Kamis, 08 Mei 2014

Legenda Gunung Pegat Babat-Jombang

Legenda Gunung Pegat

Pada zaman kejayaan Kerajaan Majapahit, ada seorang Prawira sandi yang menikahi putri cantik yang bernama Ledung Sari. Sang Putri mempunyai permintaan jika mereka kelak jadi menikah ia ingin agar keduanya hidup dan membangun rumah tangga di pelosok pedesaan yang jauh dari hiruk-pikuk urusan perpolitikan. Permintaan sang putri Ledung Sari dikabulkan oleh Wira Sandi, namun Majapahit masih berharap walau ia jauh dari kerajaan Wira Sandi masih bisa menyempatkan diri untuk membantu dan memikirkan urusan kerajaan serta berbakti kepada Sang Prabu Raden Wijaya.

Setelah keduanya menikah, sepasang pengantin yang laki-laki ibarat Batara Kamajaya sedang yang perempuan bak Dewi Ratih lambang kecantikan dewa-dewi kayangan ini bermukim jauh dari kotaraja. Mereka berdua memilih lereng gunung Pucuk Wangi bagian selatan sebagai tempat membangun biduk rumah tangga, kearah barat daya dari pusat pemerintahan Majapahit. Kehidupan mereka berdua dihiasi warna-warni pelangi kebahagiaan, bahagia apa adanya, bahagia dengan alam yang telah dianugerahkan Tuhan kepada mereka. Tanah yang subur, air yang jernih mengalir, dan hewan-hewan liar yang mencukupi kebutuhan hidup, bukan keserakahan dan nafsu tamak yang menghancurkan. harta benda bukan menjadi ukuran kebahagiaan, derajat serta pangkat tak lagi membius ambisi sepasang pengantin surga itu.

Dalam dagrasi kuning senja, puncak gunung Pucuk Wangi kelihatan cerah, udara  sepoi-sepoi menyegarkan, saat itu Ledung Sari sedang berada di rumah berhias menunggu sang suami pulang dari sawah. Setelah matahari hampir tenggelam Wira Sandi datang dari pintu depan. Ledung Sari menyambut kedatangan suaminya dengan wajah yang cerah sambil menyapa, suaranya halus merdu bagai dewi Wara Sembadra, “Monggo  langsung siram Kang Mas, meniko agemanipun gantos” ujar Ledung Sari sambil menyodorkan pakaian ganti untuk suami. “Ee lha dalah awak lungkrah sido dadi bungah, ngene iki diajeng” sambut Wira Sandi membalas ucapan istrinya.
 “Lha kenging nopo toh Kang mas ?”
“Ya mergo awakmu cah ayu, kang dadi pepujaning atiku, Sedino ra ketemu prasasat kadya sewindu” sambung Wira Sandi sambil mencubit dagu sang istri.
Sambil tersipu malu Ledungsari menuju dapur, mempersiapkan makan malam buat suaminya yang seharian bekerja disawah.

Begitulah hari-hari kebagiaan sepasang suami istri yang hidup dalam kesederhanaan, makan dari apa yang ditanam, minum dari air sumber yang banyak terdapat di dekat tempat mereka tinggal, kehidupan yang penuh dengan harmoni dan cinta antara makhluk Tuhan.

Sejenak kita tinggalkan lokasi tempat tinggal Wira Sandi dan istrrinya. Gunung Pucuk Wangi ternyata tidak hanya dihuni oleh manusia saja, namun disitu hidup juga beragam hewan bahkan juga bangsa lelembut atau siluman. Di puncak gunung Pucuk Wangi tepatnya di dalam gua hiduplah sepasang naga siluman. Namanya Naga Diahulu. Wujudnya seperti hewan ular dalam mitologi Cina namun berkepala dua. Satu di depan dan satunya lagi dibagian ekornya. Naga Diahulu mempunyai dua sifat, yang bagian kepala agak tumpul warna hitam putih memiliki sifat naga perempuan. Ia sering disebut sebagai naga Wiling, sedang yang bagian ekor kepalanya agak lonjong dikenal dengan nama naga Wilang dan ia bersifat sebagai naga jantan. Walau naga Diahulu memiliki mulut selebar pintu kandang ternak, namun mangsa naga ini adalah embrio dari janin (bakalan nyawa) seperti telur, janin, dan makhluk hidup yang masih berupa embrio. Naga Diahulu paling senang memangsa bakal jabang bayi manusia yang masih dalam rahim sang ibu.

Kembali ke setting dimana dua sejoli Wira Sandi dan Ledung Sari tinggal, ada siang ada malam dan waktu pun terus berjalan hingga suatu saat keluarga kecil itu kehabisan bahan makanan yang menghajatkan untuk pergi ke pasar. Babat adalah tempat terdekat yang menjadi tujuan mereka untuk berbelanja. Selain itu telah lama juga mereka tidak melihat keramaian manusia yang saling berinteraksi di tempat yang mempertemukan segala macam dan model manusia. Di tempat itu berbagai barang keperluan pun tersedia, garam dari laut, asam dari gunung, perkakas-perkakas rumah tangga dari kota semua tumplek blek di tempat yang disebut pasar. Setelah selesai berbelanja Wira Sandi mengajak istrinya untuk sarapan pagi disebuah warung makan.
“Diajeng ayo sarapan dhisik”
Mereka berdua masuk disebuah warung yang agak luas. Penjualnya seorang perempuan paruh baya, kulitnya hitam manis, wajah sumringah, grapyak semanak mempersilahkan Wira Sandi untuk mencicipi menu yang telah disediakan.
”Monggo pinarak….. ingkang sekeco, ngersakne nopo toh mas ?” sambut si pemilik warung.
“Sarapan mbak Yu” jawab Wira Sandi pendek.
“Dahar ngagem lawuh menopo ? meniko wonten dendeng banteng, ugi urang watang, meniko jangan lodeh sambel jeruk purut” ujar perempuan itu menawarkan aneka masakan yang ada diwarungnya.
Di pojok ruangan warung, terlihat tiga orang laki-laki berwajah sangar berpakaian hitam-hitam, berkumis lebat memperhatikan Wira Sandi dan istrinya. Namun Wira Sandi tidak begitu memperhatikan. Setelah selesai makan Wira Sandi membayar kepada pemilik warung. Setelah selesai membayar Wira Sandi dan istrinya bergegas pulang, Wira Sandi memanggul belanja, sedang Ledung Sari berjalan di sampingnya. Mereka berdua berjalan lambat karena medannya yang menanjak. Siang itu langit tampak gelap, mendung hitam bergulung-gulung, di sudut-sudut cakrawala petir berkilat menyambar, tanda hujan akan segera turun. Wira Sandi kemudiaan berjongkok ke tanah dan mengambil sebongkah kecil tanah liat yang kering (brogalan) kemudian mengheningkan cipta memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa,  
“Ojo pati ceblok banyu udan sakdurunge lemah sing tak gegem ceblok ning bumi pertiwi”

Tiba-tiba disebuah tikungan jalan yang sepi, melompatlah tiga orang  berwajah sangar menghadang jalannya Wira sandi. “Heh ! mandek bondho opo nyawa ?” bentak salah seorang dari manusia asing itu. Ledung sari kaget dan merangkul suaminya. “Kakang…kakang aku wedi !!!” 
Wira sandi segera tanggap bahwa ia sedang berhadapan dengan orang-orang yang bermaksud jahat. 


Tiga orang berpenampilan sangar itu tertawa terbahak-bahak meledek Wira sandi.
“Hai ! tadi kau di pasar belum membayar !“
“Lha sudah kan, tadi saya mendapatkan uang kembali dari penjualnya” bela Wira Sandi
“Itu tadi kan membayar nasi, ini urusan pajak “
“Pajak Apa itu “ lanjut Wira Sandi heran.
“Ini urusan pajak belanja, pajak buat Negara”
“Sebentar-sebentar, Ki sanak ini siapa memang ?” Tanya Wira sandi
“Ha..ha..ha, ketahuilah, bahwa saya ini adalah pejabat Negara, sudah segera bayar, sebelum saya hukum kamu”.
Wira sandi bukan anak kemarin sore yang gentar akan gertakan, ia dengan tenang membalas ancaman itu dengan kata-kata ejekan.
 “Lha ! Pejabat Negara kok mengakali rakyat kecil, ohh…dasar kalian adalah manusia-manusia hina”.
 


3 komentar:

  1. Baru dengar legenda yang satu ini, padahal cukup menarik sebagai cerita rakyat. Mungkin di daerah lain juga masih banyak legenda-legenda yang belum terekspos.

    Maaf, agak kurang ngerti yang bagian dialognya, mohon ditranslete

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus