Rabu, 23 April 2014

Menjadi Kartini Menjadi Ibu Yang Sejati

Menjadi Kartini Menjadi Ibu Yang Sejati

Nama Kartini dianggap menjadi symbol dan icon perubahan nasib terhadap kedudukan perempuan dihadapan kaum laki-laki. Sekian lama dalam sejarah bangsa-bangsa di dunia perempuan dianggap lebih rendah derajadnya disbanding kaum yang bernama laki-laki. Kita tengok dalam tatanan social masyarakat Jawa zaman dahulu penyebutan kata perempuan adalah wanita atau wadon. Wanita berasal dari gabungan kata (kerata basa) ” wani ditata”, yang berkonotasi bahwa wanita harus tunduk patuh kepada pihak laki-laki. Sedang kata wadon berasal dari bahasa kawi yaitu “wadu”, yang secara harfiah bermakna “kawula”. Hal ini bermakna bahwa wanita atau wadon itu dititahkan menjadi abdi bagi kaum laki-laki. Makna wanita maupun wadon  kedua-duanya mengandung beban ideologis bahwa gender wanita berada dibawah kekuasaan gender laki-laki.

Sepertinya nasib sejarah memang tidak memihak perempuan, hampir diseluruh belahan bumi nasib wanita sama sekali tak mendapatkan berkah sejarah. Masyarakat Cina kuno mempunyai sebuah kaidah “Tidak ada sesuatu yang paling rendah selain wanita” Seperti sedang mengamini nasib malang perempuan di Italia zaman dahulu wanita dianggap seperti pembantu bagi kaum laki-laki, di Mesir wanita dianggap sebagai tanda dari setan, di India masyarakat mempercayai bahwa perempuan merupakan sumber dosa, kerusakan akhlaq, dan pangkal bencana jiwa, mereka tidak punya hak apapun kecuali menumpang pada suaminya. Perempuan ibarat baying-bayang suami, jika suaminya meninggal dunia maka ia harus ikut pati obong bersama jasad sang suami kalau tidak ingin hanya menjadi budak bagi anak-anaknya dan sanak keluarganya. Orang Arab pun tak kalah kejamnya terhadap perempuan. Jika suami dikabari istrinya melahirkan seorang bayi perempuan, sang bayi tinggal memasrahkan hidupnya pada nasib, dibiarkan hidup ataukah akan dikubur hidup-hidup oleh bapaknya sendiri. Betapa malang dan tragisnya nasib perempuan dalam setiap pangkuan sejarah, bahkan seorang Plato pun pernah berujar “Saya bersyukur kepada dewa-dewa karena delapan berkat” dan salah satu berkat yang dimaksud oleh Plato adalah dia dilahirkan bukan sebagai seorang perempuan.

Jauh sebelum Kartini berteriak pada tembok patriarki dan adat lingkungan yang membelenggu, banyak Kartini-kartini dalam sebutan lain yang namanya kurang mendapat berkah dalam  bingkai sejarah. Sebut saja Cut Nyak Dien, Rohana Kudus, Dewi Sartika, dan bahkan ada seorang perempuan yang pernah megendalikan sebuah kesultanan besar Aceh Darussalam Sang Maharani Sultanah Tahul Alam Syafiatuddin Syah, namun saya tak hendak mendebat sejarah. Biarlah nama-nama Kartini dalam sebutan lain itu namanya harum tanpa cela di maqom yang luhur disisi Allah SWT tanpa dibumbui puja-puja dari manusia. Apalah arti sebuah kebesaran nama dibibir-bibir manusia ?, Pahala dan kebesaran namanya toh takkan luntur dihadapan Sang Maha Mengetahui.
Yang paling penting menurut saya adalah meneladani nilai dan semangat para Kartini tersebut dan mengejawentahkan dalam era sekarang. Karena sejarah memang mengajarkan kepada kita untuk bijak dan peristiwa sejarah adalah sebuah momentum untuk kita hadirkan dan kita lahirkan kembali semangat Kartini-kartini masa lalu di zaman sekarang. Ingatlah sejarah itu selalu terulang walau dalam bentuk yang bermacam-macam.

Semangat Kartini untuk keluar dari belenggu adat kadang dipakai oleh sekelompok orang-orang yang kurang bertanggung jawab, yang kemudian diformulasikan menjadi sebuah ajaran yang dikenal dengan gerakan feminisme. Mereka dengan semangat Kartini ingin melampaui batas kepatutan yang telah diajarkan oleh nenek moyang, dengan berani mereka juga berusaha memporak-porandakan aturan-aturan agama khususnya ajaran Islam yang mengatur hubungan antara kaum laki-laki dan perempuan. Para pegiat gender ini menuding bahwa banyak aturan-aturan dalam agama yang mendeskritkan peran dan kebebasan kaum yang dibelanya. Mereka menuntut secara membabi buta kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan (gender equality).

Jika mereka kaum feminis memang ingin mengusung Kartini sebagai icon dan pembenar gerakan mereka, seharusnya mereka perlu merenungi surat yang pernah ditulis oleh Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902. Kartini menulis :
“Kami disini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya : menjadi Ibu pendidik manusia yang pertama-tama”.

Menurut saya para pegiat gender hanya menjadikan semangat Kartini sebagai pembenar terhadap apa yang mereka perjuangkan, segala cara ditempuh termasuk membiaskan makna dari surat-surat Kartini, mengambilnya sepotong-potong memperkosanya dan menafsirkan dengan dalih-dalih mereka sendiri. Ada agenda jahat yang disembunyikan guna merusak jiwa kartini itu sendiri.

Jadi masihkah para feminis tetap bersikukuh bahwa mereka ada dalam rangka meneruskan cita-cita dan perjuangan Kartini ? Padahal Kartini pernah menulis seperti ini :
Kita dapat menjadi manusia sepenuhnya, tanpa berhenti menjadi perempuan sepenuhnya”
 (Surat Kartini untuk Ny. Abendanon 1900).

Ringkasnya untuk menjadi Kartini, untuk meneladani Kartini, dan menghidupkan kembali semangat kartini cukuplah seorang perempuan menjadi Ibu sejati, menjadi ibu bagi anak-anaknya, menjadi ibu bagi peradapannya dan menjadi ibu bagi kepentingan bangsa dan Negara. Laki-laki dan perempuan kedudukannya sama dihadapan Allah SWT, berbagi peran dalam kehidupan adalah menjaga keseimbangan zaman. Ada bumi ada langit, ada atas ada bawah, ada siang ada malam, ada kiri ada kanan, semua bersama-sama berotasi dalam sunnah-NYA. Salam Kartini ! majulah wahai para wanita Indonesia. Salam. JWT

Senin, 21 April 2014

Kartini 2014

21 April
Kartini terlahir
Terbelenggu tembok adat
Yang liat
Warisan leluhur patriarki
Menggendong nasib putri-putri pribumi
Kartini berteriak
Kartini berontak
Ia angkat pena
Ia lemparkan wacana
Gelegar suaranya menggema
Hingga daratan-daratan Eropa
Pada Abendanon ia bercerita
Pada Van kol ia berkhutbah
Pada Estella Zeehandelaar ia berujar
Tentang nasib perempuan
Tentang hak perempuan
.....,..............
Kartini berseru syahdu
"Kita dapat menjadi manusia sepenuhnya, tanpa berhenti menjadi perempuan sepenuhnya".
..............
21 April 2014

Selasa, 15 April 2014

Sunan Geseng di Pakah Tuban

Maqom Sunan Geseng terletak di Desa Gesing Kec. Semanding. Mungkin maqom ini belum terlalu akrab ditelinga masyarakat Tuban. Tidak seperti maqom Sunan Bonang, maqom Sunan Bejagung, maupun maqom Asmaraqandi yang telah menjadi jujugan wisata religi maupun tempat riyadhoh di Kabupaten Tuban. Mungkin letaknya yang relatif masuk ke pedalaman dan tidak berada dijalur utama. sebenarnya letak maqom Sunan Geseng tidak terlalu jauh dari jalan utama Babat-Tuban. Sebenarnya untuk mencapai lokasi juga tidak terlalu sulit. Jika perjalanan kita dari arah Tuban ke Babat, sampai di pertigaan pos Polisi Pakah terus kearah timur sekitar seratus meter belok ke kiri. Sekitar satu kiloan masuk dengan jalan yang sudah beraspal sampailah kita di maqom Ki Cakrajaya alias Sunan Geseng yang konon murid  dari Kanjeng Sunan Kalijaga. Sebelum sampai di maqom ada sebuah sumur yang konon adalah peninggalan dari Sunan Geseng.

Sumur Petilasan Sunan Geseng
Kisah tentang Sunan Geseng tidak hanya berada diwilayah Tuban saja, bahkan maqom beliau juga ada diwilayah Jogjakarta dan Magelang. Namun versi ceritanya relatif sama, Dikisahkan pada suatu siang yang panas Sunan Kalijaga berjalan dibawah rindangnya pohon Siwalan. sayup-sayup beliau mendengar suara orang yang sedang berdendang tembang. "Lilo-lilo...lilo-lilo....lilo....ya tak lilo-lilo" (sabar..sabar..sabar..ya disabar-sabarkan, menyabarkan diri). Tembang itu didendangkan berulang ulang. Sunan Kalijaga mendengarkan tembang yang mengalun dari seorang tua yang sedang berada diatas puncak pohon siwalan sambil menderas bunga siwalan untuk diambil airnya yang menjadi bahan pokok pembuatan gula nira. Selanjutnya sang Sunan pun menyapa si kakek tadi, "Kek tembang apa yang sedang kau dendangkan itu ?" Kakek tua sambil terus melanjutkan pekerjaannya menjawab, " Ah kisanak tiap hari aku bekerja seperti ini, sebagai buruh penderas siwalan, agar beban hidup yang susah ini tidak terlalu susah, maka aku berdendang sambil bekerja "Lilo-lilo...lilo-lilo....lilo....ya tak lilo-lilo"

"Bisakah tembangmu diganti yang lebih baik kek ?, ujar kanjeng Sunan"

"Diganti bagaimana kisanak ?"

"Gantilah dengan kalimat "LAA ILAAHA ILLALLAH" maka tembangmu akan berkah kek"
................................

Cungkup Pasujudan Sunan Geseng
Sejak pertemuan dengan orang asing itu ki Cakrajaya kehidupannya semakin berkah, bahkan dalam sebuah versi diceritakan ketika ia pulang kerumah dan saat proses pembuatan gula, gula yang dicetak tersebut berubah menjadi emas. Selanjutnya ki cakrajaya mencari orang asing yang ditemuinya saat menderas air nira. Entah dimana akhirnya orang yang dicari itu ditemukan, dan ternyata ia adalah seorang waliyullah. Sejak saat itu Cakrajaya menjadi murid Sunan Kalijaga. Ki Cakrajaya mendapat tugas dari gurunya untuk menunggu sebatang tongkat dari bambu hingga gurunya kembali.

Batu Pasujudan
Sunan Kalijaga adalah pendakwah keliling dari satu tempat ke tempat yang lain, hingga beliau pada suatu saat kembali ke Tuban dan menjenguk muridnya yang lama telah ditinggal. Namun ia tak menemukan tempat dimana dulu muridnya ditinggalkan. Karena tempat itu telah dipenuhi ilalang dan barongan bambu. Selanjutnya sang Sunan membakar tempat itu. Dan disebongkah batu beliau mendapati muridnya sedang bersujud dalam kondisi yang gosong. Namun tidak meninggal dunia. Dari peristiwa inilah kemudian ki Cakrajawa mendapatkan julukan Sunan Geseng. JWT

@Kenangan saat menjadi team QC IRC di Tunah Semandning.

Jumat, 11 April 2014

UN LAGI UN LAGI. LAGI-LAGI UN. OPO IKI ?

UN LAGI UN LAGI. LAGI-LAGI UN. OPO IKI ?


Sebentar lagi UN (ujian Nasional) tingkat SMS/MS/SMK akan di laksanakan secara serentak di bumi pertiwi Indonesia. Lalu apa pentingnya UN ? Bagi kita        ( gemblengan Abah ) UN hanya mematikan kreatifitas murid, UN hanya mengejar angka saja dan UN hanya menjauhkan murid dari pendidikan yang seharusnya menjadi problem solving.
Asumsi yang diamini tapi menyesatkan adalah murid yang meraih angka paling tinggi dalam UN adalah murid yang paling pandai. Lebih-lebih jika ditambahi dengan keberhasilan meraih angka paling tinggi mengerjakan UN karena ibadahnya paling rajin. Dari ibadah wajib hingga sunnah. Masya Allah. ( Sungguh ini pendapat yang sesat dan menyesatkan ).
UN seolah menjadi penentu dari keberhasilan suatu lembaga pendidikan, murid, bahkan pemerintah sebagai penyelenggara pendidikan. Kelulusan 100 persen murid dalam UN menjadi tolak ukur kesuksesan pendidikan di daerah. Ironisnya UN kadang menjadi alat kampanye pemerintah berhasil mendidik murid. Inilah pendapat yang tidak sesuai dengan alam fikiran Abah.
Bukan hanya itu, UN ternyata menjadi ajang komersialisasi bagi Pemerintah sendiri dan lembaga-lembaga bimbingan belajar. Lihat saja satu tahun menjelang UN, lembaga bimbingan belajar kebanjiran siswa yang mempersiapkan UN. Ada paket bimbingan UN. Dari paket yang paling hemat hingga yang paling mahal. Nominalnya bukan ratusan ribu tapi jutaan rupiah bagi siswa.
Bagi siswa yang keluarganya dari ekonomi rendah, mengikuti bimbingan belajar menjelang UN adalah mengutip asumsi Srimulat, hil yang mustahil dan hal yang mustahil. Dan sekali lagi,  inilah sebenarnya potret yang paling riil dari diskriminasi pendidikan.
Ironisnya siswa yang meraih nilai tinggi dalam UN, lalu diklaim oleh lembaga bimbingan belajar sebagai siswa binaannya yang sukses. Klaim  lembaga bimbingan belajar ini tentu menyakitkan hati para guru yang bertahun-tahun mendidik siswanya.
Lalu apa pentingnya UN ?. Saya beberapa hari ini sering mendapat undangan baik dari Kemenag up Kasi Mapendanya atau KKM MAN Tuban maupun DIKPORA up KASUB SMA/SMK/MA  yang terkait dangan UN dan saya juga telah mengamati beberapa lembaga pendidikan di Kab. Tuban yang akan menghadapi UN, apalagi menurut POS JUKNIS dari BNSP bahwa paket soal UN adalah 20 paket soal, wah ... wah ... wah. Dan yang lebih mengenaskan lagi Hari-hari ini waktu anak sekolah hanya diisi dengan materi pelajaran UN, UN, UN dan UN saja. Seolah yang lebih penting hanya pelajaran yang di UN kan saja, sehingga mengenyampingkan pelajaran yang lain. Allahu Akabar. ( Ngene kok kon Isa barokah, ketemu pirang perkara ). Mulai pagi hingga sore dan masih di tambah les malam hari dan masih ikut bimbingan belajar ( Bimbel ). Sampai akahirnya si anak jatuh sakit.
Seolah tak ada waktu istirahat bagi anak sekolah. Bahkan untuk membaca buku bacaan saja, dia tak pernah ada waktu sama sekali. UN seolah menjadi medan perang ( Jihad ) yang harus disiapkan dengan mengorbankan segala-galanya. Naudzu billahi mindzalik.
Apakah pendidikan di Indonesia memang dirancang hanya mempersiapkan UN ?. Jadi apa makna pendidikan yang sebenarnya ?. Bukankah seharusnya pendidikan itu tujuannya untuk memanusiakan manusia. Menjadikan manusia yang lebih humanis.
Lebih dapat menghargai diri menjadi manusia seutuhnya. ( Opo neh iki kok terlalu filosofis aku tambah gak faham ).
Pendidikan memang harus kuat pondasi filosofisnya, jangan seperti saat ini, kayaknya sekarang di Indonesia pendidikan hampir tak ada pondasi filosofisnya. Akibatnya sistem pendidikan tak menghargai siswa. Tak menghargai siswa yang butuh pengalaman berharga bagi siswa.
Pendidikan bukan perdagangan. Object pendidikan adalah manusia dan bukan barang, sehingga siswa tak bisa diperlakukan sebagai mesin yang terus ditekan untuk materi pelajaran UN saja.
Akibatnya, siswa dalam gemblengan Abah ternyata tak mampu menjadi Problem solving, siswa terasa jauh berhdapan dengan masalah-masalah sesungguhnya yang terjadi di lingkungan masyarakat.
Seperti anak kawan saya yang kebetulan dia sekolah di tingkat sekolah menengah atas. Kebetulan dia siswa di kelas favorite. Artinya semua siswa adalah siswa pandai. Dia merasa justru di kelas khusus dan favorit adalah penjara bagi dia. Dia ingin keluar dari kelas favorit, namun di cegah oleh gurunya, karena dia siswa pandai di sekolah tersebut. Dia meski hanya setengah hati di bangku kelas favorit tapi toh akhirnya dia selalu menjadi siswa yang terbaik di sekolah tersebut.
Mengapa dia ingin keluar dari kelas favorit ?. Alasannya adalah, kelas favorit ternyata hanya mendidik dia menjadi siswa yang kerap ikut olimpiade. Dia tak ingin hanya berkutat dengan materi pelajaran UN saja. Dia ingin masalah riil yang harus dihadapinya dalam hidup ini.
Dia menceritakan, seolah juara di semua ajang olimpiade adalah tujuan utama dari kelas favorit. Bagi siswa yang menang di olimpiade, dia dinilai menjadi siswa yang pandai di sekolah tersebut. Karena itu, tiap hari yang dihadapi hanyalah materi pelajaran UN.
Anak kawan saya tersebut mengaku tak memiliki ketrampilan dan kemampuan lainnya. Dia sedih karena hanya pandai mengerjakan dan memecahkan soal-soal pelajaran UN. Namun, dia mengaku tak pernah tahu dan memahami masalah di sekitar lingkungan rumahnya.
Dia ingin keluar dari kelas favorit agar fikirannya tak terbebani dengan tumpukan pelajaran UN saja. Karena bagi dia kepandaiannya di kelas favorit juga hanya menguntungkan pihak sekolah akan tetapi tidak dapat memberi keuntungan bagi dirinya sendiri. Masuk di kelas favorit hanya membuat bangga orang tuanya tapi dia sendiri tak merasa bangga dan tak bisa apa-apa dalam menghadapi problematika hidup. Oooooooooooooooooh mosok leeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeh. He he he he he he he he he eh eh  ...  heh. Pokoknya apa saja baik lembaga pendidikan formal maupun non forma dan Pondok Pesantren yang berbau bisnis akan jauh dari barokahnya Allah SWT. Ini toh yang sering didawuhkan Abah Madzhabuna huwa : Madzhabul-Khulus bukan Madzhabul-Fulus dengan dalil :
اتبعوا من لا يسألكم أجرا وهم مهتدون.
تراب الأقدام : إبن مهيمن تمام