang puas itulah surga, adapun neraka ialah jengkel, kecewa dalam hati. Bahwa surga neraka terdapat dia akhirat. Itulah hal yang semata khayal tidak termakan akal.
086. Sesungguhnya, meurut ajaran Islam pun, surga dan neraka itu tidak kekal. Yang menganggap kekal surga neraka itu adalah kalangan awam. Sesungguhnya mereka berdua wajib rusak dan binasa. Hanya Allah Dzat yang wajib abadi, kekal, langgeng, dan azali.
087. Sesungguhnya, tempat kebahagian dan kemulian yang disebut swarga oleh orang-orang Hindu-Budha, di dalam Islam disebut dengan nama Jannah (taman), yang bermakna tempat sangat menyenangkan yang di dalamnya hanya terdapat kebahagian dan kegembiraan. Hampir mirip dengan swarga yang dikenal di dalam Syiwa-Budha, di dalam Islam dikenal ada tujuh surga besar yang disebut ’alailliyyin,al-Firdaus, al-Adn, an-Na’im, al-Khuld, al-Mawa, dan Darussalam. Di surga-surga itulah amalan orang-orang yang baik ditempatkan sesuai amal ibadahnya selam hidup di dunia.
088. Sementara itu, tidak berbeda dengan ajaran Syiwa-Budha yang meyakini adanya Alam Bawah, yaitu neraka yang bertingkat-tingkat dan jumlahnya sebanyak jenis siksaan, Islam pun mengajarkan demikian. Jika dalam ajaran Syiwa-Budha dikenal ada tujuh neraka besar yaitu, Sutala, Wtala, Talata, Mahatala, Satala, Atala, dan Patala. Maka dalam Islam juga dikenal tingkatan neraka yaitu, Jahannam, Huthama, Hawiyah, Saqar, Jahim, dal Wail.
089. Sebetulnya yang disebut awal dan akhir itu berda dalam cipta kita pribadi, seumpama jasad di dalam kehidupan ini sebelum dilengkapi dengan perabot lengkap, seperti umur 60 tahun, disitu masih disebut sebagai awal, maka disebut masyriq (timur) yang maknanya mengangkat atau awal penetapan manusia, serta genapnya hidup.
090. Yang saya sebut Maghrib (Barat) itu penghabisan, maksudnya saat penghabisan mendekati akhir, maksudnya setelah melali segala hidup di dunia. Maka, sejatinya awal itu memulai, akhir mengakhiri. Jika memang bukan adanya zaman alam dunia atau zaman akhirat, itu semua masih dalam keadaan hidup semua.
091. Untuk keadaan kematian saya sebut akhirat, hanyalah bentuk dari bergantinya keadaan saja. Adapun sesungguhnya mati itu juga kiamat. Kiamat itu perkumpulan, mati itu roh, jadi semua roh itu kalau sudah menjadi satu hanya tinggal kesempurnaannya saja.
092. Moksanya roh saya sebut mati, karena dari roh itu terwujud keberadaan Dzat semua, letaknya kesempurnaan roh itu adalah musnahnya Dzat. Akan tetapi bagi penerapan ma’rifat hanya yang waspada dan tepat yang bisa menerapkan aturannya. Disamping semua itu, sesungguhnya semuanya juga hanya akan kembali kepada asalnya masing-masing.
093. Ketahuilah, bahwa surga dan neraka itu dua wujud, terjadinya dari keadaan, wujud makhluk itu dari kejadian. Surga dan neraka sekarang sudah tampak, terbentuk oleh kejadian yang nyata.
094. Saya berikan kiasan sebagai tanda bukti adanya surga, sekarang ini sama sekali berdasarkan wujud dan kejadian di dunia. Surga yang luhur itu terletak dalam perasaan hati yang senang. Tidak kurang orang duduk dalam kereta yang bagus merasa sedih bahkan menangis tersedu-sedu, sedang seorang pedagang keliling berjalan kaki sambil memikul barang dangangannya menyanyi sepanjang jalan. Ia menyanyikan berbagai macam lagu dengan suara yang terdengar mengalun merdu, sekalipun ia memikul, menggendong, menjinjing atau menyunggi barang dagangannya pergi ke Semarang. Ia itu menemukan surganya, karena merasa senang dan bahagia. Ia tidur di rumah penginapan umum, berbantal kayu sebagai kalang kepala, dikerumuni serangga penghisap darah, tetapi ia dapat tidur nyenyak.
095. Orang disurga segala macam barang serba ada, kalau ingin bepergian serba enak, karena kereta bendi tersedia untuk mondar-mandir kemana saja. Tetapi apabila nerakanya datang, menangislah ia bersama istri atau suaminya dan anak-anaknya.
096. Manusia yang sejati itu ialah yang mempunyai hak dan kekuasaan Tuhan yang Maha Kuasa, serta mandiri diri pribadi. Sebagai hamba ia menjadi sukma, sedang Hyang Sukma menjadi nyawa. Hilangnya nyawa bersatu padu dengan hampa dan kehampaan ini meliputi alam semesta.
097. Adanya Allah karena dzikir, sebab dengan berdzikir orang menjadi tidak tahu akan adanya Dzat dan sifat-sifatnya. Nama untuk menyebut Hyang Manon, yaitu Yang Maha Tahu, menyatukan diri hingga lenyap dan terasa dalam pribadi. Ya dia ya saya. Maka dalam hati timbul gagagasan, bahwa ia yang berdzikir menjadi Dzat yang mulia. Dalam alam kelanggengan yang masih di dunia ini, dimanapun sama saja, hanya manusia yang ada. Allah yang dirasakan adanya waktu orang berdzikir, tidak ada, jadi gagasan yang palsu, sebab pada hakikatnya adanya Allah yang demikian itu hanya karena nama saja.
098. Manusia yang melebihi sesamanya, memiliki dua puluh sifat, sehingga dalam hal ini antara agama Hindu-Budha Jawa dan Islam sudah campur. Di samping itu roh dan nama sudah bersatu. Jadi tiada kesukaran lagi mengerti akan hal ini dan semua sangat mudah dipahami.
099. Manusia hidup dalam alam dunia ini hanya mengadapai dua masalah yang saling berpasangan, yaitu baik buruk berpasangan dengan kamu, hidup berjodoh dengan mati, Tuhan berhadapan dengan hambanya.
100. Orang hidup tiada mersakan ajal, orang berbuat baik tiada merasakan berbuat buruk dan jiwa luhur tiada bertempat tinggal. Demikianlah pengetahuan yang bijaksana, yang meliputi cakrawala kehidupan, yang tiada berusaha mencari kemuliaan kematian, hidup terserah kehendak masing-masing.
101. Keadaan hidup itu berupa bumi, angkasa, samudra dan gunung seisinya, semua yang tumbuh di dunia, udara dan angin yang tersebar di mana-mana, matahari dan bulan menyusup di langit dan keberadaan manusia sebagai yang terutama.
102. Allah bukan johor manik, yaitu ratna mutu manikam, bukan jenazah dan rahasia yang gaib. Syahadat itu kepalsuan.
103. akhirat di dunia ini tempatnya. Hidup dan matipun hanya didunia ini.
104. Bayi itu berasal dari desakan. Setelah menjadi tua menuruti kawan. Karena terbiasa waktu kanak-kanak berkumpul dengan anak, setelah tua berkumpul dengan orang tua. Berbincang-bincanglah mereka tentang nama sunyi hampa, saling bohong membohongi, meskipun sifat-sifat dan wujud mereka tidak diketahui.
105. Takdir itu tiada kenal mundur, sebab semuanya itu ada dalam kekuasaan Yang Murba Wasesa yang menguasai segala kejadian.
106. Orang mati tidak akan merasakan sakit, yang merasakan sakit itu hidup yang masih mandiri dalam raga. Apabila jiwa saya telah melakukan tugasnya, maka dia akan kembali ke alam aning anung, alam yang tentram bahagia, aman damai dan abadi. Oleh karena itu saya tidak takut akan bahaya apapun.
107. Menurut pendapat saya. Yang disebut ilmu itu ialah segala sesuatu yang tidak kelihatan oleh mata.
108. Mana ada Hyang Maha Suci? Baik di dunia maupun di akhirat sunyi. Yang ada saya pribadi. Sesungguhnya besok saya hidup seorang diri tanpa kawan yang menemani. Disitulah Dzatullah mesra bersatu menjadi saya.
109. Karena saya di dunia ini mati, luar dlam saya sekarang ini, yang di dalam hidupku besok, yang di luar kematianku sekarang.
110. Orang yang ingin pulang ke alam kehidupan tidak sukar, lebih-lebih bagi murid Siti Jenar, sebab ia sudah paham dengan mengusai sebelumnya. Di sini dia tahu rasanya di sana, di sana dia tahu rasanya di sini.
111. Tiada bimbang akan manunggalnya sukma, sukma dalam kehingan, tersimpan dati sanubari, terbukalah tirai, tak lain antara sadar dan tidur, ibarat kaluar dari mimpi, menyusupi rasa jati.
112. Manusia tidak boleh memiliki daya atau keinginan yang buruk dan jelek.
113. Manusia tidak boleh berbohong.
114. Manusia tidak boleh mengeluarkan suara yang jorok, buruk, saru, tidak enak didengar, dan menyakiti orang lain.
115. Manusia tidak boleh memakan daging (hewan darat, udara ataupun air).
116. Manusia tidak boleh memakan nasi kecuali yang terbuat dari bahan jagung.
117. Manusia tidak boleh mengkhianati terhadap sesama manusia.
118. manusia tidak boleh meminum air yang tidak mengalir.
119. Manusia tidak boleh membuat dengki dan iri hari.
120. Manusia tidak boleh membuat fitnah.
121. Manusia tidak boleh membunuh seluruh isi jagad.
122. manusia tidak boleh memakan ikan atau daging dari hewan yang rusuh, tidak patut, tidak bersisik, atau tidak berbulu.
123. Bila jiwa badan lenyap, orang menemukan kehidupan dalam sukma yang sungguh nyata dan tanpa bandingan. Ia dapat diumpamakan dengan isinya buah kamumu. Pramana menampilkannya manunggal dengan asalnya dan dilahirkan olehnya.
124. tetapi yang kau lihat, yang nampaknya sebagai sebuah boneka penuh mutiara bercahaya indah, yang memancarkan sinar-sinar bernyala-nyala, itu dinamakan pramana. Pramana itu kehidupan badan. Ia manunggal dengan badan, tetapi tidak ambail bagian dalam suka dan dukanya. Ia berada di dalam badan.
125. Tanpa turut tidur dan makan tanpa menderita kesakitan atau kelaparan. Bila ia terpisah dari badan, maka badan ikut tertinggal tanpa daya, lemah. Pramana itulah yang mampu mengemban rasa, karena ia dihidupi oleh sukma. Kepadanya diberi anugrah mengemban kehidupan yang dipandang sebagai rahasia rasa nya Dzat.
126. Penggosokan terjadi karena digerakkan oleh agin. Dari kayu yang menjadi panas muncullah asap, kemudian api. Api maupun asap keluar dari kayu. Perhatikanlah saat permulaan segala sesuatu, segala yang dapat diraba dengan panca indera, keluar dari yang tidak kelihatan tersembunya…..
127. Ada orang yang menyepi dipantai. Mereka melakukan konsentrasi di tepi laut. Buka dua hal yang mereka pikirkan. Hanya Pencipta semesta alam yang menjdai pusat perhatiannya. Karena kecewa belum dapat berjumpa dengan-Nya, maka mereka lupa makan dan tidur.
128. Badan jasmani disebut cermin lahir, karena merupakan cermin jauh dari apa yang dicari dalam mencerminkan wajah dia yan ber-paes. Cermin batin jauh lebih dekat.
129. Siang malam terus menerus mereka lakukan shalat. Dengan tiada hentinya terdengarlah pujian dan dzikir mereka. Dan kadang mereka mencari tempat lain dan melakukan konsentrasi di kesunyian hutan. Luar biasalah usaha mereka, hanya Penciptalahyang menjadi pusat pandangannya.
130. Badan cacat kita cela, keutamaan kerendahan hati kita puji, tetapi keadaan kita ialah digerakkan dan didorong olek sukma. Tetapi sukma tidak tampak, yang nampak hanya adan.
131. Cermin batin itu bukanlah cermin yang dipakai orang-orang biasa. Cermin ini sangat istemewa, karena mendekati kenyataan. Bila kau mengetahui badan yang sejati itulah yang dinamakan kematian terpilih.
132. Bila engkau melihat badanmu, Aku turut dilihat … Bila kau tidak memandang dirimu begitu, kau sungguh tersesat.
133. Sukma tidak jauh dari pribadi. Ia tinggal di tempat itu jua. Ia jauh kalau dipandang jauh, tetapi dekat kalau dianggap dekat. Ia tidak kelihatan, karean antara Dia dan manusia terdapat kekuadaan-Nya yang meresapi segala-galanya.
134. Hyang Sukma Purba menyembunyikan Diri terhadap peglihatan, sehingga ia lenyap sama sekali dan tak dapat dilihat. Kontemplasi terhadap Dia yang benar lenyap dan berhenti. Jalan untuk menemukan-Nya dilacak kembali dari puncak gunung.
135. Tetapi Hyang Sukma sendiri tidak dapat dilihat. Cepat orang turun dari gunung dan dengan seksama orang melihat ke kiri ke kanan. Namun Dia tidak ditemukan, hati orang itu berlalu penuh duka cita dan kerinduan.
136. Hendaklah waspada terhadap penghayatan roroning atunggil agar tiada ragu terhadap bersatunya sukma, pengahayatan ini terbuka di dalam penyepian, tersimpan di dalam kalbu. Adapun proses terungkapnya tabir penutup alam gaib, laksana terlintasnya dlam kantuk bagi orang yang sedang mengantuk. Penghayatan gaib itu datang laksana lintasan mimpi. Sesungguhnya orang yang telah menghayati semacam itu berarti telah menerima anugrah Tuhan. Kembali ke alam sunyi. Tiada menghiraukan kesenangan duniawi. Yang Maha Kuasa telah mencakup pada dirinya. Dia telah kembali ke asal mulanya…..
137. Mati raga orang-orang ulama yang mengundurkan diri di dalam kesunyian hutan ialah hanya memperhatikan yang satu itu tanpa membiarkan pandangan mereka menyinpang. Mereka tidak menghiraukan kesukaran tempat tinggal mereka hanya Dialah yang melindungi badan hidup mereka yang diperlihatkan. Tak ada sesuatu yang lain yang mereka pandang, hanya Sang Penciptalah yang mereka perhatikan.
138. Yang menciptakan mengemudi dunia adalah tanpa rupa atau suara. Kalbu manusia yang dipandang sebagai wisma-Nya. Carilah Dia dengan sungguh-sungguh, jangan sampai pandanganmu terbelah menjadi dua. Peliharalah baik-baik iman kepercayaanmu dan tolaklah hawa nafsumu.
139. Bila kau masih menyembah dan memuji Tuhan dengan cara biasa, kau baru memiliki pengetahuan yang kurang sempurna. Jangan terseyum seolah-olah kau sudah mengerti, bila kau belum mengetahui ilmu sejati. Itu semua hanya berupa tutur kata. Adapun kebenaran sejati ialah meninggalkan sembah dan pujian yang diungkapkan dengan kata-kata.
140. Sembah dan puji sempurna ialah tidak memandang lagi adanya Tuhan, serta mengenai adanya sendiri tidak lagi dipandang. Papan tulis dan tulisan sudah lebur, kualitas tak ada lagi. Adamu tak dapat diubah. Lalu apa yang masih mau dipandang. Tiadak ada lagi sesuatu. Maklumilah.

SERAT SEH JANGKUNG

SERAT SEH JANGKUNG
Pupuh I
Pangkur

1.
Yata kawarnaa enjang / Seh Jangkung lampahneki / ambekta kitiran wau / pan sarwi den plajengna / sakarsaning dugi Blambangan wau / gangsal wulan laminira / ambekta kitiran nenggih.
2.
Awangsul kiduling Rembang / wonten bathang mahesa dipunlebeti / tigang wulan laminipun / ing jro bathang mahesa / dupi wonten lare angon kathah wau / abebathang mahesa / wonten ingkang anjejegi.
3.
Kangge dolanan / dene remen bathang tan bosok / dalunipun Ki Seh wau / sigra denira medal / linggih sela thenguk-thenguk denya manduk / aran dhusun Landhoh ika / punika purwane nguni.
4.
Dadya yasa patilasan / masjid alit damel salat ta nenggih / wus sawarsa laminipun / Seh Jangkung duk kelingan / yata sanget dhateng bok ayunipun / yen dalu ngipi supena / kadya sinendhal kang galih.
5.
Sak sajadhek bang lumampah / datan towa (…………..)/
6.
(……….)gapyak irinya / ting sasenggruk wau tiyang kekalih / Nyai Banjur alon muwus / dhuh adhi aku nadyan / lawas temen gonmu lunga sira iku / dene nora nana teka / gonku muji saben bengi.
7.
Mung ariku bae arya / anyandhungaken rasa apa iki / sawaluh gedhene iku / lupata sakara-kara / saparane bisa amanggya rahayu / saparane den sihana / iya ing dhadhaning jalmi.
8.
Kang rayi alon turira / kasinggihan dhawuh sampeyan ugi / kula sampun tigang taun / lumajangaken kitiran / inggih boten kauban griya puniku / bilih bakune dhukuhan / dhusun Landhoh samaneki.
9.
(……….)kula supena / pan pinanggih kelayan gon sun kang nyalib / tur alon muwus / apan pesthi kapanggih sabab / saben ingsun muji iku / sira kaundang muliha / isun cipta jro ning ati.
10.
Abanget kangen mara / datan darbe sadulur maning-maning / lan maninge iya imanira / darbe nadir / lamun sira nora sida nemu ukum / utawa isih uripa / aku nadar kurmat Nabi.
11.
Karo ngirim donga pisan / marang bapak ibu ingkang wus mulih / maring kramatolah iku / luhur-luhur sadaya / sun memulia nganti saka tekamu / ing mangke sira prapta / iya nuli son takoni.
12.
Lan sira ja lunga-lunga / ta muliha iya mring wismamu lami / ahli waris samya lampus / Dipati Pathi wus pati / ingkang rayi umatur anuwun nyuwun / inggih wus karsaning Allah / tiyang gesang angemasi.
13.
Nyai Banjur langkung suka / ingkang rayi dene kok sampun mulih / genya gadhah nadar wau / dhikir Nabi punika / linuwaran sarwi memulih mring dhuwur / arame tamiyan rowang / motong mesa miwah kambing.
14.
Gancang kacarita / iku kang Seh Jangkung pan lajeng dhukoh-dhukoh nenggih / sampun kathah tiyangipun / Seh Jangkung tinuwa tuwa / dhukuhipun ingkang aran Landhoh wau / sampun karya patilasan / pesalatan nami majid.

Pupuh II
S i n o m

1.
Yata sampun lama-lama / sakwarsa ing laminika / Ki Seh Jangkung kesah sowan / jeng pangeran Kudus nenggih / anggeguru sedyaki / ing marga datan winuwus / wus prapteng pasiraman / pangeran Kudus nujoni / pan pinarak pra santri nganther ing arsa.
2.
Seh Jangkung dhepok ing arsa / jeng pangeran ngandika aris / eh si iku wong apa / Seh Jangkung umatur aris / kawula inggih gusti / tiyang dhusun Landhoh ngriku / mila kawula sowan / dhumateng arsa jeng gusthi / bilih karsa kawula yen puruhita.
3.
Pangeran Kudus ngandika / sun anrima sira iki / asal sira atemena / sira madhep manthep iki / mara kumpula dhisik / kelawan santri akeh iku / melu ngaji sira / Ki Seh Jangkung matur aris / gih sandika mung sakarsa panduka.
4.
Seh Jangkung pan sampun kempal / kalih santri kathah nanging / Seh Jangkung punika datan / karsa dherek ngaji / karyanya saben ari / ngiseni padasan wau / sakwarsa laminira / Seh Jangkung neng Kudus nenggih / karyanira mung ngiseni padasan.
5.
Bangun enjang wayahira / Seh Jangkung sampun atangi / lajeng atewa kalenan / pangeran Kudus miharsi / sarwi ngandika bengis / eh santri Landhoh sireku / apa kurang karyan / esuk-esuk nawu iki / lan maninge apa ana iwakira.
6.
Seh Jangkung alon turira / saben toya inggih Kiyai / amasthi wonten ulamnya / Pangeran Kudus nulyaglis / kinen ngalapa krambil / rila kang kinon sampun / pikantuk sinaosaken ngarsa / enggal dipun pecah nuli / nglebet krampil wonten badhere sajuga.
7.
Anulya mundhut lan katingal / sekawan kathahe sami / kinen angiseni toya / wus cumaos aneng arsi / pangeran Kudus mriksani / salebeting kanthi wau / wonten ulame sadaya / sepat lantingan satunggil / wader pari sinya inggih punika.
8.
Genthong sanga kabehira / sanget kinen amriksani / wonten ulame sadaya / nanging ulamipun bethik / pangeran mundhut malih / toya bokor saos ngayun / anulyanipun priksa / pan wonten kutuk satunggil / amancolot kolet-kolet aneng arsa.
9.
Pangeran Kudus saksana / semu dangu ingkang galih / anulya wau ngandika / eh jebeng Landhoh sireki / apa sira wus mangerti / masalah sadat puniku / Seh Jangkung riseksana / enggal menek uwit krambil / dugi pupus nginggil krambil sigra dhawah.
10.
Punika sadat kawula / Sunan Kudus ngandikaris / dudu iku kang sun tanya / sahadat kalimah kalih / Asshaduanla Ilahaillalah / Seh Jangkung alon umatur / niku sahadat punapa / kala kula taksih alit / sampun saget sahadat kadya punika.
11.
Pangeran Kudus usiking tyas / wong iki wus angungkuli / iya marang jenengingwang / barang ciptanira nadi / arsa guru mring mami / kelahiran bae iku / apa kang den gurokena / wong iki bakal ngungkuli / marang ingwang ya bengcik ingsun tundhunga.
12.
Pangeran Kudus ngandika / jebeng Landhoh sira iki / ingsun durung bisa mejang / iya sira mulih dhisik / yen wus pinaringan osik / sira baliya mring Kudus / Seh Jangkung umaturira / inggih sandika Kiyai / Ki Seh Jangkung dyan wiwit lengser ingarsa.
13.
Seh Jangkung osiking nala / boten mantuk wismaneki / sareng dalu wayahira / balik tapa sedyaneki / Seh Jangkung malebeng aglis / aneng jumbleng punika / sawarsa laminira / tan wonten janma udani / bangun enjang wayahnya jam pitu ika.
14.
Datan kocap naminira / selirnya pangeran nenggih / neng jumbleng arsa tatoya / jembutira den gambyongi / sekar kenanga gadhing / malathi tuwin menur / Seh Jangkung mesem mulat / saking jero jumbleng nenggih / kang tetoya kaget lamun wonten janma.
15.
Sigra muncul sanalika / umatur pangeran nenggih / pangeran dhawuh saksana / jumbleng kinen ngepung nuli / nimbali para mantri / pra santana punggawa gung / sampun pepak sadaya / gegaman tumbak lan keris / amiranti kados nglurug neng barisannya.
16.
Jumbleng pan sampun kinepang / Seh Jangkung medal tumuli / den alokaken wong kathah / Seh jangkung lumajeng gendring / mangilen purugneki / nenggel pasar kliwon wau / ramene pasar kebek gubras tai / miwah eset agengnya sagagang-gagang.
17.
Tiyang sepeked sedaya / luntak-luntak samya mulih / Seh Jangkung sapurugira / den bujung santana mantri / Seh Jangkung dhelik nuli / plingak-plinguk kang mabujung / katelah sapunika / wonten dhusun Klitheh nenggih / gih punika ing nguni purwanira.
18.
Kabujeng badhe binanda / Seh Jangkung ngatingal malih / binuru ing tiyang kathah / tiyang satus kang nututi / yen tebih den antosi / den cepeng mlajeng Seh Jangkung / dumugi kilenira / ing Dengmak ingkang nagari / samya buyar ingkang bujeng sami kasayahannya.
19.
Katelah ing sapunika / wonten dhusun ingkang nami / Buyaran duk kalanira / Panembahan Landhoh uni / binuru duk rumiyin / mantri prajurit ing Kudus / anulya buru-burunya / tiyang Kudus sami mulih / Ki Seh Jangkung dugi lereh dhusun Gebang.
20.
Kapethuk tiyang lumampah / bekta bumbung kalih iji / pan isi legen ika / Seh Jangkung angsih-asih / bok inggih kula sungi / manira ngorong lumayu / legen liru ringgit tiga / kang jaler gedheg ngesahi / dhateng sabin karsaning amanggihan.
21.
Seh Jangkung taksih alenggah / tiyang bogor ngucap aris / lah adhi dika lereha / dhateng wisma kula rumiyin / Seh Jangkung anauri / asanget panrimaningsun / dika ngampiraken kula / nanging wektu dinten iki / dereng kenging kula kauban griya.
22.
Ing dinten wingking kewala / dika nglarah wisma mami / yen wonten dhusun kang nama / inggih Landhoh pondok mami / niki dika tiliti / Kyai Praya asru muwus / inggih mangsa sandaya / temtune kula tuweni / tiyang bogor naminira Prayaguna.
23.
Seh Jangkung ing wuwusira / yen dika inggih gadhahi / krambil ingkang tuwa / pikantuka sampun garing / wonten damele ugi / saksana Ki Praya wau / gadhahi badhe cikal / kathahipun kalih iji / Prayaguna mantuk mendhet krambilira.
24.
Krambil sampun tinampenan / dhateng Ki Seh jangkung singgih / anulya buru-burunya / Seh Jangkung dhatengaken karsi / ambyur saganten nuli / ambekta krambilnya wau / kang kinarya tatunggangannya / kumambang aneng ing warih / Ki Seh Jangkung anut saparannya ambak.
25.
Yen sampun boten rumaos / yen wonten inggiling warih / sampun pejah raosira / sumepak dya ngemasi / sarta salamineki / Seh Jangkung neng tengah laut / pan anut purugnya ombak / kalunta-lunta ing warih / dugi gisiking kramat siti Jepara.

Pupuh III
Pangkur

1.
Ki Seh Jangkung nulya mentas / aningali bathang mahesa nenggih / Seh Jangkung sigra lumebu / dhumateng bathang mahesa / kawan dasa ari wau laminipun / bathang gogrok nulya medal / ambyur segara malih.
2.
Krambil kalih tunggangannya / lamun wonten angin saking wetan nenggih / mangilen ing purugipun / sumepa kadya sarah / angin saking ing eler surugnya ngidul / sataun ing laminira / dugi ing Palembang gisik.
3.
Ing dalu pan lajeng mentas / ing dharat tansaj Jangkung malebeng aglis / daleme jeng sultan wau / Palembang samana / terus wingking malebet ing jumblengipun / tigang sasi laminira / datan wonten kang udani.
4.
Sampun pejah raosira / datan ngrasa yen mabet ganda bacin / lir kadya lenggah neng babut / gandanya amrik ngambar / yen upami mambet ganda tan wruh wau / saweng bae tan tahan / raose dipun pejahi.
5.
Warnanen nagri Palembang / tinerjang prahara pagering / nagara miwah ing dhusun / tan ana kaliwatannya / tiyang sakit enjing sonten lajeng lampus / tiyang sakit sonten ika / enjing lajeng angemasi.
6.
Sultan Palembang sungkawa / dene kathah abdine kang ngemasi / kalangkung sejatosipun / tan karsa dhahar nendra / dyan warnanen enjang wanci pukul pitu / cethinya sultan Palembang / dyan tetoya jumbleng nenggih.
7.
Seh Jangkung dupi tumingalan / pan pinuju tumenga ningali inggil / cethi kang tatoya wau / jembunya kinanthilan / sekar adhi kenanga pituwin menur / Seh Jangkung mesem tumingal / kadya lidhah kinaeksi.
8.
Cethi kagyat duk tumingal / jroning jumbleng wonten tiyangnya nenggih / cethi enggal nulya mantuk / umatur kangjeng sultan / inggih gusti kawula matur saestu / lebet jumbleng wonten janma / hamba waspadeng pribadi.
9.
Jeng Sultan Palembang ngandika / dhawuhaken jumbleng kinen ngepung aglis / prajurit punggawa agung / pan samya ngepung sadaya / ingkang banter prajurit lajeng malebu / jumblengnya sigra priksa / leres wonten tiyangneki.
10.
Parentah kinen medal / Seh Jangkung anulya medal nuli / sampun binekta ing ngayun / dhumateng ngarsa sultan / Ki Seh jangkung alenggah ngarsa tumungkul / jeng sultan Palembang ngandika / sinten sing nambet mawangi.
11.
Lah ing pundi wisma dika / lawan malih punapa sedyaneki / dhateng jumbleng kang jinujug / kelangkung sukerira / napa ndika badhe dhusta marang gusti / Seh Jangkung alon turira / kula tiyang Tanah Jawi.
12.
Seh Jangkun nami kawula / wisma kula dhusun Miyana gusti / jeng sultan ngandikarum / punapa ingkang sedya / dhateng jumbleng punika ingkang jinujug / amasthi kenging hukuman / dika kula ukum pati.
13.
Seh Jangkun alon turnya / lah sumangga karsa paduka gusti / wonten mutangalim ngriku / majeng turi panimbang / saos unjuk dhateng kangjeng sultan wau / gih tiyang punika / sampun dipunukum gusti.
14.
Sabab nagri Palembang / waktu niki kathah kang penyakit / luhung katedhani tulung / kinen namba lelara / lamun saguh boten estu ulun ukum / jeng sultan dadya ngandika / leres rembang dika kyai.
15.
Jeng sultan lajeng ngandika / mring Seh Jangkung kinen majeng mariki / Seh Jangkung umareg gupuh / sultan alon ngandika / napa dika nyagahi dadi dhukun / nambani abdi kawula / sadaya kang nandhang sakit.
16.
Yen saget mulyakaken / boten estu dika kula ukumi / Seh Jangkung alon turipun / sagah dereng kantenan / bok menawi katrima ingih panuwun / dhateng Allah kang kwasa / mangke dalu den lekasa.
17.
Jeng sultan kondur jro pura / angedhaton punggawa samya mulih / warnanen ing dalunipun / Seh Jangkung andedonga / anenuwun ing Gusti Kang Maha Luhur / asalat kalih rekangat / katrima panuwuneki.
18.
Sadaya tiyang kang lara / enjang waluya kados inguni / nagari miwah ing dhusun / pan samya multha sadaya / kangjeng sultan arena penggalihipun / enjang jeng sultan sineba / mring punggawa para mantri.
19.
Ki Seh Jangkung munggeng ngarsa / kangjeng sultan ngandika arum amanis / lajeng ngandika Seh Jangkung / sun mesthi tampi ganjarannya / lamun wonten saget nambani wau / panyakit nagri Palembang / mesthi kula ganjar putri.
20.
Separo nagri Palembang / ing sakniki mesthi dika tampani / Seh Jangkung umatur nuwun / sumangga krasa sultan / Ki Seh Jangkung pan sampun katriman wau / putrane jeng sultan Palembang / Retnadiluwih kang nami.
21.
Tan cinandra warnanira / inggih ayu tur sedhep mrak ati / sapolahe gawe wuyung / kaduk raga ke raga / sampun atut genya palakrama / Seh Jangkung jumeneng sultan / Palembang ingkang sepalih.
22.
Sasampunira pinrenah / Ki Seh Jangkung aneng Palembang nagri / sataun ing laminipun / boten sakeca manah / sabab dene dereng dugi lampahipun / lereh jumenenga sultan / pan dereng eca kang galih.
23.
Warnanen ing dalunira / wayahipun kinten ing tengah wengi / dyan lolos wau Seh Jangkung / datan pamit kang garwa / atut wuri ing sdya ciptanipun / dadya ambyur samodra / nunggang krambilnya kekalih.
24.
Tan kantenan purugira / ombak ageng kombul pan kadya ardi / asilem wau Seh Jangkung / cat katon cat katingal / apan anut saparannya ombak wau / sangang sasi laminira / dugi gisik Cebon nuli.
25.
Yen ejang dhedhe dharatan / lamun dalu ambyur malih / krambil kalih datan kantun / byar enjang nulya mentas / lamun wayah bedhug aneng toya kungkum / saben dina datan pegat / Seh Jangkung amendha wisya.
26.
Seh Jangkung sapungkurira / garwanira babar wawratan neki / miyos estri langkung ayu / anenggih sultan Palembang / amriksani ingkang putra darbe sunu / jeng sultan Palembang ngandika / lakimu ana ing endi.
27.
Kang putra alon turira / boten pamit kaliyan kula nenggih / kesahnya dalu-dalu / kula tilem tinilar / ingkang rama pangandikanira arum / dene iku wayah ingwang / sun arani Rara Sunthi.
28.
lairnya bapa tan ana / dadi sisilih iku sunthi / kang putra alon umatur/ sumangga karsa rama / enengena sultan Palembang winuwus / kocapa Seh Jangkung ika / inggih dhateng Cerbon gisik.

Pupuh IV
S i n o m

1.
Setaun ing laminira / dhateng gisik Cerbon nenggih / lajeng wonten gara-gara / tiyang Cerbon sami sakit / sakit enjang sonten mati / saonten sakit enjang lampus / jeng sulta Cerbon punika / adat goning prihatin / lamun dalu tan dhahar kalawan nendra.
2.
Kados dugi pitung dina / sultan Carebon neng tritis / ing dalu ana suwara / tan katingal wujudneki / sultan Cerbon sireki / aja banget sira angluh / ing gisik kene ana / sujanma amnedha druwis / iya iku ingkang bisa nulak lara.
3.
Yaiku den timbalan / kinon nambani wong sakit / amesthi bisa waluya / nanging yen wus bisa becik / anakmu wadon iki / tarimakna uwong iku / sultan Cerbon samana / janggirat anulya tangi / bangun enjang sultan Cerbon anulya pinarak.
4.
Sineba para ulama / apan andher aneng arsi / kangjeng sultan angandika / eh gandhek sira sun tuding / nimbali marang druwis / aneng gisik gone iku / ana pinggir sagara / abareng lakumu iki / yen tinanya ingsun bakal angersaya.
5.
Gandhek sakawan gya mentar / tan kocap aneng ing margi / wus prapta pinggir sagara / ngupados kang amindha druwis / uluk salam tumuli / ing ambal kaping telu / Seh Jangkung pan katingal / gandhek matur awotsari sarwi nembah kawula inggih dinuta.
6.
Inggih jeng gusti kawula / sultan Cerbon kang anuding / ngaturi dhateng sampeyan / supados sarenga mami / Seh Jangkung ngandika ris / ngisal Allahi ya melu Seh Jangkung / dyan lumampah / gandhek sekawan angiring / tan kawarna sampun prapta ngarsa sultan.
7.
Alenggah jajar jeng sultan / anulya salaman sami / jeng sultan Cerbon ngandika / punapa sami basuki / punapa sampun lami / gennya dhateng gisik ngriku / lan sinten ingkang nama / miwah ing pundi wismeki / lan malihe punapa ingkang sinedya.
8.
Seh Jangkung nauri sabda / dhateng gisik sampun lami / Seh Jangkung nami kawula / Miyana ing wisma mami / bawah nagari Pathi / dene pikajenganingsun / punapa saosikira / dhumateng Hyang Suksmanadi / inggih anut punapa kersaning dhalang.
9.
Sultan Cerbon angandika / mila adhi kula aturi / inggih wadher angrasanya / abdi kula kathah sakit / jeng angandhika jampeni / ilapate wau dalu / adhi kang nambanana / Seh Jangkung alon nauri / gih proyogi yen Allah amarengna.
10.
Mugi wonten karsanira / toya dhateng mengko nenggih / kang den utus sampun prapta / toya mangkok munggeng ngarsi / Seh Jangkung dyan tumuli / toya kinen ngombe wau / den tambakna saksana / sekathahe tiyang sakit / samya saras kang ngobe toya punika.
11.
Tiyang kang sakit punika / inggih tan kena winilis / ing dhusun miwah nagara / wus sami keratan jampi / sapalih toyaneki / ngartani sedayanipun / sadaya pan sampun mulya / kadi wingi-wingi nguni / jaler estri kang sakit sampun samya waluya.
12.
Jeng sultan Cerbon ngandika / pangulu dipun timbali / sampun prapta ngarsa nata / seh pangulu sira iki / sira ningkahna nak mami / Raden Ajeng Pandhan Arum / Seh Jangkung lakinira / mas kawin Kur’an puniki / lan masdare rolas katinya bratira.
13.
Wali ngatur ngurus medal / kinepung ing ketib modin / pituwin para sentana / weradin lan magersari / abubar kepungan sami / berkatnya binekta mantuk / panjang ambeng saptangan / satunggil tiyang ngijeni / pan wus bibar samya mantuk sowang-sowang.
14.
Warnanen sampun alama / Seh Jangkung neng Cerbon nenggih / lulut denya palakrama / kang garwa sampun garbini / wus dhateng masaneki / sampun babar putranipun / amiyos dalu ika / warnanya kelangkung pekik / kangjeng sultan saklangkung bingahira.
15.
Dena nadhah wayah lanang / warnanya kelangkung pekik / puput puser winarna / sultan Cerbon ngurmati Nabi / nimbali para santri / pangulu lan ketibipun arame swaranira / bandhulnya tiyang satunggil / pan saringgit kalayan saptangan sutra.
16.
Kang wayah pinaringan nama anenggih Rahaden Mukmin / pangulu kinen andonga / ketib modin angamini / anulya ambeng mijil / kendhuren sampun kinepung / bakdanya akepungan / anulya bibaran sami / smpun mantuk ketib modin santrenira.
17.
Warnanen Seh Jangkung ika / krambil kalih kang winarni / nalika kangge tunggangan / waktu ngambang neng jeladri / krambil ingkang satunggil / inggih damel beruk wau / ingkang satunggil punika / kadamel bathok anenggih / lamun bukti bathoknya kinarya ajang.
18.
Nengena Seh Jangkung ika / agantya carita nenggih / nagari Banten kocapa / wonten kraman pacak baris / kathah telukaneki / badhe ngepung kitha wau / jeng sultan Banten winarna / asanget genya prihatin / garwa putra wus sami ngili sadaya.
19.
Sultan Banten enget ing tyas / ingkang raka Cerbon singgih / darbr mantu tur dikdaya / dadya nimbali kang abdi / gandhek mantri kekalih / ingutus ing Cerbon gupuh / sultan Banten winarna / kalih sultan Cerbon nenggih pranah ipe kang sepuh sultan Cerbon ika.
20.
Gegancangan lampahira / gandhek sampun prapta nuli / jeng sultan Cerbon ngandika / ana apa sira mantri / gandhek umatur aris / kawula inggih ingutus / dhumateng rayi paduka / sultan Banten kang palinggih / putra tuwan Ki Seh jangkung tinimbalan.
21.
Kinen methukaken kraman / tiyang Banten sami ngisis / kithane sampun kinepang / rayi paduka adhi / Ki Seh Jangkung nujoni / sampun dhateng ngarsanipun / jeng sultan Cerbon ngandika / dhateng Ki Seh Jangkung nenggih / rayi Jangkung prayogine lumampaha.
22.
Akeh (……..)nika / Seh Jangkung ngandika aris / inggih sumangga ing karsa / anulya adan aglis / sarta pamit kang rayi / ingkang putra dipunambung / Seh Jangkung sigra budhal / beruknya datanpa kari / tan kawarna neng marga apan wus prapta.
23.
Anjujug panggonanira / kraman ingkang pacak baris / pan lajeng mangsuh ngayun kraman / bendrong ambedhili / pan rame swaraneki / ing tawang pan kadya pedhut / mimisnya pan kadya udan / Seh Jangkung sigra nadhahi / sekathahe mimis kebak berukira.
24.
Lamun mimis sampun kebak / neng beruk wangsul nuli / kenging dhateng mungsuhira / kang kenging lajeng ngemasi / wangkenya sungsan tindhih / kepala kraman puniku / kathahnya sakawan / sampun sami den kethoki / ingkang kantun agiris teluk sadaya.
25.
Jeng pangran miyarsa warta / yen kraman wung nungkul sami / kepalane kinethokan / abungah sajroning ati / anulya utusan nuli / nimbali dhateng Seh Jangkung / wus prapta aneng ngarsa / pan pinarak aneng kursi / Ki Seh Jangkung ajajar lawan pangeran.
26.
Pangeran alon tetanya / gih adhi Seh Jangkung singgih / asanget panrima kula / saged nambak mungsuh mami / manawi benjang ugi / kula sanget angsul-angsul / mangkana aturira / kang rayi nuwun aturing / bilih karsa punapa den kersakaken.
27.
Seh Jangkung nauri sabda / pan boten rumaos lami / inggih sampeyan kang begja / kula dermi anglampahi / warnanen sangang sasi / Seh Jangkung neng Banten wau / saben ari binoja / dhateng pangran Banten nenggih / genya mondhok inggih ing gedhong ngajengan.
28.
Kawarnaa ingjangira / Seh Jangkung pan sami mulih / apan nuli sesalaman / rangku-rinagkulan sami / pangeran kurmat nuli / ngantos dugi jawi pintu / datan kawarnaa ing marga / Seh Jangkung apan wus prapti / dhateng Cerbon dyan panggih kalayan sultan.
29.
Wus tinutur solahira / miwiti dalah mekasi / sultan Cerbon dadya rena / Seh Jangkung dipunlayoni / apan lengser sing ngarsi / pinanggih lan garwanipun / kang putra gya cinandhak / Rahaden Mukmin den arasi / ingkang garwa nulya saos dhaharan.
30.
Ajangnya bathok kelapa / ponang beruk ngunjuk warih / sampun bakda adhedaharan / linorot rencangireki / tan kawarnaa lamineki / Seh Jangkung neng Cerbon wau / kalih taun laminya / garwanya ingkang anami / Nimas Ayu putranipun sultan Cerbon.
31.
Yata wau kawarnaa / Seh Jangkung ingkang garweki / pan ginanjaran nandhang gerah / sampun wonten tigang ari / asanget genira sakit / tinambak kathahnya dhukunnya / tan ana marasna / wus puput yuswanira nenggih / tengah dalu Rahaden Ayu genira seda.
32.
enjang layon binerfsihan apan / wus den kubur singgih / warnanen Seh Jangkung ika / asanget genya prihatin / putrane taksih alit / tinilar ing ibunipun / saweng pitulas wulan / yuswanipun Rahaden Mukmin / datan enget tinilar ibune seda.
33.
Dadya ndherek eyangira / pinaringan emban nenggih / pan sakawan katahira / warnanen Seh Jangkung singgih / angun jroning galih / tan pegat intiyaripun / yen sampun awali (…..) / manawi supe kang ati / upamine taksih rinekseng pangerannya.
34.
Ing dalu Ki Seh Jangkung kesah / nuruti osiking ati / mangetan ing lampahira / beruk bathok datan keri / ginendhong aneng wuri / kados santri lampahipun / ing marga datan winarna / dumugi kendhal nagari / trus mangidul dumugi dhistrik Perbuwan.
35.
Seh Jangkung damel dhukuhan / ing Landhoh namanya desa / setaun sendhen kewala / datan saret ana bukti / enget ciptaning ati / inggih amung putranipun / kalisa ing lelara / enggala ageng tumuli / umur panjang tumuten saget lumampah.
36.
Dhumateng dhukuhira / Seh Jangkung ayasa masjid / pan kinarya pasalatan / akathah tiyang dhatengi / wuwusen enjang neki / Seh Jangkung ing ciptanipun / dhatengaken ing karsa / nulya kesah ngetan malih / dugi kidul kilene nagri Mataram.
37.
Dhukuh Landhoh naminira / kalih tahun lamineki / Seh Jangkung anulya kesah / dhateng blog gung krapyak nenggih / kersanya amertapi / inggih dhateng rawa blog gung / sarwi damel agethekan / yen dalu ngambang ing warih / lamun siyang amunggah dharatan.
38.
Badannya bebel sadaya / lintah ingkang angantupi / Seh Jangkung alon wacana / apa durung wareg iki / olehmu ingantupi / dene sawengi amuput / lintah regel sadaya / Seh Jangkung anulya manggil / buron wana pan samya prapta sadaya.
39.
Sima bantheng kidang / menjangan kalawan kancilnya / kethek lutung lan garangan / kebodanu rasa prapti / ingaben sami uthik / arame suwaranipun / Seh Jangkung langkung bingah / ningali buron wandri / lamun serap genipun sami bibaran.
40.
Yen enjang prapta sedaya / buron wana sami beriknya / kang sima sami gelutan / kidang manjangan kang berik / sami rencang pribadi / Seh Jangkung kekel gumuyu / mangkana selaminira / Seh Jangkung teng blog gung rawi / dugi gangsal wlas sasi laminira.
41.
Wonten kepala tampingan / ingkang minangka nglurahi / ing dhusun krapyak punika / pan uning tiyang mertapi / kesah dhateng negari / matur dhateng Sultan Agung / wus seba aneng ngarsa / atur pranata ngabekti / sigra nembah umatur ngarsa narendra.
42.
Dug gusti unjuk priksa / siti krapyake blog gung rawi / wonten sujanma mertapa / karyanya pan saben enjing / sakeh buron wana wanadri / aprapta sami den adu / kethek sami gelutan kidang / menjangan lan kancil / pan berikan sami rencange pribadya.
43.
Sultan agung angandika / utusan dandhek lumaris / animbali wong kang tapa / sekawan gandhek lumaris / mantri ingkang pinilih / kawan dasa kathahipun / dhawuhnya sri narendra / yen bakang penaten nenggih / banjur kethoke sepanjer pisannya.
44.
Datan kawarnaa ing marga / gandhek mantri sampun prapti / aneng rawa blog gung krapyak / anulya dipunubengi / tan wonten kedhang-kedhang awit / enjing ngantos surup / mantri gandhek Mataram / tan kepanggya angulari / kantos sipeng gangsal dinten laminira.
45.
Wus enjang sami rembagan / nedya mantuk ing nagari / wus seba ngarsa narendra / umatur ngabyantaraji / hamba matur ing gusti / angemban dhawuh / pukulun nimbali janma / tapa dhateng blog gung krapyak nenggih / amba pados tiyangipun tan kepanggya.
46.
Gangsal dinten laminira / hamba ugi anca geni / hamba upados sedaya / dhusun miwah kanan kering / takasih datan kepanggih / sumanggeng karsa pukulunnya / dadya jeng sulta ngandika / wis mantri dimin / lamun ana timbalaningsun sebaa.
47.
Jeng sultan kondur ngedhatyan / pra mantri bubaran mulih / kuneng wau winursita / Seh Jangkung sapungkurneki / gandhek kang sami mulih / Seh Jangkung sigra angadu / sakehe buron wana / berikan kadya ing nguni / dyan kapirsa mantri tampingan kang jaga.
48.
Sigra kesah ing nagara / asaos ngarsa nerpati / dyan wuwu atur pernata / aduh gusti sang nerpati / hamba ngunjuk sang aji / tiyang mertapi wau / ing mangke katingalan / ing panggenira malih / kangjeng sultan animbali patihira.
49.
Wus cumundhuk ngarsa / patih Danupaya nenggih / jeng sultan alon ngandika / patih lungaa den aglis / anggawa prajurit / lan bupati gawa telu / sujanma ingkang mertapa / akang aneng blog gung kang rawi / timbalana yen bangga pateni pisan.
50.
Kyana patih tur sandika / sigra budhalan tumuli / kairing prajuritira / gangsal atus kathahneki / bupati kang angiring / sekawan sami gebedhuk / tan kocap aneng marga / wus prapteng ing blog gung rawi / dyan kinepang kang rawi krapyak punika.
51.
Seh Jangkung osiking driya / becik ngatingal wak mami / pan arsa weruh jeng sultan / manawa ta awak mami / dadi jalaran becik / saksana Seh Jangkung wau / anulya angatingal / kya patih sigra nguluki / assalamungalahi wasallam.
52.
Lajeng sami sesalaman / kya patih ngandika aris / manira niki dikuta / Sultan Agung ing Mentawis / ing jengandika kyai / katimbalan ing Mentarum / Seh Jangkung aturira / dhumateng rekyana patih / inggih sumangga punapa karsa paduka.

Pupuh V
Kinanthi

1.
Sapraptanira Mentarum Seh Jangkung binojakrami / siyang dalu akasukan / tandhanya respati / anggung gawe (dheh digna ?) / mring santri kaum ningali.
2.
Modin Ali nabuh bedhug / kaji bukak serbaneki / ngelus-elus gundhulira / anebut astagpirolahi / dene nora akayaha / ayu temen wong puniki.
3.
Danureja gone nayub / tigang dalu lamineki / Seh Jangkung sinoba-soba / yen enjang dherek ki patih / asaos ing dalem pura / sumengkem ngabyantaraji.
4.
Kuneng wau laminipun / Seh Jangkung aneng Mentawis / nenggih wonten sangang wulan / datan pegat saben ari / gunem raos lan jeng sultan / mungguh wekasaning pati.
5.
Bupati ingksng rshsyu / rahayu tumekang mesthi / pesthi amrih kautaman / utamaning ruh ing lapis / lapis nirbating tingal / tingal ing waspadeng Widi.
6.
Jeng sultan ngandika arum / eh kakang Seh Jangkung nenggih / manawi kakang akersa / gih ugi kula pasrahi / salere gunung punika / kidulipun lepen lusi.
7.
Pun kakang prentah sadarumnya / mung saboronga puniki / pun dados langgeng (planingra ?) / pendhak mulud seba ngriki / dugia salaminira / tumurun mring putra siwi.
8.
Seh Jangkung alon umatur / pan sarwi amangan bukti / asaweg pamopo kula / anampik pasiyan gusti / inggih adamel punapa / anyar gih mengku nagari.
9.
Saben dinten pados mungsuh / datan ngenakaken ati / pinten agenging padharan / yen pun tuwuk genya bukti / pan malihe kauripan / boten umur sewu warti.
10.
Mung Nabi Adam puniku / ingkang umur sewu warsi / upami ing badan kita / iya damel tai / abrate dasa pakarya / karya ingkang amrih sukci.
11.
Punika atur sukulun / yen jeng sultan amarengi / wonten panuwun kawula / dhusun kang kula dhodhoki / pan sela sekathahira / kula suwun ing jeng gusti.
12.
Dhusun Landhoh ingkang catur / kula suwun ing jeng gusti / wonten malih tunggalira / Miyana keringan nenggih / pitonipun Pajegotan / wolu dhusun Siti Abrit.
13.
Sanganipun dhusun Gadhu / sedasa ing Bentos desi / sawelasipun Sukalila / kalih welas dhusun Kantil / Sokasumber tiga welas / kawan welasipun malih.
14.
Wanakusuma dhusun gangsal / welas mrambah nenggih / nem belas Jember kang desa / pitulas ing dhusun Pering / walulas dhusun Dermaya / sangalas Buwaran desi.
15.
Jeng gusti ngandika rum / sumangga ing kersaneki / kakang Jangkung boten kersa / kula pasrahi nagari / mung dhusun selawe nika / sumangga kakang puniki.
16.
Jeng gusti ngandika rum / sumangga ing kersaneki / kakang Jangkung boten kersa / kula pasrahi nagari / mung dhusun selawe punika / sumangga kakang puniki.
17.
Lawan malih kakang Jangkung / inggih kula angkat linggih / ajumeneng panembahan / dhateng Landhoh kang winarni / dhusun selawe punika / kakang Jangkung kang darbeni.
18.
Sampun dados dhaharipun / tumurun mring putra siwi / sampun kagungan sampeyan / Seh Jangkung umatur aris / asanget panuwun kula / pasiyanira nerpati.
19.
Kalayan ta malihipun / bilih pareng hyang nerpati / amung ing turun kawula / jeng sultan paringa idi / sageta angidenana / pan nami rahaden iki.
20.
Wonten malih donya agung / sakadaripun pribadi / tuwuka kang dipuntedha / sandhang sampun anyenyilih / upami asugih dunnya / nora kenging bekta lali.
21.
Yen pejah teka angerut / ewuh lebet lawan jisim / raganya pinendhem lemah / bosok ajur lawan siti / kajawi kang wus waspada / waspadeng enggoning pati.
22.
Ragane tan bosok wau / pan nganggo kersa pribadi / punika janma utama / pan boten rumaos mati / anggalih anggonira / alamipun duk ing nguni.
23.
Jeng sultan mesem dikarum / kawula inggih ngamini / pan inggih karsa sampeyan / kawula anembadani / kangjeng sultan dhawuh sigra / sakehe para bupati.
24.
Sakehe pra bupati iku / mancanagara pasisir / kabeh pada estokena / yen ing waktu dina iki / kakang Jangkung ingsun angkat / nama panembahan iki.
25.
Sarta ing saturunipun / tumeka putunireki / anama raden pra samya / sakehe para bupati / nembah matur mring sang nata / sandika dhawuh jeng gusti.
26.
Putra santana sadarum / tuwin rangga demang mantri / pra samya nembah sadaya / dhateng Ki Seh Jangkung nenggih / margi dhawuh kangjeng sultan / genipun wau ngurmati.
27.
Dadya jeng sultan dikarum / kakang Jangkung binjing-injing / pan samya kesah ing Mekah / lajeng dhateng Ngerum nagri / margi kula mireng yen raja / Ngerum nagari.
28.
Iman Sapingi Kng tutur / yen badhe nekani mriki / sarta mawi bekta bala / badhe bedhah ing Mentawis / mila usiking tyas kula / badhe kula rumiyini.
29.
Seh Jangkung umatur arum / sultan sampun walang galih / yen raja Ngerum kewala kula sagah bantah ngelmi / inggih pundi kang kasoran / amesthi kaukum mati.
30.
Yen ngaben dikjayanipun / kangjeng sultan piyambakneki / yen bantah ngelmi kawula / punapa saget nimbangi / sampun dalu wayahira / warnanen lajeng lumaris.
31.
Kangjeng sultan Seh Jangkung / wus bidhal ing Mekah nuli / datan kocap aneng marga / wus prapta Mekah nagri / kapanggya imam sekawan / Sapingi Imam Maliki.
32.
Anulya salaman sampun / Sultan Agung matur aris / dhumateng imam sakawan / mila kulo sowan mriki / lajeng dhateng Ngerum pisan / badhe panggih rajaneki.
33.
Inggih punapa saestu / badhe mecah tanah Jawi / manah kula tan sakeca / Imam Sapingi nauri / punapa kersane sulta / kula amung ingamini.
34.
Anulya bibaran sampun / Sultan Agung kang winarni / dhateng Ngerum karsanira / Ki Seh Jangkung atut wuri / tan kocapa aneng ing marga / sakedhap Ngerum wus prapti.
35.
Sami jujug ngalun-alun / Ki Seh Jangkung bekta telik / Sultan Agung nyekel walang / Seh Jangkung ingkang bektani / anuju raja pinarak / Ngerum pepekan sami.
36.
Punggawa gelar supenuh / jeng raja Ngerum mriksani / waspada kekalih tiyang / mansak walang karyaneki / sanes tiyang Ngerum ika / dyan raja dhawuhaken patih.

Pupuh VI
Dhandhanggula

1.
Kyana patih utusan aglis / animbali wong loro ika / katingalen ing kene / kang padha dhingkal-dhingkul / kaya-kaya dudu wong mriki / patih gawa utusan / mantri saos ngayun / sakedhap sampun kapanggya / kang dipunutus mantri alon wacana ris / lah dika tinimbalan.
2.
Inggih dhateng raja rum nerpati / Sultan agung umuring saksana / Seh Jangkung tansah wingkinge / sakedhap prapteng ngayun / Sultan Agung sampun alinggih / aneng ngarsa narendra / Seh Jangkung tan ayun / boten purun ndherek lenggah / taksih ngadek patih nyandhak astaneki / sigra den ajak lenggah.
3.
Raja Ngerum angandika aris / uwong ngendi lan paparanira / kaya dudu wong ing kene / Sultan Agung umatur / kula tiyang ing tanah Jawi / nagari ing Mentaram / abdi Sultan Agung / inggih masak mendhet walang / ngupadosi walang kang ageng niki / adamel loloh gemak.
4.
Sampun ludhes walang tanah Jawi / damel loloh puyuhe Jeng Sultan / Agung Mentaram daleme / mila kawula nglurug / kontos dugi nagari ngriki / ngupados walangira / ingkang ageng ngasua / raja Ngerum wuwusira / gonmu mlaku teka kana pirang sasi / tumekaa ing Ngerum sira.
5.
Sultan Agung pan umatur aris / wau enjang gen kula lumampah / wayah mekaten dhatenge / kados wanci jam sapuluh / raja Ngerum ngandika malih / Sultan Agung Mentaram teka / amisuwur / sapira ing dedegira / apa dhuwur apa gedhe apa cilik / dene gok akuwasa.
6.
Iya bakal manira lurugi / patihingsun ingkang isun duta / bedhah sasi ngarep kiye / patih bakal lumaku / gawa bala bana prajurit / kongkon nuli sadiya / beteng ingkang dhuwur / sarta maning gawa rata / prajurite aja kongsi nguciwani / mungsuh prajuringwang.
7.
Sultan Agung dadya matur aris / gih prayogi soas dara kula / binjang yen kula mantuke / wateknya Sultan Agung / kados boten kaget anggalih / nadyan dipun keriga / prajurit ing Ngerum / ngebakana tanah Jawa / dara kula Sultan Agung boten ngungsi / malah matur abingah.
8.
kang pinuji siyang klawan ratri / Sultan Agung sageta mungsuhan / raja ingkang geng nagarine / yen makaten kantuk mungsuh / raja Ngerum babone nagri / mendah genira bingah / kathah saguhipun / sampun lama datan perang / pra bupati sakathahe tanah Jawi / suyut ajrih mring sultan.
9.
Sampun mungsuh kalih gusti / dawek bantah kelawan kawula / sampun raja age-age / nungkulken Mentarum / inggih kula lamun kajopi / angaben kadigdayan / kalayan raja Ngerum / leres kula niki rencang / Sultan Agung sampun percaya ing mami / ruwet renteng nagara.
10.
Agengipun sultan Mentawis / inggih sami kalayan kawula / tan wonten wau kaceke / tan pendhek datan dhuwur / boten ageng pituwin alit / baplang sami kawula / tan geseh serambut / sultan aken saudara / lamun wonten mungsuh kang nekani / kang magut yuda.
11.
Lamun kula kawon ing ajurit / Sultan Agung prasasat akalah / inggih punika estune / raja Ngerum arengu / netra andhik wuwusnya bengis / idep mangada-ada / jaja bang wuwuh mung / kadya sinipi dukanya / alah patih sira cekelen tumuli / wong loro iki pisan.
12.
Patih sigra angadeg tumuli / Ki Seh Jangkung karsa ingayat / tan sarenge ngawe astane / Seh Jangkung kethunipun / dipunputer kapyahipun ngering / patih dawah kalumah / raja Ngerum wau / badhe nyepeng dhateng sultan / Agung kethunya pinuter nuli / raja Ngerum pan dhawah.

Pupuh VII
Pucung

1.
Niba tangi raja Ngerum gluntung-gluntung / sarwi jempalikan / patihe semanten ugi / molak-malik amubeng kadya gangsingan.
2.
Mungsuhipun patih lawan Ki Seh Jangkung / raja lawan sultan / kethu seser ubengneki / raja patih dherek seser ubengira.
3.
Balanira kang ngadhep ing ngayun / bupati satriya / tumenggung demang lan mantri / arya raga senthana prajuritira.
4.
Datan wonten kang samya dherek tutulung / domblong tiningalan / sima bekes sami amrih / malah madar gumeter sariranira.
5.
Sami pucet boten wonten darbe bayu / lir tinebak macan / sima ngiyas ulatneki / pangrasane kados datan darbe nyawa.
6.
Mangu-mangu patih lawan raja Ngerum / sami nuwun tobat / sabab sayah molak-malik / bapak bunyak sariranira sadaya.
7.
Patihira bathuknya mumbul sabluluk / dhawah neng sor saka / mangkana jeng sultan nenggih / semu welas ningali Ngerum sang raja.
8.
Kethu nerpu jeng sultan lawan Seh Jangkung / sami dipunbukak / raja patih ujung sami / Sultan Agung enggal nyandhal astanira.
9.
Datan arsa lajeng rinangkul / lajeng kathah asta / ingaturen malebeng puri / Ki Seh Jangkung kinanthi lawan kya patya.
10.
Jrone dalem wus wadiya raja Ngerum / nulya pinarakan / sang raja Rum matur aris / yen mekaten sampeyan Sultan Mataram.
11.
Sultan Agung nauri sabda Ngerum / inggih kula Sultan / Agung nagri ing Mentawis / ingkang dherek inggih punika ipe kawula.
12.
Pernah sapuhi gih nami Ki Seh Jangkung / lajeng lenggah jajar / sami pinarak ing kursi / raja Ngerum manthuk-manthuk aturira.
13.
Boten estu kula utusan anglurug / inggih sampun panggya / sultan sampun rawuh ngriki / nuwun tobat kula mungkul dhateng sultan.
14.
Anak putuku ya boten purun-purun / jeng sultan aturnya / kula inggih angamini / lan malihe panuwun kula ing raja.
15.
Dinten wingkang lamun / wonten kajiwan / saking tanah Jawa sujarah ing / Mekah nagri lamun wonten kakirangan sangunira.
16.
Kang supadya tiyang Medak samya tulung / sampun siya-siya / raja Ngerum anauri / Ingsak Allah sampun ngangge walangdriya.
17.
Duk semana Sultan Agung dhateng Ngerum / tri dalu laminya / sinuba-suba angenting / raja Ngerum naminya Tasangsulnggalam.
18.
Sultan Agung apamit mantuk / anulya salaman / Seh Jangkung dherek nganthuki / bidhal kondur Seh Jangkung lan kangjeng sultan.
19.
Tan kawarna ing marga datan winuwus / sampun prapta Mekah / pinigih Imam Sapingi / wus tinutur aneng Ngerum solahira.
20.
Purwanipun miwiti wekasanipun / yen Ngerum sang raja / sampun takluk dhateng mami / nanging kula inggih gadhah ing paminta.
21.
Dinten wingking supados saget tetulung / tiyang saking Jawa / kang sami sujarah mriki / lamun wonten kakirangan sagunira.
22.
Imam Supingi lon wecanan Ngerum / inggih kangjeng sultan / tiyang saking tanah Jawi / ingkang kangji dhateng ing tanah Mekah.

Pupuh VIII
Pangkur

1.
Sanadyan boten parintah / raja Ngerum kula inggih ntagahi / yen estu kirangan sangu / wajib atulung kula / printah tiyang ing Mekah sedarum sampun / sultan walngdriya / kados boten nyulayani.
2.
Ana guneman-gunemannya / Sultan Agung lawan Sapingi / gale pikambali wau / Maliki sekawannya / anemipun anenggih wau Seh Jangkung / genya gunem ngelmu rasa / wus supakat samya ugi.
3.
Sultan agung wuwusira / kenging kula wapat ing benjing / pinendhem ing Mekah kubur / tuwin dhateng Medinah / inggih melik siti suci kang linuhung / imam sekawan aturnya / Sultan Agung seda mriki.
4.
Tanah Jawi dipuntilar / dinten wingking linuri-luri / inggih amung Sultan Agung / ngungkuli buyut canggah / ngibaratnya sampun ical esohipun / temtune akethatharan / kula boten nuwa weni.
5.
Tanah Jawa wonten uga / ingkang suci kados tanah ing ngriki / dereng mirsa Sultan Agung / siti ing Girilaya / inggih caket Gunung Gamping eleripun / Sultan Agung den priksaa / yen siti gandanya wangi.
6.
Punika siti kuburan / apan inggil pucaking ardi siti / lembut dhasar alus / wangi gandanya ngambar / Sultan agung kakilapan ing pituduh / yen sampun kondur jeng sultan / prayoga den priksani.
7.
Sultan Agung aturira / yen makaten kawula nuwun pamit / kalayan wau Seh Jangkung / anulya sami salaman / Sultan Agung sigra budhal lan Seh Jangkung / tan kocap aneng marga / wus prapta ing Gunung Gamping.
8.
Tan saranta galihira / dipun priksani pucukipun kang ardi / Magiri nginggil gunung / tinupiksani denira / inggih leres sitinya gandanirarum / Seh Jangkung matur jeng sultan / kados siti niki.
9.
Jeng sultan nauri sabda / kakang Jangkung leres siti puniki / mambet gandanira arum / dhateng pucak aldaka / boten sisip Imam Sapingi atuduh / Gunung Gamping Girilaya / puniki siti Magiri.
10.
Seh Jangkung kalih jeng sultan / samya mudhun mriksani toya mili / saking kilen sumberipun / Sultan Agung kuwasa / osiking tyas toya saged taman dhuwur / supados angubengana / dumugi pucaking wukir.
11.
Wonten lare angon kathah / rubung-rubung inggih samya ningali / lare angon sami catur / iku mangsa sageta / toya saking ngandhap mili mandhuwur / inggih ing jaman punapa / toya saget nusung inggil.
12.
Sultan Agung sigra salat / rekangat nenuwun Hyang Widi / kaliyan wau Seh Jangkung / pan inggih ndherek salat / kajat satiti nunuwun gone Hyang Agung / Gustiku Allah tangala / supados anembadani.
13.
Asanget ngiring kawula / lare angon angina kawula Gusti / katrima panuwunipun / Seh Jangkung riseksana / tepi sasira sekar mulih aranipun / ginarit tinurut toya / manginggil ngubeng ardi.
14.
Sultan Agung dhateng ngandhap / nyebul toya supados anurut garit / uwisira Seh Jangkung / toya kemriwak enggal / minggak-minggok genya garit Seh Jangkung / margi menek lampahira / punika purwaning nguni.
15.
Mila kantos sapunika / ing Magiri toya minggah manginggil / pasarehan Sultan Agung / kuwasa jagat Jawa / nora nana bebasan ing anak agung / ngungguli bapa myang eyang / buyut canggah den ungguli.
16.
Sultan Agung ngandikanya / dhateng raka Ki Seh Jangkung puniki / binjang kakang sedanipun / ndherek mriki kewala / inggih caket kaliyan kula akumpul / Seh Jangkung alon turira / siti Landhoh kula pilih.
17.
Sanadyan dhateng kawusanan / dhusun Landhoh ingkang kula remeni / sawek tapel kula ngriku / nalika ananira / asal siti bebuka ing purwanipun / boten kenging ngowah-owah / punapa asaling lami.
18.
Sultan Agung aturira / gih karsa kakang pribadi / lare angon kathahipun / wetawis kalih dasa / samya rujeng ting pekakak samya muwus / kakek tan nana denira / bisa nulungena warih.
19.
Lare angon sami kesah / Sultan Agung lajeng kondur Mentawis / sakedhap sampuna rawuh / pinethuk ingkang garwa / Ki Seh Jangkung ingkang garwa inggih methuk / anulya samya pinarak / kang garwa sultan ngabei.
20.
Sarwi matur awot sekar / dene lami tindak paduka gusti / kantos wonten pitung dalu / Sultan Agung ngandika / iya lawas manira ana ing Ngerum / sang raja Tasangsul Ngalam / wus kasor marang lan mami.
21.
Sultan lurugi kang emas / kakang Jangkung mungsuh kelawan patih / ingsun mungsuh rajanipun / samya ijen kewala / raja ngerum ing mengko pan uwus nungkul / yen ta ingsun nglilanana / nulya seba ing Mentawis.
22.
Dadi ingsun tan pangrasa / raja Ngerum babone para aji / anane janma sedarum / pan ing Ngerum bibitira / dadi ingsun nalar ingkang tanpa kusur / ora wurung nemu galap / kasiku marang Hyang Widi.

Pupuh IX
Dhandhanggula

1.
Kanjeng sultan malebeng jro puri / abibaran denira sineba / Seh Jangkung ing pondhokane / kuneng wau winuwus / Ki Seh Jangkung rembagan nuli / kalawan ingkang garwa / tinantun ing ngayun / dhimas priye karsanira / iya aku bakal pamitan mulih / marang adhimu sultan.
2.
Sabab aku uwis lawas awak mami / enak-enak aneng nagri Mataram / wus ana sangang sasine / awaku kongsi lemu / esuk-esuk ta nyambut kardi / apan sinuba-suba / saben dinanipun / mring adhimu kangjeng sultan / iya priye wekasane dina buri / enak dhukuh priyoga.
3.
Pan arep gawene wong iki / nora enak amangan gedhongan / enak budi kasil dhewe / apa sekadaripun / pan wong urip aja melik sugih / cukupa kang den pangan / lan sinadhang iku / aja kongsi utang-utang / yen bisaa iku lakune wong urip / aja tindak belasar.
4.
Yen wong sugih ingsunnya puniki / akeh lali mring pangeranira / iya kibir pangucape / atela dhawuhipun / Kanjeng Nabimu kyangmat iki / mustapa rasul ngulalah / utusan Hyang Agung / dhawuh telung prakara / siji drajat loro dunya telu ngelmi / apan mendem dadi sira.
5.
Lah kapriye dhimas sireki / apa melu mulih marang ingwang / apa bae neng kene / kang rayi alon matur / inggih tumutut wingking laki / dhateng pundi purugnya / malebeng lobang semut / kawula dherek kiwala / pun mesthine wanudya tumut ing laki / nglakoni printah ing priya.
6.
Ingkang raka nauri aris / yen mangkana lega tyasingwang / gonku mature mring adhine / Jeng Gusti Sultan Agung / kuneng dalu wuwusen enjing / Seh Jangkung lan kang garwa / sewan mring kedhatun / jeng sultan nuju pinarak / dipunandhep pra santana neng arsi / atap andher sap-sapan.
7.
Ki Seh Jangkung ingacaran kursi / sampun lenggah saha apernata / kapernah aneng keringe / Seh Jangkung alon matur / kangjeng sultan bilih marengi / karsa paduka nata / kawula anuwun / pamit mantuk ing Miyana / sampun lami gen wonten ngriki / sangang sasi laminya.
8.
Pun Bak Ayu Retnajinoli / dherekaken sah antuk kawula / tan purun katilar dhewe / Jeng Sultan Agung guyu / aneh temen kakang Jangkung niki / wontene palakrama / yekti runtung-runtung / laki rabi namanira / anmung rabi dhateng sasedyaning estri / dunya ngakeratira.
9.
Benjang napa kakang budhal neki / Ki Seh Jangkung alon aturira / dinten punika kang sae / Jeng Sultan sigra dhawuh / animbali mantri sinelir / sadasa kathahira / tiyang pikul kathahipun kawan dasa / gunggungipun pakathik ingkang angiring / satus sekawan dasa.
10.
Kakang Jangkung kula ambekteni / pandhe dhalang ringgit lawan bedhaya / gong sawayang sarancake / kula bektani sangu / ing Bok Ayu Retnajinoli / sewu ringgit kathahnya / embanipun tumut / para Nyai pan sekawan / kang ngladeni Bok Ayu Retnajinoli / sampun ngantos sangsara.
11.
Kalih dasa rembat gunggung neki / bekakase Raden Ayu iku / kajawi gong sawayange / kelawan kpthakipun / wus sadiya aneng ing ngarsi / mantrinipun sadasa / numpak kuda wau / gunggung kuda kawan dasa / Ki Seh Jangkung ingkang badhe den tumpaki / lembu remenanira.
12.
Ki Seh Jangkung nulya nuwun pamit / dyan salaman dhumateng Jeng Sultan / Agung selamet selamine / kang rayi pamit sampun / dhateng sultan ngandika aris / sultan ingsun apangkat / slamet aneng dlanggung / jeng sultan nauri sabda / iya kakang bok ayu slamet aneng margi / aja ana bebuka.
13.
Pan bisa atutug sasedyaneki / para garwa miwah para putra / dherek medal ngaturake / dumugi lun-alun / dyan rangkulan lungayaneki / sigra numpak jempana / raden ayu wau / seksana sampun bidhalan / Ki Seh Jangkung dyan nitih kang lembu singgih / ngiringaken kang garwa.
14.
Yata lajeng lampahireng margi / ngaler ngetan wau purugira / duk semana ing jamane / dereng wonten margi agung / inggih wonten mung margi alit / kathah simpanganira / kathah ingkang bingung / begalan margi kathah / wana ketel tur kathah sima kang muni / gadhungan mangsa janma.
15.
Langkung randhat lampahnya ing margi / sabab kanthi ambekta wanudya / putuwin wau pikule / yen sayah ingkang mikul / dadya mandhah tengah wanadri / olah kang panekulan / arep sedalu / enjangnya pan lajeng bidhal / pan saari denira lumaris / sareng asar wayahnya.
16.
Lembunira kang den ngumpani / Ki Seh Jangkung sanget sayahira / ambyuk jengklok sukune / den degaken tan purun / inggih kantos dipunrewangi / maksih datan kuwawa / mangkana Seh Jangkung / alon denira ngandika / pan wus sayah apan dhadheprok ngriki / (pandhoh ?) ngajak lerennya.
17.
Dadya leren sakeh para mantri / sikep saking Mataram / wus (rinuwut ?) sambatane / kuda den othaki sampun / raden ayu miyos ing joli / nulya rakit pondhokannya / sampun wonten wau / driya ageng jejer tiga / sana sita lajeng kenging den enggoni / mantri saking Mataram.
18.
Raden ayu pun Retnajinoli / langkung resep penggalihira / tan enget dhateng daleme / anulya susul sampun / santun sinjang semektaneki / gandes kaduk lalewa / mangkana winuwus / sapolahe asung brangta / raden ayu datan enget wismaneki / lajeng kraos ing driya.
19.
Inggih lembu ingkang den titihi / sampun sayah tan purun lumampah / angajak dheprok karsane / (mandhoh ?) aneng ing ngriku / Raden Ayu Retnajinoli / adhawuh ingkang ngrambat / (….) ki sampun wangsul / ingiring punggawanira / mila karan dhusun Jajar ing samangkin / punika purwanira.
20.
Raden ayu ingandhika aris / kinen bethak uwos sangunira / saking Mataram kathahe / wolu las dhucin wau / ulam dhendheng manjangan iki / sampun semakta sedaya / boten luru-luru / sampun surup sang hyang surya / para mantri anulya dipuningoni / sikep gamel wrata.
21.
Tabuh wolu dhawuh babar ringgit / dhalang saking nagari Mataram / den anyari caritane / dhawuh lampahanipun / Kurupati denira rabi / tiyang nonton akathah / jalu estri wau / rare miwah ingkang tuwa / kaki-kaki nini-nini andhutangi / tinut ing putunira.
22.
Ambelaba tiyang aningali / rebut papan margi kanyaran dhalang / Mataram critane / tatag trangginas patut / lamun ngringgit arjuna jemparing / gurisa tembangira / kathah estri kenyut / ingkang kedhik sebutira / lajeng dherek anggender aneng wingking / saking senenging driya.
23.
Yata wau mantri ing Mentawis / pitung dina genira reren punika / dereng rinilan wangsule / marmanya sekepipun / den kersakna tatulung nenggih / andamel griya anyar / tuwin langgaripun / kang kinarya pesalatan / sampun dadya griya sarta langgarneki / nuwun pamit mantuk neng Mataram.
24.
24. Seh Jangkung pangandikane / eh mantri ing Mentarum iya banget panrima mami / sira angaterken / marang ulih ingsun padha slametane merga / dyan den ayu paring sangu marang mantri / ngaringgit bunderat.
25.
Raden ayu angandika aris / sira mantri matura jeng sultan / selamete dhukuh kiye / mantri nembah umatur / gih sandika dhawuh jeng gusti / raden ayu mundhut arta / dhateng embanipun / ringgit satus kawan dasa / den bayarken sikep ing Mentawis / sampun radin sadaya.
26.
Sigra budhal mantri ing Mentawis / ingkang numpak kuda kawan dasa/ rumiyin wau lampahe / kang lampah suku wau / sami kantun tinilar wingking / tan winarna aneng marga / wus prapten Mentarum / dyan mantri saos Narendra / pan pinuju siniweng para bupati / pangeran demang arya.
27.
Dan dumrojog cumundhuk neng arsi / ngaras pada bungkuk konjem pratala / manembah asru ature / dhuh gustiku sang aprabu / hamba utus dhereken ngiring / jeng raka den ayu retna / gusti gih lestantun / wilujeng aneng ing marga / tigang dinten hamba rereh aneng margi (apipe ?) aneng wana.
28.
Enjangipun apan budhal gusti / pan sadinten lumampah kewala / dugi wanci ing ngarsane / lembu titihanipun / jeng rakanta panembahan gusti / dadosaken sayahnya / lumampah sukunipun / datan purun alumampah / den gebar ti meksa pan purun lumaris / lajeng dheprok kewala.
29.
Radha dalem pan lajeng nuruti / lajeng (pandhoh ?) ing ngriku kewala / pan nulya dados pandhoke / dyan wonten griya wau / jejer tiga kang den panggoni / kawrat tiyang sedaya / saking ing Mentarum / dalunipun raringgitan / dhalangipun inggih ingkang saking ngriki / kang nonton langkung kathah.
30.
Mila hamba ngantos pitung ari / dipunandhek ing raka sang nata / mantri tiyang sedayane / kersa kados wau / amewahi griya ing Jawi / pondhokan tamunira / damel langgar sujut / kinarya ing pesalatan / mung punika atur kula mring jeng gusti / sampun kawrat sedaya.
31.
Wonten malih hamba den sangoni / tiyang sikep kanthi sadaya / tiyang satunggil nyringgrite / kadamel sangu mlaku / kanjeng sultan ngandika aris / eh mantri ingsun tarima / iya ing lakumu / caritamu kabeh ika / sun tampani kaya dhalang ringgit / dhasar mantri weweka.
32.
Kanjeng sultan angandika aris / dhateng Raden Jayawidikda / juru gedhong ing lungguhe / kinen amundhut wau / ing pekakasireng mantri / sedasa katahira / sapengadeipun / wus cumaos aneng ngarsa / sigra dhawuh kinen marungaken mantri / sedaya mantrinira.
33.
Ingkang ndherek ngaturaken nenggih / kang bok ayu raden retna / wus katrima lakune / pan wus adat Sultan Agung / lamun wonten kang den asihi / dhasar sultan tega lali / ingsunnya puniku / katedha ing abdinira / boten karsa sugih ing dunya puniki / mung andi kang den (piara?).
34.
Sampun kathah tiyang kang dhatengi / saklangkung gemah dhusunira / ing kawitan wekasane / kuneng gusti winuwus / kawarnaa / pakabehe mantri / selamine ana / dhukuh ing ngriku / ingkang / ingkang ladosi punika / Ki Seh Jangkung nami panembahan nenggih / wus misuwur ing wong kathah.
35.
Pandhenira dine kekasaring / Ki Berganjing pandhe namanira / dhalang aneng banyol gone / jogednya saleripun / kama putra jan kampunganeki / mranggi aneng Karang Tengah / wus sami ingatur / dhalang nami K Gulungan jogedira naminira Simbar Akik / meranggi nama Prayongsa.

Pupuh X
Pocung

1.
Duk semana panembahan laminipun / pan sampun sawarsa / neng dhusun Landhoh winarni / sampun arja akathah tiyang prapta.
2.
Kawarnaa nenggih wau Nyai Banjur / sampun sireng warta / yen kang raya sampun mulih / lajeng dhukuh neng Landhoh kiduling desa.
3.
sarta angsal pinaringan putri ayu (bandhun?) ning Jeng Sultan / Agung negara Mentawis / wus kagarwa dhateng Panembahan ika.
4.
Nyai Banjar asanget ing bingahipun / lajeng tata-tata / nedya tuwi mring kang rayi / bekta rencang kathahipun kalih welas.
5.
Bekta duren kathahnya ban wonglung pikul / pelem kang srembat / kalih rembatan kuweni / lan kaluwek kamirine kalih rembat.
6.
Nyai Banjur aneng marga tan cinatur / apan wus saprapta / neng Landhoh kidul winarni / kapang-kapang pinanggih lan arinira.
7.
Panembahan gya methuk plataranipun / nulya ingkang garwa / Den Ayu Retnajinoli / dherek methuk marga anut ingkang raka.
8.
Sampun lenggah neng bangsul lagu / samya jejagongan / panembahan muwus aris / gih bok ayu punapa sami slametan.
9.
Nyai Banjur nauri sabdanya arum / iya keslametan / dene bisa teka ngriki / uwis lawas abanget kangen manira.
10.
Duren iku duwe (jukang ?) ingsun gadhuh / nuju kabeneran / ana wohe kang nyalandri / wolung pikul iya ingkang ingsun gawa.
11.
Panembahan driya kuweni kang awuh / klawan kemiri kang / ing gawa namung sathithik / kanggo bumbu raden ayu karsa midhang.
12.
Nuli dhahar den ayu lan Nyai Banjur / tiga panembahan / linadosan para nyai / bakda dhahar linoroten rencangira.
13.
Nyai Banjur dene dhateng Landhoh kidul / tigang dasa dina / sinuba-suba kang rayi / panembahan kalawan ing garwanira.
14.
Nyai Banjur enjangipun pamit mantuk / pan sampun rinilan / tan kocap aneng ing margi / sampun prapta ing wismanireng Miyana.
15.
Yata wau nulya ganti ingkang winuwus / inggih nagri Tuban / wonten kraman pacak baris / sampun kathah patahan telukanira.
16.
Badhe gempur dhumateng nagri Mentarum / mejang kangjeng sultan / animbali dhateng patih / sampun prapta raden patih aneng arsa.
17.
Kangjeng sultan pangandikanira arum / lah patih printaha / mantri prajurit pinilih / satus bae prajurit ingkang prayoga.
18.
Besuk-besuk ingsun budhal aneng Landhoh / pan arsa rembugan / lan Ki Seh Jangkung kinanthi / raden patih aturipun gih sandika.
19.
Kanjeng sultan nulya kondur ngadhatun / patih mrintahira / mring mantri miji pinilih / amung kang sami anumpak kuda.
20.
Sultan Agung sampun rawuh rereh gunung / kendhang gong ing ngarsa / panembahan aneng sabin / macul siti supados sageta rata.
21.
Ing kakang mas macul dhateng ing sabin kang wus / katingalan / anenggih saking ing ngriki / lamat-lamat dene wus katingal.
22.
Kangjeng sultan dene angawasaken wau / dheweke nawang / sakilane Purwadadi / mila aran nami dhusun Penawangannya.
23.
Gih puniku purwane Sultan Agung / nawang ingkang rata / mila akantos samangkinn / Kanjeng Sultan ingkang paring nama desa.
24.
Dhusun Landhoh inggih wonten sabinipun / kang nami pun Tamat / kantos karan dinten mangkin / gih punika purwane carita kuna.
25.
Tan kawarna ing dalu Jeng Sultan Agung / dyan wuwusen enjang / jeng sultan budhal tumuli / pan ingiring prajurit anumpak kuda.
26.
Sampun rawuh dhukuh Landhoh Sultan Agung / geger apuyengan / tiyang alit sami ngili / pengrasane wonten kraman ingkang prapta.
27.
Jaler estri sedaya ngungsi ing gunung / ingkang gadhah anak / alit-alit den bekteni / ingkang meteng anak-anak aneng dalan.
28.
Panembahan sareng ngarsa Sultan Agung / methuk neng plataran / salaman sarwi kinanthi / Raden Ayu Retnajinoli gya medal.
29.
Dyan pinarak dhateng kursi kanthi agung / raden ayu wuwusnya / aku iya nora ngipi / kangjeng sultan yen kewala wismaningwang.
30.
Kangjeng sultan anauri sabda arum / mila ingsun prapta / kangen bok ayu Jinoli / dene lawas setaun nora kepangya.
31.
Raden ayu nauri sabdanya arum / (benjake ?) mayangan / banget temen bengah mami / pan sumepa kebanjiran madumangsa.
32.
Yen supama kangjeng sultan nora rawuh / marang wismaningwang / sasi mulud ngarep iki / kang sun sedya tilik mring Mataram.
33.
Iya kangen maring adhi nimas ratu / Raden Mukmin wungu / Retnadiluwih / karo kangen putramu Raden Mas Dibya.
34.
Kangjeng sultan nauri ngandika arum / kabeh keslametan / lami gawa tinggal iki / ora ana sangkutane apa-apa.
35.
Ya mulane bok ayu ingsun atawuh / ngampiri pun kakang / sun ajak neng Tuban nagri / ana kraman wus akeh telukanira.
36.
Panembahan turnya sarwi gumuyu / tan susah jeng sulta / atindhak neng Tuban nagri / kula piyambak kang mapagaken ing yuda.
37.
Kanjeng sultan lereh ngriki apan sampun / ngantos dhateng kula / sapinten kraman ing Tubin / sagah ngethoki ting jangganira.
38.
Nangging kula inggih gadhah ing panuwun / sikepi Mataram / supados dhongkel ing ngriki / sikepipun pan kenging kawula sambat.
39.
Manthuk-manthuk kangajeng sultan ngandika rum / gih prayogi kangmas / kula jarine pribadi / gawa pinten siti mung kedhik punika.
40.
Pra prajurit Mataram parasan turun / nora akengelan / wus ana kang anyaruhi / mungsuh yuda nelukaken kraman Tuban.
41.
Pra jurit Mataram parasan turun / kabeh enak-enak / nora melu marang Tubin / nadyan perang amungsuha bari lemah.
42.
Panembahan dadya dhawuh mongtong wedhus / kebri pan gangsal / mragat gudel tiga iji / sampun mateng genra masak-masak.
43.
Dhasar rikat koki saking ing Mentarum / koki Jenang nama / anulya dhaharan mijil / pan dhaharan tiga raden ayu retna.
44.
Bakda dhahar linorotken abdinipun / prajurit arata / sikep gamelan pakathik / apan radin datan wonten kelangkungan.
45.
Sareng dalu dhalung tinimbalan sampun / kinen aringgitan / akathah tiyang ningali / ingkang ngili aneng wana sampun prapta.
46.
Tan kawarna wuwusen ing dalunipun / kawarnen ing enjang / panembahan nulya pamit / dhateng sultan kula bidhal dhateng Tuban.

Pupuh XI
D u r m a

1.
Dyan rinilan panembahan sampun bidhal / mung bekta rencang kalih / kumpul kina lunga / pan sarwi berukira / ecise bar mulih anenggig / naminira / panembahan teken icis.
2.
Rencang kalih bekta beruk kalih pisan / panembahan lumaris / mampir mring Miyana / pamit bok ayunira / Nyai Banjur sampun ngimpi / lamun kapanggya / kelawan ingkang rayi.
3.
Boten dangu penembahan rawuhira / dhateng Miyana nenggih / Nyai Banjur amapag / aneng pelataran / sarwi muwus aris / lajeng asigra / esuk temen sira prapti.
4.
Dara dasih kelawan supenaningwang / wus atate yen angipi (+1) / lamun kapanggih esuke teka (+1) / panembahan anauri / bak ayuningwang / ingsun bakal ing Tubin.
5.
Dyan ingutus Jeng Sultan Agung Mentaram / methukna kraman Tubin / iya kangjeng sultan / isih ing wismaningwang / prajurit sasikepneki / iya labotan / sun kongkon dhongkel sabin.
6.
Pan sedalu panembahan neng Miyana / warnanen sampun enjing / panembahan pamitan / dhateng bok ayunira / supados dipunidini / ing lampahira / pan sampun anglilani.
7.
Tan winuwus panembahan lampahira / Sultan Agung winarni / nenggih sapungkurnya / kang raka dhateng Tuban / dyan dawuh mantri sireki / lan sikepira / kinen dongkel sabin.
8.
Sikepira kathahnya satus sawidak / ingkang sami dhongkeli / mantri tindhihana / akarya tetaruban / wonten ing griya satunggil / kinarya pinarakan / yen kanjeng sultan mriksani.
9.
Saben dina tiyang dhongkel gih punika / kinirim tedhaneki / jeng sultan amriksa / tan arsa akundura / mundhut dhahar teng sabin / wus ingaturan / adhahar sultan aglis.
10.
Kapinujon raden ayu genira kelan / jangan asem puniki / tambah klungsunira / kakalih dereng binucal / jeng sultan amundhut aglis / klungsu punika / tinanem aneng sabin.
11.
Kapernahnya pojok sabin kang kaler wetan /gening nanem puniki / kinarya pertandha / lamun iki dhukuh kakang / asem ing ngriki / dugi injangnya / klungsu pun thukul nenggih.
12.
Kinen nyrumbung kanan kering rinajegan / wus tigang dinten nenggih / asem tiningalan / sadedeg inggilira / Sultan Agung dhasar sekti / sabarang cipta / pesthi iya adadi.
13.
Nengena rasul lan agung tan kocapa / panembahan winarni / wus prapta ing Tuban / anulya campuhing mring / brandhal ambedhili / rame ayu / rarebut rok silih.
14.
Panembahan beruk den gasangane / kinarya nadhahi mimis / nulya binalekna / anempuh kraman ika / kraman kang kenging gusis / tatu sedaya / limayu ngungsi urip.
15.
Kepala sekawan wus kinethokan / endhase pipanjer nuli / pan sareng uninga / kepalanya wus pecah / sedaya wus nungkul sami / atur martobat / amanembah asung bukti.
16.
Panembahan anulya malebeng pura / mundhut jarahan nenggih / wus katur sadaya / wonten gangsal gotongan / panembahan aneng masjid / mriksani mimbar / wrananira abecik.
17.
Lajeng dhawuh mimbar kinen ambikaka / sampun binikak aglis / ing ngriku anulya / miranteni rembat pan / sampun kinumpul nenggih / lan raja brana / sadaya wus rumakit.
18.
Wonten ketib nenggih nagari ing Tubannya / seguruh westaneki / putranya sajuga / langkung ayu utama / Pandhanarum naminireki / ingaturena / dhateng panembahan nenggih.
19.
Panembahan duk kala sareng amirsa / seneng ingkang galih / pan lajeng binekta / numpak dhateng jempana / panembahan kondur nuli / tiyang ing Tuban / kawan dasa ingkang ngiring.
20.
Pan rembat tan gegotong neng arep pisan / tiyang Tubin kang ngiring / sawidak kathahnya / kelayan lurahira / datan kawarna ing margi / wus prapta wisma / dhepok Landhoh kang desi.
21.
Kangjeng sultan tumedhak aneng plataran / methukken rakanteki / sampun kaslametan / pan sampun pinarak kaliyan / panembahan matur aris / punika sultan / anggen kawula jurit.
22.
Inggih mimpang saking pangestu paduka / tumenggungira nenggih / keraman punika / janggannya tiga sekawan / kula panjeri / kapalanira / kang kantun teluk sami.
23.
Gih punika raja brana saking Tuban / rolas rembat gunggung neki / inggih katur sang nata / kawula inggih derma / alimampah kiwaneki / ngemban dhawuh sang / aji sumanggeng karsi.
24.
Kangjeng sultan alon pangandikanya / kakang ambil pribadi / sekathahing dunya / ingkang saking Tuban / punika kakang nglampahi / ingkang kangelan / bak ayu kang darbeni.
25.
Gone dhongkel sabin inggih dereng dadya / ingkang nglurug sampun prapti / angsal baboyongan / panembahan aturira / yen makaten sultan inggih / ing benjangira / Guder namaning sabin.
26.
Sawek Guder ing laminira / sabin dereng adadi / kula sampun prapta / pun sabin dereng dadya / jeng sultan inggih ngamini / sakarsanira / mila karan semangkin.
27.
Kangjeng sultan alon wijiling wecana / kakang kula suwuning / nanem asem punika / binjangipun dipunkandhanga / damel peken kemis / nikang kinarya / madhangan yen wonten ingkang kapti.
28.
Kangjeng Sultan Agung genira ing Landhoh / nenggih pan sampun lami / pan satengah candra / siyang ratri binoja / dhateng kang raka anenggih / ing saben dina / tan pegat motong kambing.

Pupuh XII
S i n o m

1.
Kangjeng Sultan pamitan / gih kakang kula lilani / lan malih bok Ayu Retna / ingsun uga den lilani / den ayu nauri / iya sakethi jumurung / selamet selawasira / aku kirim salam taklim / mring garwamu Raden Ayu Kencana.
2.
Kangjeng sultan sigra budhal nitih kuda / jragen nenggih / kambil lan ireng kencana / laratipun bludu abrit / sinulam jene pinggir / sanggawedhi jene sepuh / ebegira garodana / rinajut kudaneki / kura kedhuk dya gambar warnanira.
3.
Prajurit ing ngajeng samya / samya sami nitih wajik / tan kocap aneng ing marga / sampu rawuh aneng nagari / malebeng puri / prajurit pan samya mantuk / inggih sowang-sowangan / dhateng wismaning pribadi / enengena Jeng Sultan Agung Mataram.
4.
Duk kalaning panembahan / lumampah kasatan warih / Ki Praya kang asung toya / legen kalih bumbung nenggih / mila Ki Praya prapti / sowan panembahan wau / Ki Praya aturira / apan sarwi ngasih-asih / panembahan mila kawula sowan.
5.
Manawi paduka karsa / inggih anak kula estri / kula tiraken sampeyan / dados gih para nyai / inggih sampun ing ngriki / punika ing wernanipun / Bakirah namanira / panembahan mriksani / kaduk sae warnane rare punika.
6.
Anulya kaningkah pisan / pan dados selir sireki / kang garwa kinempalna / tanana rengu ing galih / rukun samya ngladeni / pan sami mesem gumuyu / pan ajrih dhateng raka / nglakoni tindake estri / tri telu punika ingkang linakyan.
7.
Amantep dhateng ing priya / agemi kayaning laki / satiti barang pratingkah / ngati-ati lamun angling / aben semune laki / mantep idhep amituhu / mantep temen ing priya / idhep caosining laki / guyub anut kelawan printahing priya.
8.
Tuhu asih dhateng priya / datan malik tingalneki / ajrih lamun aduraka / yen wong wadon tingkah juti / melik liyaning laki / siniksa dening Hyang Agung / malebeng ing naraka / ula klabang kalajengking / angantupi badane gebel sadaya.
9.
Jerit-jerit sambatira / tanana ingkang nulungi / nora kena maidoa / wus kacetha dalem dalil / milane ing wong estri / den abekti marang kakung / iku pangeranira / ing dunya tumekeng akir / temen-temen amasthi munggah suwarga.
10.
Wong wadon saiki arang / ingkang temen dhateng laki / sewu siji nora ana / kang kadya sinebut nginggil / yen nora den kayani / belasar ing tindakipun / ngupados lanang liya / sok ugi angsala dhuwit / nora enget lamun dandane bejat.
11.
Satengah kesah pacinan / dya pamit dhumateng ingkang laki / jengandika pados dagangan / leksana apados jibing / kang jaler tan udani / yen kang estri rare beruk / nadyan wau ningwang / sawab nora kalong iki / (coka ruliya ?) arta damel tumbas madat.
12.
Apan ta sampun akathah / wong wadong ingkang nglakoni / anenggih jaman punika / aja nganti sira ceki / lamun dhemen priyayi / kang jaler bingah kelangkung / sun emba mati lena / turune amrihe becik / lanang alus raden ayu warnanira.
13.
Sampun maido ing serat / sakabat sampun ningali / duk kalane amelana / dhateng ing liya nagari / uninga pribadi / lelakon kang kaya iku / mila (ananjangna ?) / supados sampun nglakoni / sampun kantos tumindak kadi punika.
14.
Boten sande ambabekta / temahan ngisab-isabi / gegandheng mring bapa biyang / buyut canggah kaki nini / ngaku turune wong becik / belasar ing tingkahipun / dadi atingal nama / dudu turuning wong becik / yen becik kang mangka lakune belasar.
15.
Sinidi ingkang carita / wuwusen ingkang winarni / panembahan sampun lama / gene dalem Landhoh nenggih / sampun inggih sabin / kathahipun mung nem bahu / Guden sabin kang nama / dadose dhadhongkel sabin / aca tanem pan iya puput sadina.
16.
Ananging kuciwanira / dereng wau anggadhahi / mahesa kang damel garap / mangkana warnanen enjing / panembahan lumaris / ngupados mahesa wau / saben dhusun thinanya / ana mahesa puniki / pan dumugi dhusun (losen kana ?) punika.
17.
Wonten tiyang mayu griya / kathahipun pitung iji / tinakon panembahan / bagus ingkang mayu sami / punapa dhusun mriki / wonten tiyang sade wau / mahesa kula tumbas / tiyang mayu anauri / boten wonten kelamun dika karsa.
18.
Kidul ngriku wonten mesa / ananging mahesa mati / saweg wingi gene pejah / ajaler ageng nglangkungi / sungune anenggih / dhateng ngara-ara ngriku / kang ngriki katingalan / panembahan amurugi / estu leres yen wonten mahesa pejah.
19.
Dupi caket panembahan / ing prenahira niki / agungun sajroning driya / eman temen kebo iki / dene gedhe nglangkungi / sungunya branggah abagus / mendah lamun urip / gedhene ta angungkuli / kopet-kopet kupingira buntut dawa.
20.
Dyang pipriksa panembahan / kalayan dipuncepengi / angungun sajroning driya / eman temen kebo iki / gedhene angluwihi / sarta bapang sungunipun / bok bisa urip mana / emen temen lamun mati / panembahan nanuwun dhateng Hyang Suksma.
21.
Asalat kalih rekangat / sekathahe den tutupi / anenggih babahan sanga / sumepa kadya ngemasi / ngeningaken tingalneki / kang sinedya ciptanipun / tan liyan maring Hyang / kang sipat rahman puniki / kang ngratoni kauripan sadaya.
22.
Inggih Allahutangala / ingkang damel bumi langit / ingkang nora jaman makam / kang sipat langgeng tan gingsir / saking panuwun dasih / mugi tinurutan ingsun / inggih panuwun hamba / kalis kang sampu kalis / kang supados sageta gesang aweta.
23.
Tan wonten alaranira / wus katrima genya muji / riseksana panembahan / mahesa dipuncepengi / singate kanan kering / cinablek ambal ping telu / lah mara atangia / lembon temen gonmu guling / nulya kaget mahesa nglabet buntutnya.
24.
Keplek-keplek kupingira / buntutira jenthat-jenthit / mripatipun byar-byaran / andhangak sarwi anglirik / panembahan muwusi / lah mara ngdeg sireku / mahesa pancen gelak / jenggereng sarwi atangi / nulya ngadeg sampun gesang kadya lama.
25.
Tiyang mayu pitu ika / sami kaget aningali / wong ika dene kuwasa / kebo mati bis urip / payo padha marani / anjaluk ngapura iku / mau sun sentak-sentak / tiyang pitu mudhun sami / amurugi dhateng ngarsa panembahan.
26.
Tiyang pitu aturira / galap gangsul kula Kiyai / kawula nuwun ngapura / anembah angasih-asih / kawula boten uning / dhateng ing sampeyan wau / panembahan ngandika / ora dadi apa iki / wus jamake wong wadon ana nasibnya.

Pupuh XIII
Megatruh

1.
Yata wau penembahan nulya kondur / mahesanipun angiring / tiyang pitu atut pungkur / nyegati kanan kering / lampahira alon-alon.
2.
Tan winarna prapteng dhusun saking wau / kapinujon wonten (kila?) / panembahan dhawuhipun / mahesa kinen ngedusi / tiyang pitu guyang kosok.
3.
Sampun bersih tiyang pitu guyang wau / panembahan amriksani / ing granane singatipun / dene dhaplang angluwihi / kaya amedeni uwong.
4.
Sesek lawang yen mungguh lawang aciyut / sadhap sisih tur lincip / yen den angon bocah iku / amesthi padha awedi / yen isih sungu mangkono.
5.
Panembahan reseksana singatipun / cinepeng ing kanan kering / anulya wau thinuthuk / dhateng icik sekar mulih / singat lajeng amangisor.
6.
Dyan mahesa lajeng singatnya adhungkul / anuju dhateng ing siti / malah yen anedha rumput / lamun boten dhateng rawi / datan saget lamun nyenggot.
7.
Cangkemipun boten saget nyenggut rumput / margi singat nujah bumi / mahesa wus karan dhungkul / ireng mulus wernaneki / putihe gulu tan katon.
8.
Panembahan pangandika arum / dhateng tiyang pitu nenggih / eis padha sireku / asanget panrima mami / gonmu padha ngatur mring ngong.
9.
Pan wis tutug kali tengah iya ingsun / wong pitu ngater mring mami / wis padha baliya iku / besuk bae tilik mami / iya marang enggon ingong.
10.
Tiyang pitu nembah sareng pamitipun / sedaya pan samya mulih / panembahan lajeng kondur / mahesa dhungkul ing wingking / sampun rawuh wismeng Landhoh.
11.
Garwanira kapang-kapang apan methuk / sami bingah ing tyasneki / dene angsal kebo dhungkul / agengnya pan anglangkungi / dyan mahesa dhungkul manggon.
12.
Enjangipun nenggih wau kebo dhungkul / arsa binekta ing sabin / badhe kadamel maluku / mahesa dhungkul tan apti / gobag-gobig irunge empros.
13.
Klirak-klirik mecicil ing mripatipun (pajer ?) sanga durung tangi / sabet praya abdi wau / asanget genira ajrih / manawi gunung gedhang yektos.
14.
Selamine mahesa dhungkul puniku / boten purun karya sabin / yen enjang kesah puniku / dhateng sabin rawi iki / yen mantuk wayah bar surup.
15.
Yen terkadhang dugi rawi nedha wau / kantos dugi Sukowati / tigang wulan boten mantuk / ing sagurug-purugneki / sapurun enggone manggon.
16.
Wau dhungkul yen wonten tandur sinenggut / sabine medal nglangkungi / yen siyang gupakanipun / sawetannya Landhoh singgih / labetipun kongsi balong.
17.
Mergenipun mahesa dhungkul winuwus / yen nedha dhateng ing rawi / dados kali nami Bandhung / yen mantuk saking ing rawi / singate katutan kangkong.
18.
Yeng amanggon dhateng asem ngandhap wau / dadya asem dhampit / punika cancanganipun / yen kesah ucul pribadi / nora ngangge dipunangon.
19.
Enengena gantya ingkang winuwus / Sultan Agung ing Mentawis / adhawuh mring gandhekipun / lah gandhek sira sun tuding / sun utus marang ing Landhoh.
20.
Kebo lanang sepasang ya karo iku / aturna mring kang mas puniki / supaya ginawe iku / garap sabin Guber iki / sira matura mangkono.
21.
Gandhek munjuk sandika gusti sang prabu / wus anembah lengser ngarsi / gandhek budhal pantes lantun / tan kocap aneng ing margi / sampun prapta dhusun Landhoh.
22.
Gandhek matur dhateng panembahan wau / kawula ingutus gusti / dhateng kangjeng Sultan Agung / mahesa kalih puniki / kang satunggal nami Totor.
23.
Mangsatunggal malih wau naminipun / katur ing sampeyan ngriki / panembahan wuwusipun / iya gandhek wus sun tanpi / abanget panuwuningngong.

Pupuh XIV
Asmaradana

1.
Gandhek sampun den paringi / panekulan sampun nedha / bakda nedha pamit mulih / wus rinilan panembahan / tan kocap aneng ing marga / sampun prapta ing Metarum / munjuk ngarsa sri narendra.
2.
Wus katur ing solahneki / mahesa sampun katampa / ing raka dalem sang rajeng / kangjeng sultan dhawuhira / wis gandhek amuliha / gandhek nembah lengser mundur / parapteng dhateng wismanira.
3.
Mahesa saking Mentawis / inggih ingkang damel sawah / Totor klayan ing kalihe / pun dhungkul saben dinanya / alam pra priyangga / terkadhang yen mantuk surup / enjange lajeng akesah.
4.
Kang sabin klangkung wedaling / galenge tanemi kacang / yen angundhuh ing kacange / katuraken ing Mantaram / tuwin kintun kang putra / dhateng Cerbon putranipun / Ketib Trangkil kang dinuta.
5.
Sakedhap pan sampun prapti ? Ketib Trangkil ing lampahnya / dumugi dhateng Cerbone / kacang sampun tinampan / Rahaden Mukmin ika / Ketib Trangkil pamit mantuk / sampun prapta Landhoh ika.
6.
Wenanen den ayu singgih garwanira panembahan / umatur dhateng rakane / kawula matur sampeyan / amung putra paduka / Rahaden Mukmin punika / bok inggih tinimbalan.
7.
Kula emong tiyang kalih / dhateng ing ngriki kewala / sampun mantuk ing Cerbone / kawula tan gadhah putra / kenging katingalan / sinten kang darbeni wau / barang sumakawis ika.
8.
Panembahan ananuruti enjange lajeng utusan / abdi Praya Tib Trangkil / wus prapta aneng ing ngarsa / panembahan angandika / Tib Trangkil sira sun utus / iya karo abdi Praya.
9.
Marang Cerbon sira iki / amboyongi putraningwang / si kulup gawaa mrene / Tib Trangkil matur anembah / lan sabat abdi Praya / sampun lengser aneng ngayun / amintar lajeng lumampah.
10.
abdi Praya lan Ketib Trangkil / lampahira gegancangan / tan kocap aneng margine / sakedhap sampun prapta / dhumateng Cerbon nagara / anulya wau umatur / ngarsanireng jeng sultan.
11.
Manembah ing ngarsaneki / Tib Trangkil alon aturnya / dhuh Gusti kula dinuteng / dhumateng putra paduka / ing Landhoh panembahan / inggih kinen nuwun iku / dhateng putra wayah tuwan.
12.
Raden Ayu Retna Jinoli / garwa kang saking Metaram / apan sanget panuwune / ping kalih badhe wuninga / dherek ngemong kewala / pan boten (adner besumu ?) / sami ugi garwa ing Tuban.
13.
Dipunemong garwa kalih Mataram kelayan Tuban / wira-wiri ing akire / lamun kangen kangjeng sultan / kawula kang ngaterena / kalih abdi Praya wau / punika atur kawula.
14.
Jeng sultan ngandika aris Tib / Trangkil sakarepira / aku mung dungakake / kang wayah tinimbalannya / wus cundhuk aneng ngarsa / Mukmin melua sireku / Tib Trangkil lan abdi Praya.
15.
Sira iku den timbali / myang ramamu panembahan / budhal ing dina kiye / sawab becik dunyanira / dina temu nem belas / santosa wateke kulup / rahayu ana ing marga.
16.
Kang wayah anulya pamit / sinebul bunbunanira / tinimbul ing sejatine / inggih sampun kantos sasih / tapak tilas gurenda / Tib Trangkil anembah matur / lengser saking ngarsa sultan.
17.
Raden Mukmin lan Tib Trangkil / abidhal lajeng lumanpah / embanira ngetutake / sekawan ing kathahira / pan datan kenging pisah / duk alit sanget wongipun / ingga yuswa walung warsa.
18.
Emban sekawan pawestri / sarupane pan binekta / Raden Mukmin titihane / kuda jragem wulunira / larabipun sangkelat / telisire sutra biru / respati lampahnya kuda.
19.
Kangjeng sultan ambektani / mantri sekawan punika / ngaturaken ing wayahe / tiyang kuwu kalih dasa / wonten ingkang bekta tumbak / tameng lawan pedhang sunduk / gumruduk ing lampahira.
20.
Kang den iring taksih alit / nembe yuswa walung warsa / katingal amung cahyane / amindhanya sasongka / abagus lurus utama / kathah samar kang andulu / ing marga dadya tingalan.
21.
Datan kawarna ing margi / Raden Mukmin sampun prapta / dhateng Landhoh ing desane / kang rama sampun miyarsa / sadhatenge kang putra / sawek dugi saler dhusun / kang ibu aken methuka.

Pupuh XV
Kinanthi

1.
Raden Mukmin sampun medhun / Tib Trangkil kang mondhong nenggih / pan saking inggil turangga / ibu kalih malajengi / cinandhak ing astanira / kinanthi ing kering.
2.
Raden Mukmin nulya agung / dhatengi ingkang rama nenggih / ibu kalih ingujungan / anulya atata linggih / mantri kang ngiring sakawan / kuda sampun den othaki.
3.
Panembahan ngandika wus / anenggih dahteng kang siwi / kulup sira apa krasan / aja mulih ta sireki / sire bacute wal / karsane ibumu iki.
4.
Kang putra alon umatur / sumangga sakarsaneki / lamun embena kangena / kawula ingkang nuweni / tan dangu dhaharan medal / rerampatan warni-warni.
5.
Wus sru ta sedayanipun / mantri kelawan kang ngiring / sarta ing sakancanira / sampun pinaringan bukti / sampun bakda gening dhahar / linoroten rencangneki.
6.
Warnanen ing dalunipun / Raden Mukmin yen aguling / tunggil lawan ibunira / den keloni ibu kalih / saben dalu tan pisah / ibu kalih langkung asih.
7.
Kadi yoganya satuhu / putri Mataram lan Tubin / dhasar datan mutra samya / Raden Mukmin kang den ambil / kinarya ing pangauban / supados darbeya siwi.
8.
Anulya ingkang winuwus / mantri Cerbon wau nenggih / sekawan ing kathahira / ingkang ngiring Raden Mukmin / dene lereh wus sawulan / pamit mantuk lan marengi.
9.
Warnanen ing enjangipun / mantri Cerbon nuwun pamit / dhumateng ing panembahan / wus lengser saking ing arsi / panembahan kintun kacang / dhateng Sultan Cerbon nenggih.
10.
Gangsal rembat kathahipun / wus kabekta sikepneki / anulya samya budhalan / tan kocap aneng ing margi / wus prapta Cerbon nagara / mantri munjuk aneng ngarsi.
11.
Mantri sakawan umatur / tinutur sapolah neki / jeng sultan sampun atampa / sakehe ature mantri / dadya sultan lon ngandika / wus mantri sira amulih.
12.
Sedaya pan sampun mantuk / alengser saking ing ngarsi / aneng marga sowang-sowang / wus prapta ing wisma mami / nengena ingkang kocapa / panembahan kang winarni.
13.
Sampun yasa masjid wau / pan namung kangjeng satunggil / kinarya masjid punika / sarta lumbung kang satunggil / pucuke kajeng winarna / kadamel lesung wus dadi.
14.
Lumbung wau naminipun / lengkara sinaren idi / lesungipun nami banyak / warnanen wayah enjing / garwanira panembahan / saking Gebonganom singgih.
15.
Ambabar wawratipun / miyos jalu langkung pekik / panembahan angandika / padha kulup ana iki / mila kulup naminira / panembahan kang dhawuhi.
16.
Dyan ganti kang winuwus / anenggih Rahaden Mukmin / putranipun ingkang tuwa / pan yuswa limalas warsi / panggalihnya panembahan / apan karsanipun supit.

Pupuh XVI
Dhandhanggula

1.
Yata wau panembahan anenggih / pun rahaden si Mukmin punika / pan sampun sinupitake / dhikir Nabi sadalu / raringgitan ingkang sahari / bakdanya sinupitan / antawis nem taun / Rahaden Mukmin punika / imah-imah pan angsal Cerbon nagari / pikantuk sanaking sanak.
2.
Datan kocap pirengganing panggih / dyan kang garwa pan sampun binekta / dhateng ing Landhoh desane / Rahaden Mukmin winuwus / ingkang rama dadya paring nami / Raden Tirtakusuma / inggih sampun kabul / Pangeran Tirtakusuma / sampun atut genira palakrami / tan wonten sulayeng karsa.
3.
Datan winarna ing nguni / panembahan pan tungkula denira / pan nenggih saben warsane / mangsa rendheng macul / sabin Guder punika nenggih / kathahnya nem bahu ika / ingkang kangge garap wau / mahesa totor kalihnya / mung punika ingkang damel garap sabin / saking sultan ing Mataram.
4.
Sampun tanem kados adat lami / inggih ugi amragat mahesa / kadamel ingon tiyange / tiyang kang samya dhaut / abanjur rinempahi sabin / sampun adat ing kuna / sabin guder wau / yen tanem Guder kemplang / yen atanem nora nganggo den ingoni / panen suda long-longnya.
5.
Duk semana galeng Guderneki / katanemi anenggih kacang / lanjaran rangkep tiga pananeme / anenggih lanjaranipun / kajeng talok patuwin deling / geng-geng lamun sanawang / saking liya dhusun / kadya ngadegaken rames rumbat / memper baris wernanen pangeran singgih / nagari pasiraman.
6.
Lamun Landhoh pacak baris iki / pan katingal anenggih kang Kudus ika / pan katingal jejer-jejer / kalayan malihipun / panembahan yasa manjat nora permisi / ika jeng pangeran / Kudus / nulya utusan / animbali dhateng panembahan singgih / tan kocap aneng marga.
7.
Gandhek kalih sampun matur aris / inggih dhateng ngarsa panembahan / kula ingutus wiyose / dhateng pangeran Kudus / yen sampeyan dipuntimbali / sareng salampah kula / panembahan muwus / gih gandhek kula atanya / wonten napa kula ngangge den timbali / pangeran pasiraman.
8.
Gandhek matur kula mireng warti / yen sampeyan amacak baris / pan katingal saking Kudus waos ngadeg / supenuh dhawuhipun / pangeran nenggih / sareng kula prapta / tan wonten puniku / puniku kang katingalan / saking Kudus kados tiyang macak baris / panembahan ngandika.
9.
Knaca gandhek inggih bokmanawi / kula nandur ing kacang punika / anggeng-geng pan lanjarane / katingal saking Kudus / kados tiyang amacak baris / gandhek bok dipriksaa / neng sabin puniku / sarta ngundhuh kacangira / gandhek kalih anulya lumampah gupuh / prapta sabin kacangya.
10.
Gandhek kalih eram ningali / samya ngundhuh woh kacang punika / satunggal wit amendhet / satunggil kacangipun / kembali radi pupa pranteni / pikantuk kalih kendhang / gandhek kalih wau / prapta ngarsa panembahan / sami matur kasinggihan gih puniki / sayektos lanjaran kacang.
11.
Panembahan kairit lampahnya iki / dhateng Kudus pan sarwi bekta sakabat / Ketib Trangkil wau namane / anenggih kalihipun / sakarana ingkang tut wingking / tan kocap aneng marga / sampun prapta ing Kudus / pangeran nuju pinarak / panembahan ingacaran sampun linggih / saha atur pranata.
12.
Dipunadhep pra santana neng ngarsi / saha mantri sapunggawanira / supenuh jejel ngarsane / pangeran ngandikarum / jebeng Landhoh kula timbali / kula sampun wuninga / kala wingenipun / macak baris katingalan / saking ngriki waos geng-geng anglangkungi / napa nedya angraman.
13.
Panembahan nulya matur aris / inggih kula tan nedya punapa / eca-eca atetanem / yen mangsa rendheng macul / wedalipun kang kula bukti / amalanjaran kacang / menawi puniku kados waos katingalan / saking ngriki pangeran pamriksaneki / kula datan rumangsa.
14.
Jeng pangeran wuwus saha manis / jebeng Landhoh inggih jeng ngandika / punapa inggih sababe / ayasa masjit iku / jengandika datan permisi / napa tan mireng warta / pasisir sedarum / kang nyepeng adil kula / inggih kula jengandika agegampil / datan lapur manira.
15.
Jengandika kula ukum pati / sabab sira atingkah belasar / tinggal udanegarane / panembahan umatur / pan sumangga ingukum / panembahan sinuguhan / jenang blowok sapengaron kathahneki / kinen wau nedhaa.
16.
Sanes jenang sajatine gamping / panembahan lajeng aparentah / Tib Trangkil nyandhak gupuh / jenang blowok sigra binukti / pangaron dinilatan saking gurehipun / priyayi ingkang tumingal / samya ngungun dhateng sabat Ketib Trangkil / kirang panedhahanira.
17.
Datan dangu wonten rawuh nenggih / panembahan ing Kadilangu ika / putra jeng sultan kalane / rawuh aneng Kudus / jeng pangeran Kudus tumuli /anembah ngaras pada / kedhatengan guru / anulya sami pinarak / panembahan Kadilangu ngandikaris / jebeng Kudus ta sira.
18.
Arep apa kersanira iki / Pangran Kudus alon aturira / jebeng Landhoh ing wiyose / badhe kawula ukum / ukum pati sabab asisip / piyambak nglenggana / tan suminggah ngayun/ lepate sampun kadhadha / damel masjid pan datan permisi / punika sababira.
19.
Panembahan angandika aris / ja mangkono kersa pekenira / ora sapira salahe / kang sarta maning puniku / jebeng Landhoh kapernahi / Sultan Agung Mentaram / Landhoh pernah sepuh / yen ing buri krungu / sultan nora wurung bakal / ambadakalani / sira kang ingsun emban.
20.
Ing becike uga olah wekes / baturira jebeng Landhoh ika / iya salah sawijine / nulya pangeran Kudus / ngatag dhatengi Ki Landhoh nenggih / inggih kenging wakila / Ki Landhoh sabdanya rum / pan wakilipun punika / Ketib Trangkil kinejepan sampun uning / umareg ing sultannya.
21.
Panembahan sigra ngatag nuli / Ketib Trangkil cumaos ing ngarsa / apasrah pati uripe / gya linekasan sampun / tukang tuwek sampun ngawiti / kang erah nyamburat / gandanira arum / nanging taksih erah abang / panembahan ing Landhoh wuwusnya aris / jamak putih rahira.
22.
Datan dangu rah pethak kang mijil / gandanira amrik angambar / sedya eram tingale / wonten rarasan gumun / iku sabat ran Ketib Trangkil / bisa mati sampurna / sampurnane kewuh / pakewuhe dhateng paran / uwis awas marang panggonaning ati / patitising ulihira.
23.
Sampun pejah Ketib Trangkil puniki / layonira inggih gilang-gilang / panembahan lon wuwuse / Ketib Trangkil sireku / kebat sira mulih dhingin / den cuthik ing ecisira / Tib Trangkil sumeprung / layone datan katingal / sampun musna dhawah Pasuruan nenggih / ler kilen Landhoh ika.
24.
Aran kubur makam dawa semangkin gih / punika gancange carita / Tib Trangkil iku kubure / sedaya kang andulu / sami eram dhateng Tib Trangkil / inggih dados penginan / musna layonipun / erahipun saget pethak / sarta ngambar arum wangi amrik wangi / tandha minggah suwarga.
25.
Inggih sampun bibaran mulih / Pangeran Kudus malebeng pura / panembahan ngandikane / kundur ing Kadilangu / panembahan amersapa / besuk bae iya anak putu mami / aja ana babesanan.
26.
Karo turun Kudus dina buri / luhung ngalap ja kongsi dialap / puniku wau purwane / kantos punika wektu / lamun nrajang pesthi bilahi / tan wonten kuwarasan / kang nrajang waler iku / nemahi salah satunggal / yen terkadhang kalih pisan angemasi / iku duk purwanira.
27.
Milanipun kang sami miyarsi / sanak-sanak ingkang amirengna / punika ing sedalane / dipun sami mituhu / mituhoni wawaler dhimin / aja ana sembrana / tan wande tinemu / aluhung den singkirana / ing wewalar amesthi manggih basuki / selamet selaminira.

Pupuh XVII
G a m b u h

1.
Nengena ingkang winuwus / amangsuli carita rumuhun / nalikane panembahan duk rumiyin / dereng lelana anglangut / taksih ing Miyana katon.
2.
Sampun gadhahi putra satunggil / amiyos jaler abagus / ngestanira Rahaden Momok.
3.
Raden Momok inggih sampun / imah-imah tiyang saking dhusun / Pakeringan panggih nak sanak pribadi / garwane kabekta sampun / dhateng Miyana kang enggon.
4.
Raden Momok winuwus / tinimbalan dhateng ramanipun / panembahan utusan nimbali siwi / Raden Momok sampun tumut / garwanya dherek binoyong.
5.
Raden Momok praptanipun / nenggih dhateng dhusun Landhoh kidul / ingkang rama inggih sampun angiringi / griya kalih bagus-bagus / Raden Momok sampun enggon.
6.
Raden Momok puniku / namaning garwa sing andhusun / lajeng nami panenggak peparabneki / Tirtakusuma puniku / inggih ibu putr Cerbon.
7.
Putri saka Mentarum / Raden Ayu Retnajinoliningrum / apan nenggih datan darbeni sasiwi / pinathi tan gadhah turun / sampun takdire Hyang Manon.
8.
Garwa saking Tuban wau / nami Raden Ayu Pandhan Arum / sami ugi inggih datan darbe siwi / sampun takdire Hyang Agung / garwa Tuban lan Mentaos.
9.
Garwa ing Palembang wau / putranipun estri langkung ayu / nanging boten kabekta ing Landhoh singgih / panembahan yen kangen sunu / tinjo mring Plembang mawon.
10.
Putranya wuragilipun / ingkang nama nenggih Raden Kulup / ibu saking Gebanganom ing Semawis / sampun imah-imah wau / garwanipun ayu anom.
11.
Cinekak cariyosipun / panembahan inggih sampun sepuh / sampun kraos badhe wapat roh lan jisim / sampun pinaringan tuduh / yen badhe kondur amanggon.
12.
Warnanen satunggal wektu / panembahan pinarak ing bangsal / putra tiga ngadhep aneng ing ngarsi / garwanipun Raden Ayu / Renajinoli tan adoh.
13.
Raden Ayu Pandhan Arum / inggih ngadeg aneng aneng wingkingipun / Gebanganom angadeg aneng ing kori / sabet pra samya ing ngayun / sentana pepak dhumaos.
14.
Panembahan alon muwus / sakabehe iya putraningsun / iya lamun besuk sapungkur mami / yen ingsun / uwis asurut aja na tukar werdon.
15.
Karo dulur ingkang rukun / poma-poma aja na tukar padu / lan maninge iya desa Landhoh iki / bakal ingsun dum per telu / kakangmu iya si Momok.
16.
Iya saksanduman iku / kang saduman Tirta Kusumeku / kang saduman iya Kulup kang nampani / Raden Momok alon matur / asanget panuwuningngong.
17.
Rama kawula tan ayun / boten remen kula printah dhusun / tampekaken gih adhiku kalih / Raden Tirta Kusemeku / saha Raden Kulup mawon.
18.
Rama kula namung nuwun / paring idi inggih dhateng ngayun / bang supados kaliyan dunya ing ngriki / ngungkuli sapadha ulun / kang rama ngandika alon.
19.
Sun ingidini sira iku / iya Momok sugiha punjul / angungkuli marang samaning janmi / katekana panuwunmu / langkung bingah Raden Momok.
20.
Panembahan ngandika rum / mring kang putra Tirta Kusumeku / yen mangkono desa Landhoh ingsun palih / sira ingkang wetan iku / adhimu si Kulup kulon.
21.
Desa kang selawe iku / kang telulas sira kang gadhuh / ingkang rolas adhimu Kulup kang darbeni / amung kacek siji dhusun / sebab kula pring kang anom.
22.
Lan malihe wekasingsun / kelangenaningsun kebo dhungkul / jeng gonmu ngurmati ya ingkang / yen ingsun apa wis surut / gawenen sidhekahe wong.
23.
Yen ingsun / uwis asurut sira kubur kidu; / masjid ingsun singget gedhong gonmu gawe ingkang becik / kabeh ing wasiyatingsun / kumpulna sajrone gedhong.
24.
Kiyai Penamar ngedhug / Kyai Panji iya kudhi sangu / sekar mulihe wis bathokku ra isin / dhesthar wulung payung agung / simpenen sajrone gedhong.
25.
aja na wani sireku / anyimpeni utawa ing anggadhuh / nora nana manira sira idini/ yen ana gawe kang perlu / kena kasilih dianggo.
26.
Poma-poma wekasingsun / aja na kang wani mrajang iku / lamun wania apes ing dina buri / abot sangane tinemu / mung iku pitutur ingong.
27.
Kang putra tiga umatur / gih sandika rama dhawuhipun / sekathahing jeng rama dhawuhneki / kawula inggih mituhu / enget-enget jroning batos.
28.
Anulya bibaran sampun / panembahan lumebet ing dalemipun / ingkang putra bubaran pra sami amulih / wus prapta ing dalemipun / garwa methuk ayu anom.

Pupuh XVIII
S i n o m

1.
Panembahan enjangira pamit dhateng garweneki / tindak dhateng ing Mentaram / sabat kalih atut wingking / tan kocap aneng margi / sakedhap Mentaram rawuh / Sultan Agung pinarak / panembahan cundhuk ngarsi / nulya lenggah ajajar lawan jeng sultan.
2.
Sultan Agung angandika / kiraka wonten punapi / dene teka siyang-siyang / punapa wonten kang ati / inggih anyalawadi / panembahan alon matur / milanya kula sowan / pinanggih sultan mariki / caos atur kawula nedya pamitan.
3.
Ing tembe mangsa panggihnya / temtu sapisan puniki / kula nuwun idi sultan / mantuk ing rahmatolahi / jeng sultan slameta ugi / kula manggiha rahayu / ing ngalam kalanggengan / ingkang boten owah gingsir / mung punika jeng sultan atur kawula.
4.
Saha kaping kalihira / kawula inggih atitip / amung raka jeng paduka / den ayu Retnajinoli / yen kirang tedhaneki / Sultan Agung ingkang kintun / kalih anak kawula / Tirta Kusuma kang nami / mangsaborong jeng sultan sakarsanira.
5.
Sultan Agung angandika / Ingsak Allah robil ngalamin / anulya dhaharan medal / lampat tan awarni-warni / sinuba-suba ngenting / sultan dhateng rakanipun / bakdanipun dhaharan / kang raka nulya kinanthi / dipunajak malebeng ing dalem pura.
6.
Saratri sami raosan / gunem raos ngelmi gaib / warnanen ing enjangira / panembahan sampun pamit / jeng sultan angamini / panembahan tingal sampun / terus dhateng Palembang / panggih putranipun estri / tan antara lami sakedhap prapta Plembang.
7.
Wus panggih sultan Palembang / jeng sultan nuju siniwi / ingacaran sampun lenggah / jeng sultan arum ngandikaris / wonten punapa adhi / napa wonten karyanipun / panembahan aturira / mila kula sowan ngriki / badhe pamit mantuk dhateng Rahmatullah.
8.
Jeng sultan lon muwusira / kula inggih angamini / panembahan aturira / kawula amung atitip / putra sampeyan estri / wayah sampeyan puniku / yen kirang tedhanira / mangsaboronga sang aji / mung punika prelunya gen kula sowan.
9.
Sultan Palembang ngandika / adhi sampun walangarih / putrane estri punika / sampun kula kramakak / pikantuk samya ngriki / apanggih sanak sadulur / putra ing kepatihan / panembahan matur aris / sekalangkung kabeh panuwun kawula.
10.
Panembahan apamitan / pinanggih lan garwaneki / kelayan panggih kang putra / pan sampun pinarak kalih / kang putra angunjungi / kang rama nyebul kang embun / pan sarwi angandika / lah nini sapungkur mami / ingkang atut genira apalakrama.
11.
Paitane wong akrama / amung eling iku nini / idhep mantep marang priya / bekti setiti ing laki / gemi angati-ati / iku nini wekasingsun / tegese eling ika / ja belasar tingkah juti / ingkang eling yen sira winengku priya.
12.
Tegese idhep ta nyawa / idhep yen darbe laki / nyaosi sakarsanira / nadyan kakung remen mring / lakinira sira saosing / nini ngupaya wanudya ayu / saos derapon bingah / kang ati / iya iku gonira loba mring priya.
13.
yen akeh rarobanira / menthi sira den asihi / sira kang kinarya garwa / tinuwa wawrat ing galih / galih trisnaning laki / kadya sinungging ing embun / asih welas marang sira / sabab sira anglegani / sakabehe wong wadon belasar tindak.
14.
Batosa mring lakinira / boten suka kesah tebih / sandhang pangan sampun kirang / besele dipuntuwuki / iku lega tyasneki / abingah mesem gumuyu / iku wadon keparat / pan dudu trahing wong becik / saben dina lakine tan kenging lunga.
15.
Iku sira aja nelat / wong wadon kang kaya iki / nora wurung nemu sasar / yen sira besuk ngemasi / pan ora den aku yekti / marang umat Kangjeng Rasul / umate Dewi Patimah / dinokok neraka benjing / kalajengking kelabang ngantup sedaya.
16.
Yen wadon madhep mring priya / madhep temen maring laki / tan meper karsaning priya / sembarang printahing laki / siyang dalu tan gingsir / anurut printahing kakung / nora suwaleng teng karsa / bingah terus lair batin / yen wong lanang den anggep pangeranira.
17.
Bekti iku tegesira / awedi marang ing laki / yen den kengken lakinira / ingkang bingar ulatneki / kang kebat semu ririh / aja tumindak sugrusu / ana gawe sapira / yen den panggil ingkang laki / nuli enggal tinilar maju ing priya.
18.
Setiti ing tegesira / sebarang darbekting laki / ingon-ingon myang pekakas / saben dina angaweruhi / pitik iwen lawan peksi / kebo jaran bebek wedhus / sapi utawa banyak / aja kurang gone bukti / saben dina gonira atiti priksa.
19.
Tegese gemi punika / gemeni kayaning laki / tegese setiti ika / niteni dhaharing laki / apa sakarsaneki / mubarang klangenanipun / sambele trasi abang / lombok trutul jangan menir / ebi urang petis gerih lalap kacang.
20.
Lan maninge wekas manira / aja clula-clulu nini / celathu marang lakinira / aja grunek jroning ati / aja ngaban-abani / ing sakdhuwur tenggak iku / pan gedhe durakanira / sasat mungsuh mring Hyang Widi / lamun mati besuke ora nemu imam.
21.
Yen nini angesthokena / goningsun mulang puniki / aslamet donya ngakerat / samangsa benjang ngemasi / ngungkuli widadari / pun bapa wani ananggung / mesthi cinadhang-cadhang / marang Hyang Maha Suci / sinung cahya angungkuli widadari.
22.
Agedhe ganjaranira / ana maning iku nini / wong wadon wayuh maring priya / nora esuk nora serik / arukun becik kapti / saben dina runtung-runtung / kang tuwa wruh tuwanya / kang nom weruh nomneki / wus pinasthi cinadhang mungguh suwarga.
23.
Panembahan gening mulang / dhateng putranipun estri / wus telas pamulangira / kang putra matur ngabekti / jeng rama kula amundhi / gih dhawuh sampeyan kaembun / inggih rama idinya / kula pundi rama inggih / kacancang apucuking kawula.
24.
Mugi saget nglampahana / kados dhawuh rama nenggih / kang rama alon ngandika / iya nini sun ideni / muga pinaringa eling / jinurunga sakarepmu / kang putra matur manembah / asanget pamundhi mami / panembahan karsa sare lan kang garwa.
25.
Enjangira panembahan / pamit garwa lan kang siwi / kundur sampun abidhalan / sakedhap netra wus prapti / dhateng Cerbon nagari / sowan dhateng para sepuh / sultan Cerbon pinarak / panembahan prapta ngarsi / sultan Cerbon alon denira ngandika.
26.
Napa sami kaslametan anak / lami boten ngriki / si thole Tirta Kusuma / punapa sami basuki / mila kula sowan ing ngarsa sampeyan.
27.
Kawula badhe pamitan / mangsa panggih-panggih malih / kula nuwun badhe wapat / mantuk ing Rohmatullahi / sultan alon nauri / inggih sakethi jumurung / angamini manira / selametan ing alam gaib / sampun samar kang sinedya ciptanira.
28.
Panembahan apamitan / abudhal lampah lestari / lajeng terus dhateng Mekah / pinanggih Imam Sapingi / Kanapi lan Kambali / Maliki sekawanipun / nulya sami sasalaman / panembahan matur aris / mila kula sowan ing ngarsa sampeyan.
29.
Mangsa saget apanggiha / sowan mriki malih / kantun sapisan punika / kula badhe nuwun pamit / mantuk ajal ngibandi / Imam Sapingi amuwus / Insak Allahutangala / manira inggih ngamini / inggih suka ring Rpbilngalamin.
30.
Anenggih nulya salaman / panembahan sampun pamit / budhal lampahe wus prapta / Miyana dhukuhe lami / Nyai Banjur winarni / kang rayi sigra rinangkul / sarwi alon atanya / neng ngarep adhiku iki / siyang-siyang apa ana karyanira.
31.
Panembahan wuwuse / bok ayu kula apamit / mantuk dhateng ing kamuksan / Nyai Banjur alon nauri / iya Alkamdulillahi / ya dhi apura dosamu / pinaringan iman / iya maring Maha Suci / gonmu mulih marang alam kelanggengan.
32.
Anulya sami dhaharan / bakda dhahar goning pamit / sakedhap netra wus prapta / dhateng Landhoh kidul nenggih / kang garwa methuk sami / aneng pelataranipun / panembahan pinarak / kang putra tiga wus prapti / sami seba dhateng ngarsane kang rama.
33.
Sakabat sekawan ing ngarsa / Kertasana kang satunggil / abdi Praya kalihira / Wonarinda tiganeki / sekawan Praya abdi / sentana aglar supenuh / panembahan ngandika / priyayi printah sujanma dadi / dhuwur ngnukuli sapadha-padha.
34.
Gawa makna loro ika / kang siji makna nagari / lorone ing tegesira / sabara alaku tani / macul sira temeni / aja maro tingalipun / wareg sandhang lan pangan / wong tani iku bekti / amratani iya marang sama-sama.
35.
Nanging yen tani ta sira / aja sira cukeng bengis / jakat pitrah aja ora / yen sira arep becik / kisase jakat iki / samet sade papan iku / aja ta nggango eman kalonge wau kang pari ing / tegese wong eman nora kaduman.
36.
Ginarap apan tan berkat / pari beras nuli enting / mega nora gelem jakat / isih reget durung bersih / dadi akeh kang wani / seluman padha angerbut / tikuse melu mangsa / bubuk bang melu tut wuri / ander munoh melu mangan parenira.
37.
Yen sira nyambut karya / pan namung tigang prakawis / iku sira adhepna / maca macul lawan ngaji / netepi salah siji / nora kurang panganipun / tegese wong amaca / kuwi ta sira temeni / bokmenawa dadi ta sira.
38.
Senadyan nora dadiya / asal ugi wus nglakoni / dadiya carek desa / bisa alus pundhakneki / macul sira temeni / sawah akang amba iku / ta iku ratuning dunya / yen akeh ulihe pari / amalira saben dina aja pegat.
39.
Ngaji sira temenana / supaya dadiya santri / menawa ginanjar bekja / yen mangerti dadi naib / sukur bisa adadi / guru santri wisma dhusun / yen wisma aneng desa / bisa dunga dadi modin / pundhak alus anampani jakat pitrah.
40.
Dadi olih pangasihan / kinarya nikahing rabi / esuk-esuk pinaringan / kaundang tangga kendhuri / ana kang bacut tahlil / oleh berkat lawan bandhul / wong siji patang uwang / tansah sira angingoni / dhateng rabi tuwin anak rayatira.
41.
Lan malih wekas manira / padha gagulanga benjing / pra tingkahe wong agesang / padha alurua ngelmi / ngelmi rasa sejati / wekasan ing pati iku / perlune wong agesang / weruha enggone pati / basa pati petitising pernahira.
42.
Yen ora weruh asira / temah sasar / temah dasar gonmu pati / mulih nora weruh wiswa / dadi semut werjit cacing / sira kang ngati-ati / wong urip iku aperlu / aja angeman dunya / dunya nora karo mati / amung ngelmu rasa kang kena ginawa.
43.
Olih wanudya sapira / yen ora weruh ing elmi / sarta nora gawe amal / iku tambah ngrubedi / tan durung bingena / amurungake ing laku / dunya ginawe amal / dadi sarate wong urip / uripira murakabi sama-sama.
44.
Lanang wadon iya padha / sira ing luru ngelmi / sira salat lakonana / sembahyang wedi Hyang Widi / iku lakune ngelmi / aja tinggal salat iku / salat kajate badan / lamun nora den jakati / isih reget durung suci yen lestri.
45.
Upamane yen wus tuwa / remanipun werni kalih / nganggoa ambeg utama / barang polah kudu becik / beciking sesame / narima ing batinipun / sabar tawekal sira / aja ecak aja serik / abisaa selamet dunya ngakerat.
46.
Angaku turun manira / panembahan sira iki / nora mengerti ing sastra / Jawa Arab nora sami / ora gaguru ngelmi / tandha dudu turuningsun / yen tandha turuningwang / mesthi gegulang ngelmi / nora arsa gagulang tindak maksiyat.
47.
Kang putra tiga (argunya?) / asanget panuwun mami / dhawuhipun kangjeng rama / sayekti kawula pundhi / kacancang rema mami / kangjeng rama dhawuhipun / jeng rama idenana / supados saget nglampahi / ing dhawuh jeng rama sadaya.
48.
Kang rama alon ngandika / dawanira idini / panembahan gerahira / gangsal dinten lamineki / sarwi mulang kang siwi / wus telas pamulangingsun / garwa laman kaputra / siyang dalu datan tebih / anjagani kang rama genira gerah.
49.
Pituwin para sentana / pepakan sami ngadhepi / tan purun sami mantuka / nenggih wau jaler estri / sadaya angladeni / panembahan gerahipun / sampun dhateng takdirnya / dinten Ahad age ugi / sasi Rajab tanggalipun gangsal welas.
50.
Taune Alip nika / sengkalane ingkang warsi / tri rasa angina narendra / panembahan sedaneki / kang garwa sami nangis / putra tiga ting sarenggruk / layon sampun ingangkat / siniraman sampun suci / sinatatan binekta aneng kuburan.
51.
Sakidul (gancit?) pernahnya / panembahan sampun meling / dhateng ingkang putra tiga / gedhonge sampun adadi / ngajeng pinasang nuli / wasiyatnya sampun kumpul / kasimpen gedhong ika / bakdanya bibaran mulih / dalunipun angaji sami tahlilan.
52.
Dugi kawan dasa dina / saben dalu sami tahlil / telas mahesa sedasa / mahesa dhungkul ngesahi / sentana amadosi / mrika-mriki tan pinanggih / lami-lami semana / sewu dina dhungkul prapti / nedha ruwat wus parak genira kajat.

Pupuh XIX
Maskumambang

1.
Sewu dina den Ayu Retno Jinoli / gerah lajeng seda / pinetak aneng Jawi / boten tunggil ingkang raka.
2.
Kenging ukum margi boten darbe siwi / garwa saking Tuban / gerah lajeng angemasi / anenggih lajeng pinetak.
3.
Garwa saking Gebanganom anututi / gerah lajeng seda / garwa tiga wus angemasi / pinetak jawi sedaya.
4.
Putranipun panembahan ingkang kalih / wus nama Pangeran / Raden Tirta Kusumeki / anama Pangeran Tengah.
5.
Raden Kulup Pangeran Dagan kang nami / Raden Momok ika / ingkang sepuh datan apti / jumeneng nama pangeran.
6.
Raden Momok amung dunya den senengi / langkung sugihira / kang wau anuwun idi / dhateng rama panembahan.
7.
Raden Momok pinanggih tan darbe siwi / tanpa turun ika / pan wus karsaning Hyang Widi / datan anggadhahi putra.
8.
Gifh Pangeran Tirta Kusuma winarni / sampun darbe putra / jaler warnanya apekik / Raden Amir namanira.
9.
Raden Amir sampun supit nulya krami / pikantuk Madura / buyut sultan Madureki / den ajeng Ayat namanya.
10.
Raden Amir sampun pinaringan nami / dhateng ingkang rama / Raden Tirta Menggaleki / garwanya angetutena.
11.
Dhateng Landhoh atut gening palakrami / dyan Pangeran Dagan / sampun anggadhahi siwi / jaler warnane apeleg.
12.
Ingkang rama inggih sampun paring nami / Raden Iskak ika / sampun supit nulya krami / pikantuk Semarang.
13.
Anak dulur pernah kapenakaneki / kalyan ibunira / nanging sugih anglangkungi / sudagar ageng Semarang.
14.
Raden Iskak garwanya naminireki / mas ajeng Sulbiyah / nalikanya den boyongi / kathah gening bekta dunya.
15.
Sinjang keling arta perak miwah jeni / sedasa gotongan / sekalajeng asugih / nenggih pangeran punika.
16.
Putra jaler jaler tinumbas dhateng pawestri / lajeng damel bandha / Raden Iskak ngalih nami / Pangeran Natakusuma.
17.
Nengena nenggih wau kang winarni / agenti kocapa / wonten tiyang dagang sapi / kang wisma nagari Wangga.
18.
Lereh Landhoh lereh dhusun Landhoh nenggih / wonten ara-ara / tiyang Wangga Sokawati / ing ngriku lerehanira.
19.
Saking kidul bekta bawang nila werni / winade Juwana / mantukipun bekta trasi / winade dhateng Mataram.
20.
Tiyang Wangga sampun mantuk ping gawani / lembu tigang dasa / lereh ngaran ara-ara nguni / sareng dalu tan wuninga.
21.
Amben cucal cinolong ginigit anjing / enjang arsa bidhal den padosi tan kepanggih / gandhek lereh datan bidhal.
22.
Kepalanya ingkang minangka nglurahi / nami Santawignya / malebet ing Landhoh neggih / asowan Pangeran Tengah.
23.
Sampun prapta aneng ngarsa atur bekti / matur melas arsa / manawi inggih marengi / anenggih karsa sampeyan.
24.
Kula nuwun cucal mahesa sakedhik / satebah kewala / panjangipun kawan kaki / kinarya amben kewala.
25.
Wau dalu emban kula ginigit anjing / milane kawula / nuwun cucal yen marengi / asanget panuwun kula.
26.
Pangeran Tengah pangandika manis / pundi wisma / ing dhusun apa negari / Santiwignya pernata.
27.
Gih pangeran griya kula ing nagari / nagari ing Wangga / hamba dagang brambang gusti / kula wade ing Juwana.
28.
Mantuk kula inggih bekta gereh trasi / yen nyipeng kawula / salere dhusun puniki / ana arane kang wiyar.
29.
Caket balong ngembekaken lembu gusti / pituwin angguyang / mila hamba kelangeni / pangeran alon ngandika.
30.
Dahateng sabat Praya abdi aneng ngarsi / nuju cucalira / mahesa dhungkul den iris / pan lajeng den paringen.
31.
Abdi Praya amintar sarwi angiris / nuju cucalira / mehesa dhungkul den iris / pan lajeng den paringena.
32.
Dhateng tiyang Wangga sampun den tampani / anulya pamitannya / Pangeran sampun ngilalni / wus mundur saking ing ngarsa.
33.
Santiwignya sampun panggih rencangneki / dhateng ngara-ara / lembu lajeng den momoti / cucal dhungkul ambenira.
34.
Bidhal momot sadaya lembu ing ngarsi / lembu tigang dasa / sadaya dipungenthani / arame suwaranira.
35.
Pating kaleneng gentha wonten ageng alit / selur lampahira / lare angon aningali / arantab samarga-marga.
36.
Datan kocap lampahira aneng margi / sampun prapta wisma / dhateng ing Wangga nagari / kocapa lembu satunggal.
37.
Lajeng ngamuk momotane kocar-kacir / kantun cekathakan / taksih kanthil aneng geger / lembu kadya katempelan.
38.
Mangilen ngaler ngidul ngetan nenggih / binendrong wong kathah / wonten ingkang nyejatani / datan busik wulunira.
39.
Angamuke lembu saya anemeni / nunjang sarta nyundhang / akathah tiyang kang kanin / lembu mlajeng mlebet wana.
40.
tinututan sadaya datan nguntapi / serap wayahira / tiyang sami wangsul mulih / tan kawarna dalunira.
41.
Sareng enjang Santiwignya matur aris / ing bendaranira / Pangeran Wangga winarni / wus prapta aneng ing ngarsa.
42.
Wus umatur awit purwanireng nguni / dumugi wekasan / Santiwignya aturneki / pangeran alon ngandika.
43.
Dhateng demang rangga bekel lan ngabehi / kinen ngupayaa / lembu kang mlebeng wanadri / kang tampi dhawuh dyan mintar.
44.
Samya bekta sanjata pedhang lan keris / kadya nglurug perang / wan dipunkepung nuli / tiyang kathah samya culat.
45.
Lembu kagyat janggirat kirig-kirig / macicile netranya / lajeng nempuh amburoni / binendrong waos sanjata.

Pupuh XX
D u r m a

1.
Pengamuke lembu sangsaya agalak / kathah kang samya ngisis / tan purun nyaketa / ajrih yen dipungondhang / anenggih yen kadi mantri / kang kanin punika / singa pejah ugi.
2.
Wayah asar lembu pan sampun asayah / kengingnya dipunjaring / kabekta mantuk enggal / katur dhateng pangeran / cekathaken taksih kanthil / pangeran dawuhnya / pan kinen bukak aglis.
3.
Gya binukak cekathakanira ika / pangeran dhawuh nuli / dhateng Santiwignya / eh mara sanjataa / Santiwignya nyandhak aglis / senjatanira / lembu kenging ngemasi.
4.
Pangeran Wangga alon denira ngandika / Santiwignya sireki / apa purwanira / pasah sira sanjata / mau binendrong bedhil / nota tumama / kongsi ngabina mimis.
5.
Santiwignya wau alon aturira / kawila kinten gusti / cucal ambenira / kados saget digdaya / gen kula nuwun rumiyin / dhateng Pangeran Tengah / ing Landhoh dalemneki.
6.
Jeng pangeran kinen mendhet kuda / lajeng dipunkalungi / cucul amben punika / lajeng dipun sanjata / kaping gangsal boten busik / kinen anumbak / inggih boten ngemasi.
7.
Dipunpindhah kinalungaken mahesa / binendrong dipunbedhili / pan inggih tan pasah / pangeran dhawuh sigra / cucul lajeng dipunbagi / samerang-merang / anenggih agengneki.
8.
Sampun radin binagi tiyang sawangga / kinarya jimat nenggih / kabuntel ing sinjang / kangge susupe sedaya / wonten kang kinarya sabuk kaulesi / pethak anenggih pundhi-pundhi.
9.
Antarane wonten satengah wulan / katur jeng sultan Mentawis / pirengnya jeng sultan / saking aturira / bala pangeran Wangga tur uning / mring Kanjeng Sultan / Agung inggih Mentawis.
10.
Purwanipun miwiti tekeng wekasan / Sultan Agung nimbali / klayan pamejangan / sekawan kathahira / ingutus mring Landhoh singgih / amundhi nawala / inggih saking sri bupati.
11.
Sultan Agung alon denira ngandika / mantri sira sun tuding / marang Landhoh ika / Pangeran Tirta Kusuma / paringena surat mami / jabaning layang / tutur anak mami.
12.
Lulangira kebo dhungkul lan sungunya / sun pundhut ing Mentawis / sira gawa pisan / sarta kirim manira / ganjaran rong pangadeg iki / pangagemingwang / panringena putra mami.
13.
Wis bidhal saiki becik kinarya / nulya lengser sing ngarsi / sarta mundhi serat / mantri sekawan gya budhal / rewang dharat kalih (dadasi?) / mantri sekawan / pra samya nitih wajik.
14.
Gegancangan lampahira aneng marga / kawan dinten wus prapti / inggih Landhoh desa / Pangeran Tirta Kusuma / semu kaget ingkang galih / wonten caraka / saking Mentaram nagri.
15.
Sami lenggah mantri sakawan punika / Pangeran Tengah aglis / tedhaken ing lenggah / nyakiti gandhek duta / Pangeran Tengah nampeni / kang nawala / enggal pan bika aglis.

Pupuh XXI
S i n o m

1.
Iki pangeran layangewang / teka ramamu Sang aji / Sultan Agung kang kuwasa / Ngabdulrahman Yasayidin / Panata Agama ugi / ingkang ngedhatyan Mentarum / kang mengku Tanah Jawa / kalakengkat ing sabumi / pan telatah pasisir urutira.
2.
Iya puji donganingwang / tumekaa ingkang siwi / Rahaden Tirta Kusuma / satriya anom apekik / ingkang seneng amukim / omah desa Landhoh iki / sawiji tur sembada / tetani panggawe suci / sucinira anyrambahi sakulawarga.
3.
Sawuse puji pandonga / iya ora pa maning / nalika tanggal lima las / lan jrone Sawal kang sasi / sira katekan iki / wong ing Wangga dagang lembu / kang aran Santiwignya / jaluk lulang sira wehi / mung satebah kawan kaki panjangira.
4.
Menawa lega tyasira / lulang sarta sungu ngubiki / ingsun pundhut mring Mantaram / gwakna utusan mami / aja kaliru kaki / kang sun pundhut tulang dhungkul / sarta sangune pisan / poma-poma putra mami / saisihe lulang dhungkul gawakena.
5.
Kajabane iki iya / sira thole sun kirimi / sapangadhege busana / keris sapendhoke iki / dhestar lan kelambi / sangu gedhog sutra alus / kampuh lan jarit amba / epek renda lawan berji / iya iku lorotan agemanira.
6.
Wus titi ponang nawala / tinulis ing Rebo Legi / pan wolu likur tanggalnya / anenggih Sawal kang sasi / apinuju ingkang arsi / anenggih Dal taunipun / sengkalannya kang warsa / kirim blanja ingkang rayi / limang atus pitung dasa pitu ika.
7.
Pangeran Tirta Kusuma / sareng maca ingkang tulis / (sunuk?) neng jroning wardaya / wus kadhadha semuneki / marwata sultan Banten mring / kang rama Sultan Agung / dene paring busana / rong pengadeg agemneki / mila gandhek utusan sinuba-suba.
8.
Pangeran Tirta Kusuma / pra sentana den timbali / tuwin wau ingkang raka / Raden Momok den aturi / Pangeran Tirta kusumeki / sedaya wus prapta ngayun / manggihi mantri duta / ingkang saking ing Mentawis / saben dalu genipun sami jagongan.
9.
Serat saking Mentaram / inggih sampun den wangsuli / ingkang nyerat putranira / Raden Amir sampun wasis / kang rama paring lit / kabeh purwaning kang tembung / memanising bebasan / ngasoraken jiwa ragi / aja kaduk ngegungaken sarira.
10.
Sultan Agung ingkang kwasa / pernah sepuh dhasar sekti / dadi ratu Tanah Jawa / sinembah para bupati / pira-pira wak mami den sruwe marang sang prabu / mulane putraningwang / gonmu nulis ingkang becik / aja kongsi aksara pegat kalimah.
11.
Destun temen yen wong desa / kurang tata kurang titi / nora mangerti sujana / ja kongsi ngisabi-sabi / yen den guyu wong nagari / tandha tedhak saking dhusun / kang putra aturira / kados boten nguciwani / boten benten nalar ngriki lan Mentaram.
12.
Temtu wonten kacekira / ing dhusun klayan nagari / dipunulig saben dina / atanyah tembungireki / bok inggih tiyang nagari / kinen gantheng amalaku / mangsa silih nyandhaka / kalayan tiyang ing desi / nadyan dhusun boten sembarang dhusunnya.
13.
Kang rama alon ngandika / iya bener sira iki / serat sampun tinulisan / sampun dadya gening nulis / katur kang rama aglis / winaca sinukmeng tembung / sadaya tandukira / rakiting aksara titi / sampun leres aksara arayak-rayak.
14.
Dupi enjang seratira / tinampekaken tumuli / dhateng gandhek ing Mentaram / gandhek sampun anampeni / sarta umatur aris / pangeran kawula nuwun / mumpung enjang abidhal / tigang dinten dhateng ngriki / sekalangkung ingajeng rama jeng sultan.
15.
Pangeran Tirta Kusama / pangandikanira aris / inggih sumangga kewala / gandhek lengser sakingarsi / wus bidhal lampahneki / tan kocap aneng marga gung / wus prapta ing Mentarum / Sultan Agung duk siniwi / gandhek cundhuk tumamengarsa narendra.
16.
Sarta wau mundhi serat / ingaturaken sang aji / sang nata sampun atampa / pinejet bunuka aglis / tata titining tulis / menggah ing manising tembung / kangjeng sultan grahita / pan mesem sajroning galih / dene bisa udanagara utama.
17.
Punika serat kawula / mugi konjuk jeng ramaji / Sultan Agung kang kuwasa / Ngabdulrahman ya Sayidin / Panatagama ugi / kang sudibya wibawa gung / kang dalem kitha Mataram / kang mengkoni Tanah Jawi / pra Bupati pasisir takluk sadaya.
18.
Pan mansur ing tanah sabrang / para raja siyam nagri / dene ambek rat Jawi / setya legawa ing tyasneki / digdaya dhasar sekti / kasubing rat Jawi punjul / ber pradhah lila ing dunya / bojakramaning sesami / pra bupati wedi asih suyut samya.
19.
Sampun ing kadya punika / awiyos boten punapi / kawula sampun amundhi / inggih paparing tulis / saking kangjeng rama aji / panjenengan dalem wau / amundhut cucal lan singat / cucalipun dhungkul nguni / klangenaning kala swargi kangjeng rama.
20.
Jeng Sultan sampun aduka / singatipun dhungkul gusti / inggih sampun telas sadaya / tan kantenan kang bektani / wonten ingkang taksih kidhik / damel badhe jungkat wau / slepen pituwin belabah / jujulipun kantun kidhik / gih punika kang sareng serat punika.
21.
Mugi konjuk kangjeng rama / wiyaripun kalih kaki / panjangnya namung sekawan / sumangga jeng rama aji / kejawinipun malih / kangjeng rama sultan kintun / lorotining busana / asanget pamundhi mami / kang supadhos anyrambahi kulawarga.
22.
Supados anurunana / anak putu buyut mami / dhuwung paringing jeng sultan / kalokengrat ing sabumi / amung punika gusti / unjuk kawula sang prabu / kapundhi ing mastaka / kacancang ing remamami / dunya kerat kawula datan suminggah.
23.
Pan namung bekti kawula / kaunjuk dhateng sang aji / serat saking ingkang putra / Tirta Kusuma kang nami / Landhoh wismanya desi / adipati papa wilangun / narima titah ing Sukma / mugi Hyang Widi ngasihi / embun-embunan printahireng suksmanasa.
24.
Nalinira sinerat / nuju dinten Senen Legi / tanggalnya kaping sakawan / Dulkangidah ingkang sasi / tau dal kang winarni / sengkalanya warsanipun / kali sabrang angin kisma / sampun tamat tembung titi / ingkang sampun kasebut nawala patrah.
25.
Sultan Agung mesem ing tyas / garjiteng jroning galih / nora mambu weton desa / pasanging aksara kita / tembunge memes manis / mendah aneng praja agung / ngungkuli wong Mentaram / nora uman ing pengerti / nadya desa tlitine wong bek sujana.
26.
Sultan Agung angandika / marang mantri catur nenggih / eh mantri sira muliha / mantri sekawan tur bekti / pan lengser sing ngarsi / mantri sekawan wus mantuk / jeng sultan angedhatyan / ingiring parekan selir / ingkang garwa amethukaken den asru.

Pupuh XXII
Kinanthi

1.
Nengena jeng Sultan Agung / agantar ingkang winarni / Santiwignya tiyang Wangga / awangsul mring Landhoh nenggih / anuwun cucal mahesa / panunggilira rumiyin.
2.
Amatur sayektosipun / cucal damel amben sapi / dugi Wangga lajeng meta / binendrong tumbak lan bedhil / lembunipun datan pasah / margi cucal saking ngriki.
3.
Santiwignya matur galur / purwaning kawiting nguni / cucal sampun damel jimat / tiyang sa Wangga gawe radin / walulang kaduman samerang / kadamel jimat pribadi.
4.
Menggah wau hikmahipun / kawula sampun ngayoni / den waos tiyang sedasa / boten busik awak mami / nanging supe panganggenya / sampun nangge sombong iki.
5.
Kang dulu eram sedarum / ature Santiwignya Ki / Pangeran Tirta Kusuma / pangandikanira aris / inggih paman Santiwignya / cucal dhungkul sampun abis.
6.
Kapundhut Jeng Sultan Agung / sapungkure paman nguni / Santiwignya aturira / bok menawi taksih kidhik / balung pituwin teracak / untunya manawi taksih.
7.
Yen taksih cucale dhungkul / wontena sailir alit / kawula ngaturi arta gangsal atus arta ringgit / punika pangeran Wangga / bektani arta mring mami.
8.
Pangeran Tengah gumuyu / daya-daya lamun taksih / kula niki basakena / kados (lengak?) ri busik / boten wuninga ing warta / sampun andika mariki.
9.
Lah inggih dika umatur / mring Surya Kusuma adhi / pangeran ingkang mardika / dalem Wangga ing nagari / yen cucal dhungkul wus telas / Santiwignya angabektani.
10.
Pan inggih kawula nuwun / pamit mantuk mumpung enjing / Pangeran Tengah ngandika / lah paman kula lilani / Santiwignya sampun balik / tan kocap aneng ing margi.
11.
anenggih sapungkuripun / Pangeran Tengah winari / Raden Momok Ketip ngandika / Pangeran Dagan kang rayi / tuwin kang para santana / pangulu ketib myang modin.
12.
Sami papagan sedarum / cucal dhungkul kantuneki / binagi para sentana / balungnya kang den pendhemi / kinen wau andhudhuka / sedaya wetah atasih .
13.
Binage sadherekipun / damel jimat den ulesi / tatiron tiyang ing Wangga / ingkang akathah pribadi / pangeran Tirta Kusuma / sinate datan binagi.
14.
Singat cucal balung untu / damel jimat den blingkahi / boten benten dijayanya / boten pasah tumbak keris / sarta nebihaken godha / gendruwo kebokemali.
15.
Milanya mahesa dhungkul / singat cucal balungneki / akenging damel jimatan / sabab mahesa wus mati / nging nugah ing penembahan / saget gesang kadi nguni.
16.
Pan kadi klangenanipun / panembahan kang suwargi / sedaya pratikelira / dhungkul sampun kadi janmi / kacek boten saget ngucal / pinasthi karsa Hyang Widi.
17.
Akathah lamun cinatur / gancange caritaneki / Raden Momok sampun seda / pinetak sakilen masjid / boten tunggilan kang rama / sampun karsane pribadi.
18.
Warnanen ingkang winuwus / Raden Tirta menggaleki / kalih wau putranira / sami jalu pekik-pekik / ingkang bajeng Raden Rahmat / ingkang raya Raden Sahid.
19.
Kinasiyan kalihipun / dhateng eyang pangeran nenggih / siyang ratri datan pegat / sapurugnya den tut wingking / kang putra dinama-dama / wolung warsi yusawaneki.
20.
Pangeran Dagan winuwus / putranya ingkang winarni / Rahaden Ayu Kusuma / Ki Ageng Banyol wismeki / inggih sampun darbe putra / pepitu kathahnya siwi.
21.
Ingkang bajeng jaler wau / raden Sadat ingkang nami / kang nenem samya wanudya / tan kocaping namineki / salebet seratnya ilang / mila tan kacriteng nami.
22.
Pangeran Tengah cinatur / gerahira sampun lami / kalih dinten sakitira / anulya wau ngemasi / Pangeran Dagan winarna / anuweni raksa singgih.
23.
Gening seda lingsir dalu / dintenipun Kemis Paing / nuju tanggal gangsal welas / wulane Jumadilakir / Jimakir sengkala warsa / watu nendra bale bumi.
24.
Garwa putra nangis sedarum / tuwin wayah sami nangis / pituwin para sentana / sabab ingkang sami asih / pan wus lumampah tiyang palasatra / prayogine den tangisi.
25.
Teka kurang sedhepipun / yen garwa putra ngemasi / lamun nora tinangisan / rinasan liyaning janmi / wong tuwa dulur palasatra / sami bingah temen iki.
26.
Tur mundhak metengi kubur / yen wong mati den tangisi / malah padha sukeng tyasnya / duk kalane bayi lahir / wong tuwa dulur abungah / kaurmatanireng entig.
27.
Yaiku umpamenipun / wong mati iku maulih / marang ngalam aor owah / sabab apa den tangisi / marang wismanya pribadya / abakal munggah suwargi.
28.
Mulane wajib maguru / weruh sangkan paran pati / kang patitis ulihira / aja kasasar ing margi / ja kena godha rencana / iku bakal bilaeni.
29.
Pira lawase wong dunung / ora wurung bakal mulih / jaler estri padha-padha / nama Cina Landa Bugis / ora wurung yen palasatra / wajib padha istiyar.
30.
Weruha panggenanipun / kang bakal sira parani / apa baya wernanira / apa ireng ijo putih / apa wungu kuning abang / apa rungkat padhang bersih.
31.
iku uga luwih perlu / aja tungkul dunya iki / aja mati sasar/ mulih nora weruh mergi / dadi kinjeng tanpa soca / mungguh dadi cacing iki.
32.
Yen dadi cacing bengkanglung / dimangsa iwen lan pitik / mulane wong urip padha / elinga penggawe becik / weruha ingkang sinedya / sedya weruh gone pati.
33.
Akathah lamun winuwus / sareng waktu wayah enjing / Pangeran Tirta Kusuma / layone dipunsirami / sampun wau sinalatan / lajeng modin ketip santri.
34.
Amragat mahesanipun kalih totor gih serakit / nalika taksih agesang / sampun dhawuh putraneki / mila totor lawan kala / sampun pasrah ngesthi pati.
35.
Layone binekta sampun / aneng pesareyanneki / sinare wetan kang rama / angangge / gedhong pribadi / ing awit iku kalihnya / ingkang putra anengahi.
36.
Anulya bibaran sampun / kaji santri ingkang ngiring / sami den adhep sadaya / boten pareng lamun mulih / pitung dinten kajatira / tahlil kawan daranira.
37.
Kang putra pangeran wau / Raden Tirtamenggaleki / anggentosi ingkang rama / Pangeran Wetan kang nami / asuyut para sentana / paprintahan kados lami.
38.
Wus telas ing kajatipun / Pangeran Dagan kang rayi / agerah pan lajeng seda / sami ugi kurmat neki / sabab putrane akaya / Ki Ageng Bogol winarni.
39.
Sinare sakidulipun / aneng pager banon Jawi / margi dhawuhe keng rama / nalika taksih suwargi / gening ngubur Jawi bata / cinataken rameki.
40.
Tan kocap ing kajatipun / agenti ingkang winarni / Pangeran Wetan winarna / kang putra jaler kakalih / Raden Rahmat ingkang utawa / Raden Sahid ingkang rayi.
41.
Raden Rahmat pamit wau / dhateng ingkang rama nenggih / kesah ngaji dhateng Dengmak / kang rama wus anglilani / enjangipun bidhalira / bekta punakawan kalih.
42.
Anjujug griya pangulu / anenggih Demak nagari / Raden Rahmat sampun lama / gening ngaji sampun bangkit / winulang pangulu Demak / yen mangsa pasa winarni.
43.
Dipunkarsakaken darus / aneng daleming bupati / santri tan pareng mantuka / santri pinaringan bukti / asaur nalika pajar / datan pegat saben ratri.
44.
Anulya satunggal wektu / rahaden ayu bupati / kaleres malem Jumuwah / amaos aneng ing Jawi / lumampah dugi pandhapa / wonten murup kang kaeksi.
45.
Den ayu kaget anjumbul / den awasaken tumuli / santri tilem inggalarah / ingkang murub den perpeki / anenggih santri satunggal / sinuwek bebetnya mijil.

Pupuh XXIII
M i j i l

1.
Raden Ayu malebeng jro puri / umatur raka lon / ingkang raka dipun wungokake / adipati sigra wungu aglis / kang garwa pinanggih / metek sukunipun.
2.
Adipati angandika aris / saparan rinengong / ingkang garwa alon ing ature / inggih kula umatur sayekti / kula saking awi / gerah badan ulun.
3.
Wonten murub mencorong kaeksi / ulubipun ijo / kulo ijen pan dugi cakete / santri kathah kang samya guling / inggih mung satunggil / kang kadulu murub.
4.
Kula sawek sinjangnya sakedhik / kalih kilan kados / ingkang raka alon ngandikane / mengko esuk sun prisane iki / endi ingkang ciri / siwek bebetipun.
5.
Adipati amiyos ing Jawi / angandika alon / marang ketip pangandikane / sira ketip modin lawan santri / kabeh aja mulih nganti mengko esuk.
6.
Lurah ketip umatur wotsari / sandika kemawon / adipati malebeng daleme / nulya dhawuh teng kokineki / santri kinen maringi / bukti sami atur.
7.
Kathahipun kalih welas santri / modin pitu kang wong / ketip kalih satunggal lurahe / bakda sahur ketip amrintahi / salabehe santri aja mulih iku.
8.
Padha bareng mulih mring mami / anganti kang dhawuh / adipati iya timbalane / modin santri sandika turneki / warnanen ing ratri / sareng enjangipun.
9.
Adipati amiyos tinangkil / garwa dherek miyos / apan sarwa kekanten astane / ketib modin pan samya ngabekti / alenggah pendhapi / angantos kang dhawuh.
10.
Adipati angandika aris / dhumateng ketip anom eh ta ketip santri pira kehe / ingkang tilem aneng ing pendhapi / iya mau bengi / ketip anom matur.
11.
Santri amung kalih welas gusti / ageng alit anom / modine nem tiga ing ketibe / kapetengen magersari / hamba datan uning / kathah kedhikipun.
12.
Raden ayu angandika aris / iya ketip anom / santri rolas iya kiraba kabeh / sarta mudin kiraba sami / krana mau bengi / akelangan ingsun.
13.
Yasupe ingsun tibeng pendhapi / bokmanawa weruh / ana ingkang jupuk ngumpetake / ketip anom sigra ngadeg aglis / modin lawan santri / akirab sedarum.
14.
Kinen ucul sabuk sedayaneki / kantun bebet mawon / Raden Rahamat ucul sabuke / mingkas-mingkus genira nguculi / batos semu isin / suwek bebetipun.
15.
Tan uninga suweke ing wengi / osikira batos / dipunkinten dipunsuwek rencange / santri kathah manawa ana kang jahil / apanas kang ati / sebab kasihing pangulu.
16.
Raden ayu anjawil dipati / sarwi bisik alon / gih punika kang suwek sinjange / boten samar wau dalu niki / pan kula suluhi / cocog wernanipun.
17.
Dyan dipati angandika aris / iya becik anom / santri siji kuwi gawa mrene / ketip anom sigra nyandhak astanereki / dyan Rahmat kinanthi / umarek ing ngayun.
18.
Angandika den ayu dipati / eh santri sun takon / iya sira ing endi wismane / lawan sapa jenengireki / sapa darbe siwi / ngendi asalipun.
19.
Raden Rahmat umatur ngabekti / kula umatur yektos / nami kula Rahmat wiyose / dhusun Landhoh wisma kula gusti / Tirta Manggaleki / bapak namanipun.
20.
Dyang dipati angandika aris / apa printah uwong / bapakmu apa mlaku gawe / Raden rahmat matur ngabekti / inggih prentah desi / demang Landhoh dhusun.
21.
Den dipati angandika malih / aja lunga adoh / sira ingsun andheng aneng kene / ingsun pundhut anak sireki / yen esuk sira ngaji / omahe pengulu.
22.
Raden Rahmat manembah tur bekti / sumangga kemawon / mung paduka wontena kersane / utusan dhateng Landhoh gusti / aparing udani / inggih bapak ulun.
23.
Angandika rahaden dipati / liya dina ingong / ya utusan ing Landhoh bakale / wus bibaran malebeng jro puri / Raden rahmat nunggil / putra sentana sampun.
24.
Saben dina golong-golong ngaji / ing masjid pangulon / bakda ngaji amantuk kadipaten / putra santana asih / Raden Rahmat nenggih / andhap asor wau.
25.
Datan winursita nguni / wus cariyos / dyan dipati utusan mantrine / dhateng Landhoh sarwi bekta tulis / tan kocaping margi / prapta Landhoh sampun.
26.
Pangeran Wetan Tirta Menggaleki / dyan kaget Wiranom / aningali kuda kathah dipunkinten / utusan Mentawis / nulya den panggihi / mantri Demak cundhuk.
27.
Kang nawala sampun den tampani / mring Raden Wirabom / gya pinijet binula elake / tembungipun arum manis / dasar kadhuk manis / barang solahipun.

Pupuh XXIV
G a m b u h

1.
Assalamungalaekum / warahmatullah wabar katuhu / salam kula katura dhateng adhi / Raden Tirta Menggaleku / Pangeran Wetan ing Landhoh.
2.
Serat saking rakanipun / adipati Demak prajanipun / ajejuluk Patmanagara dipati / anenggih ing wiyosipun / yen pareng eklas ing batos.
3.
Yen seneng kaliyanipun / putranira anenggih puniku Raden Rahmat ingkang taksih ngaji / dhateng griya pangulu / ing Demak kauman enggon.
4.
Badhe kula pendhet mantu / apinantu anak kula wau / bajeng kula Raden Ajeng Rara Kuning / yen tinakdir Hyang Agung / dinadosaken ing jodho.
5.
Nenggih Raden Rahmat putranipun / nenggih sampun tigang taun kula / ajar dhateng kadipaten nulis Jawi / Arap sampun putus / tan wonten ingkang winaos.
6.
Atelas titining tembung / serat ingkang kasebat punika / mugi adhi serimbit samya anggalih / kula nuwun angsul / serat esaning ing batos.
7.
Raden Tirta Menggaleku / sampun tamating pemaosanipun / mlebeng dalem sarwi bangking serat neki / pirembag lan garwanipun / bubukaning cinariyos.
8.
Keng rayi bingah kelangkung / ingkang putra badhe kapendhet mantu / kangjeng Demak inggih dipati / pikantuk semboyanipun / estri wenanireng tanggon.
9.
Karya serat angsul-angsul / sampun dadya pinaringaken wau / dhateng mantri ing Demak sampun tinampi / pun mantri apamit mundur / rinilan budhalnya alon.
10.
Tan kocaping marga agung / sampun prapta ing Demak prajagung / dyan dipati pinuju sawek siniwi / mantri duta sampun cundhuk / mundhi serat wus cumaos.
11.
Serat ingaturaken sampun / gya pinijet pan binuka sampun / serat angsul anenggih saking kang rayi / Raden Tirta Menggaleku / Pangeran Wetan ing Landhoh.
12.
Urmat ingkang taklimipun / serat katuring panjenenganipun / dhateng kangjeng adipati / Patmanagara kang mengku / dalem kitha Demak kaot.
13.
Sampuning kadya puniku / ingkang wiyosing sekathahipun / apan kula inggih sampun anampeni / ijemaning srat sedarum / kang kasebat jro wiraos.
14.
Prakawis pun Rahmat wau / gih sumangga pan dados keranipun / tan rumaos kawula adarbe siwi / mung paduka ingkang gadhuh / sumangga kersa kemawon.
15.
Dadosa ing jodhonipun / ingkang putra Rara Kuning wau / adhatengaken nini-nini / supados sageta lulut / tan wonten suwaleng batos.
16.
Mung punika atur ulun / ing titining serat winuwus anuju / tanggal ping kalih dasa pinarenging sasi / Mulud taun Je ingkang gumantos.
17.
Raden dipati ngedhatun / wus bibaran punggawa sedarum / den dipati dhawuh dhateng garwaneki / critanya bebukanipun / serat wangsulan ing Landhoh.
18.
Den ayu bingah kelangkung / sampun lami dados karsanipun / kang panggalih den ayu karsa yektosi / nalika dalu amurub / aneng pandhapa mancorong.
19.
Nengena ingkang winuwus / nenggih Raden Tirta Menggaleku / Pangran Wetan utusan mring Demak nagri / ngaturi mahesa selangkung / abumbung ulam ing pawon.
20.
Kinarya sugating tamu / lan pituwin kinarya ulam tayup / kangjeng Demak adhawuh kinen nampani / mahesa inggih sekalangkung / ingkang saking besan Landhoh.
21.
Dyan Dipati adhawuha / animbali dhateng ki pangulu / kang ingutus nimbali pangulu prapti / wus prapta aneng ingayun / dyan dipati ngandika alon.
22.
Sira Nursalim pangulu / nikahena iya putraningsun / Rara Kuning iya karo Raden Rahmat mas kawinnya / Kur’an iki / rolas tail emas keton.
23.
Pangulu alon umatur / gih sandika punapa keng dhawuh / Raden Rahmat nulya dipunjanjeni / cinepeng ing astanipun / sineksenan ketib anom.
24.
Bakda ningkah kajatipun / ambengane wali ngatur ngurus / dyan kinepang ketib modin lawan santri / kaji mantri punggawa gung / pra sentana ingkang saos.
25.
Gumerah suwaranipun / ambegane sami dipun kepang / tyas atunggil bandhul nenggih saringgit / lan saptangan sutra alus / sedaya bingah ing batos.
26.
Anulya bibabaran sampun / Raden Rahmat dherek ki penghulu / dhawuhira anenggih raden dipati / wayah asar pinaesan iku / ngangge cara kaji mawon.
27.
Adat cara Demak iku / nenggih cara kaji wau / cara Arab ingkang dipunirib-irib / amrih nyawabana iku / nyawabi sageta tiron.
28.
Sampun asar wayahipun / Raden rahmat binusanan sampun / dhasar santri binusanan cara kaji / kathah samar samya dulu / dhasar sigit bagus anom.
29.
Yen ta sampun abagus / rare dhusun Landhoh pundhut mantu / pan pinilih dipati Demak nagari / eleta sagara gunung / yen jodho sandhing sumaos.

Tamat
Kang Yasa layang iki : ingsun Seh Jangkung panembahan dalem ing desa Landhoh kabupaten nagara Pathi sarta wus pirembug mupakat lawan penggalih dalem Kangjeng Sultan Agung kuwasa ing Mataram paedahe sapungkuringsun anak putu padha wajib tumindak klakuwan kang becik dadya utamaning badan adunya tumekeng angakerat.
Alang alang kumitir.