Rabu, 14 Mei 2014

Bantu anak anda mengalami hari pertama di sekolah dasar yang positif dan menyenangkan

Bantu anak anda mengalami hari pertama di sekolah dasar yang positif dan menyenangkan.

Mengapa ?
Sekolah dasar tentunya berbeda dengan taman kanak-kanak. Komponen bermaian dan bersuka ria yang kental di taman kanak-kanak akan berkurang secara dratis di sekolah dasar. Ketika masih di taman kanak-kanak, anak terbiasa dengan suasana belajar yang menyenangkan, seperti penataan tempat duduk berkelompok, dinding ruang kelas yang penuh dengan hiasan, kegiatan kelas penuh dengan nyanyian dan gerakan, guru-guru yang sabar dan telaten, serta jadual kegiatan belajar mengajar yang tidak ketat. Di sekolah dasar anak mulai menghadapi suasana belajar yang lebih formal, kaku, dan berat.
Kenyataan baru di sekolah dasar bisa membuat anak cemas. Plus, dia harus masuk ke kelas dengan guru dan teman-teman baru yang belum dia kenal. Situasi ini tidak menjadi masalah bagi beberapa anak dengan rasa percaya diri yang kuat.tapi bagi beberapa anak lainnya, situasi ini cukup mengancam rasa amannya.
Bagaimana ?

1.       Beberapa hari sebelum hari pertama sekolah, siapkan berbagai keperluannya seperti seragam sekolah, tas, buku-buku, sepatu, kaos kaki, dan kotak makanan.
2.       Ceritakan pengalaman-pengalaman anda sendiri yang menarik selama sekolah dulu.
3.       Jika perlu dan mungkin, sehari sebelum hari pertama sekolah, ajak anak anda pergi ke sekolah dan melihat-lihat gedung dan lokasi. Jika ada banyak kelas parallel, minta ijin pada petugas jaga untuk mencari dan mengetahui lokasi ruang kelasnya. Pada hari pertama sekolah, biasanya murid-murid cukup gaduh mencari ruang kelas dan guru-gurupun cukup kebingungan membantu murid-murid baru.
4.       Pada hari pertama sekolah antarkan anak anda
5.       Gandeng tangannya dan katakan “Wah anak mama hebat. Sekarang sudah kelas 1 SD”
6.       Sebagai kenangan, fotolah dia di depan gedung sekolah atau di depan ruang kelasnya.
--     Tinggalkan dia dan katakana “Selamat sekolah ya. Nanti siang/sore, kami tunggu ceritamu.”
-

Kamis, 08 Mei 2014

Legenda Gunung Pegat Babat-Jombang

Legenda Gunung Pegat

Pada zaman kejayaan Kerajaan Majapahit, ada seorang Prawira sandi yang menikahi putri cantik yang bernama Ledung Sari. Sang Putri mempunyai permintaan jika mereka kelak jadi menikah ia ingin agar keduanya hidup dan membangun rumah tangga di pelosok pedesaan yang jauh dari hiruk-pikuk urusan perpolitikan. Permintaan sang putri Ledung Sari dikabulkan oleh Wira Sandi, namun Majapahit masih berharap walau ia jauh dari kerajaan Wira Sandi masih bisa menyempatkan diri untuk membantu dan memikirkan urusan kerajaan serta berbakti kepada Sang Prabu Raden Wijaya.

Setelah keduanya menikah, sepasang pengantin yang laki-laki ibarat Batara Kamajaya sedang yang perempuan bak Dewi Ratih lambang kecantikan dewa-dewi kayangan ini bermukim jauh dari kotaraja. Mereka berdua memilih lereng gunung Pucuk Wangi bagian selatan sebagai tempat membangun biduk rumah tangga, kearah barat daya dari pusat pemerintahan Majapahit. Kehidupan mereka berdua dihiasi warna-warni pelangi kebahagiaan, bahagia apa adanya, bahagia dengan alam yang telah dianugerahkan Tuhan kepada mereka. Tanah yang subur, air yang jernih mengalir, dan hewan-hewan liar yang mencukupi kebutuhan hidup, bukan keserakahan dan nafsu tamak yang menghancurkan. harta benda bukan menjadi ukuran kebahagiaan, derajat serta pangkat tak lagi membius ambisi sepasang pengantin surga itu.

Dalam dagrasi kuning senja, puncak gunung Pucuk Wangi kelihatan cerah, udara  sepoi-sepoi menyegarkan, saat itu Ledung Sari sedang berada di rumah berhias menunggu sang suami pulang dari sawah. Setelah matahari hampir tenggelam Wira Sandi datang dari pintu depan. Ledung Sari menyambut kedatangan suaminya dengan wajah yang cerah sambil menyapa, suaranya halus merdu bagai dewi Wara Sembadra, “Monggo  langsung siram Kang Mas, meniko agemanipun gantos” ujar Ledung Sari sambil menyodorkan pakaian ganti untuk suami. “Ee lha dalah awak lungkrah sido dadi bungah, ngene iki diajeng” sambut Wira Sandi membalas ucapan istrinya.
 “Lha kenging nopo toh Kang mas ?”
“Ya mergo awakmu cah ayu, kang dadi pepujaning atiku, Sedino ra ketemu prasasat kadya sewindu” sambung Wira Sandi sambil mencubit dagu sang istri.
Sambil tersipu malu Ledungsari menuju dapur, mempersiapkan makan malam buat suaminya yang seharian bekerja disawah.

Begitulah hari-hari kebagiaan sepasang suami istri yang hidup dalam kesederhanaan, makan dari apa yang ditanam, minum dari air sumber yang banyak terdapat di dekat tempat mereka tinggal, kehidupan yang penuh dengan harmoni dan cinta antara makhluk Tuhan.

Sejenak kita tinggalkan lokasi tempat tinggal Wira Sandi dan istrrinya. Gunung Pucuk Wangi ternyata tidak hanya dihuni oleh manusia saja, namun disitu hidup juga beragam hewan bahkan juga bangsa lelembut atau siluman. Di puncak gunung Pucuk Wangi tepatnya di dalam gua hiduplah sepasang naga siluman. Namanya Naga Diahulu. Wujudnya seperti hewan ular dalam mitologi Cina namun berkepala dua. Satu di depan dan satunya lagi dibagian ekornya. Naga Diahulu mempunyai dua sifat, yang bagian kepala agak tumpul warna hitam putih memiliki sifat naga perempuan. Ia sering disebut sebagai naga Wiling, sedang yang bagian ekor kepalanya agak lonjong dikenal dengan nama naga Wilang dan ia bersifat sebagai naga jantan. Walau naga Diahulu memiliki mulut selebar pintu kandang ternak, namun mangsa naga ini adalah embrio dari janin (bakalan nyawa) seperti telur, janin, dan makhluk hidup yang masih berupa embrio. Naga Diahulu paling senang memangsa bakal jabang bayi manusia yang masih dalam rahim sang ibu.

Kembali ke setting dimana dua sejoli Wira Sandi dan Ledung Sari tinggal, ada siang ada malam dan waktu pun terus berjalan hingga suatu saat keluarga kecil itu kehabisan bahan makanan yang menghajatkan untuk pergi ke pasar. Babat adalah tempat terdekat yang menjadi tujuan mereka untuk berbelanja. Selain itu telah lama juga mereka tidak melihat keramaian manusia yang saling berinteraksi di tempat yang mempertemukan segala macam dan model manusia. Di tempat itu berbagai barang keperluan pun tersedia, garam dari laut, asam dari gunung, perkakas-perkakas rumah tangga dari kota semua tumplek blek di tempat yang disebut pasar. Setelah selesai berbelanja Wira Sandi mengajak istrinya untuk sarapan pagi disebuah warung makan.
“Diajeng ayo sarapan dhisik”
Mereka berdua masuk disebuah warung yang agak luas. Penjualnya seorang perempuan paruh baya, kulitnya hitam manis, wajah sumringah, grapyak semanak mempersilahkan Wira Sandi untuk mencicipi menu yang telah disediakan.
”Monggo pinarak….. ingkang sekeco, ngersakne nopo toh mas ?” sambut si pemilik warung.
“Sarapan mbak Yu” jawab Wira Sandi pendek.
“Dahar ngagem lawuh menopo ? meniko wonten dendeng banteng, ugi urang watang, meniko jangan lodeh sambel jeruk purut” ujar perempuan itu menawarkan aneka masakan yang ada diwarungnya.
Di pojok ruangan warung, terlihat tiga orang laki-laki berwajah sangar berpakaian hitam-hitam, berkumis lebat memperhatikan Wira Sandi dan istrinya. Namun Wira Sandi tidak begitu memperhatikan. Setelah selesai makan Wira Sandi membayar kepada pemilik warung. Setelah selesai membayar Wira Sandi dan istrinya bergegas pulang, Wira Sandi memanggul belanja, sedang Ledung Sari berjalan di sampingnya. Mereka berdua berjalan lambat karena medannya yang menanjak. Siang itu langit tampak gelap, mendung hitam bergulung-gulung, di sudut-sudut cakrawala petir berkilat menyambar, tanda hujan akan segera turun. Wira Sandi kemudiaan berjongkok ke tanah dan mengambil sebongkah kecil tanah liat yang kering (brogalan) kemudian mengheningkan cipta memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa,  
“Ojo pati ceblok banyu udan sakdurunge lemah sing tak gegem ceblok ning bumi pertiwi”

Tiba-tiba disebuah tikungan jalan yang sepi, melompatlah tiga orang  berwajah sangar menghadang jalannya Wira sandi. “Heh ! mandek bondho opo nyawa ?” bentak salah seorang dari manusia asing itu. Ledung sari kaget dan merangkul suaminya. “Kakang…kakang aku wedi !!!” 
Wira sandi segera tanggap bahwa ia sedang berhadapan dengan orang-orang yang bermaksud jahat. 


Tiga orang berpenampilan sangar itu tertawa terbahak-bahak meledek Wira sandi.
“Hai ! tadi kau di pasar belum membayar !“
“Lha sudah kan, tadi saya mendapatkan uang kembali dari penjualnya” bela Wira Sandi
“Itu tadi kan membayar nasi, ini urusan pajak “
“Pajak Apa itu “ lanjut Wira Sandi heran.
“Ini urusan pajak belanja, pajak buat Negara”
“Sebentar-sebentar, Ki sanak ini siapa memang ?” Tanya Wira sandi
“Ha..ha..ha, ketahuilah, bahwa saya ini adalah pejabat Negara, sudah segera bayar, sebelum saya hukum kamu”.
Wira sandi bukan anak kemarin sore yang gentar akan gertakan, ia dengan tenang membalas ancaman itu dengan kata-kata ejekan.
 “Lha ! Pejabat Negara kok mengakali rakyat kecil, ohh…dasar kalian adalah manusia-manusia hina”.
 


Beri Kesempatan anak untuk bias membantu orang lain



Beri Kesempatan anak untuk bisa membantu orang lain

Mengapa ?
Bisa membantu orang lain akan membuat anak merasa berguna, bangga dan percaya diri. Seringkali orang tua mengabaikan hal ini dan menganggap anaknya masih terlalu kecil untuk bias berbuat sesuatu bagi orang lain. Anak kecil selalu dilayani dan jarang diberi kesempatan untuk melayani orang lain. Salah satu alas an adalah pekerjaan yang dilakukan seorang anak balita bias memakan wktu yang jauh lebih lama sehingga orang tua merasa kurang sabar dan telaten. Orang tua merasa lebih praktis dan cepat jika pekerjaan ini dilakukannya sendiri saja. Padahal kesempatan untuk bias melakukan sesuatu untuk orang lain sangat berharga buat anak. Karena itu, orang tua perlu meningkatkan kesabaran dan ketelatenan untuk menunggu dan membimbing.

Bagaimana ?
-          Minta tolong pada anak untuk melakukan beberapa pekerjaan sederhana seperti mengambil sesuatu yang berada dalam jangkauannya, seperti melipat pakaian, menata meja makan, merapikan Koran, dan sebagainya.

-          Jika ada adik kecil, libatkan pula anak dalam kegiatan pengasuhan seperti menyanyi untuk adik, menata pakaian adik, memegangi botol adik, dan sebagainya.

Minggu, 04 Mei 2014

Para Buruh

Buruh
Berburu
Terburu
Berpeluh
Buruh
Berguruh
Bergemuruh
Mengeluh
Mengaduh
Mengadu nasib
Menuntut hak
Sama sebagai manusia
Buruh
Terjatuh
1 Mei 2014