Selasa, 16 Juni 2015

“Menyalakan Kembali Cahaya dari Koto Gadang”

“Menyalakan Kembali Cahaya dari Koto Gadang”

Membaca kisah orang besar seperti kisah para pahlawan selalu menginspirasi dan memberikan pelajaran yang penting bagi generasi masa depan. Bagai sumber air yang tak pernah kering , alirannya menyejukkan dan menghilangkan dahaga bagi sebuah peradapan. Walau peristiwa itu telah bertahun-tahun lamanya terjadi dan mengendap dalam gelapnya buku-buku sejarah yang kadang ditulis sesuai dengan selera penguasa. Namun, lain loyang lain emas, sejarah yang murni selalu punya cara untuk menampilkan tokoh yang benar-benar tulus dan ikhlas berkhidmad untuk bangsa dan negara tercinta.

Mayhudul Haq yang berarti “Pembela Kebenaran” sebuah nama yang menggambarkan dambaan, do’a dan cita-cita dari seorang ayah yang bernama Sutan Muhammad Salim kepada anaknya yang kelak setelah ditempa dengan berbagai macam kondisi dan iklim peradapan masa tahun 1884-1954, sang jabang bayi itu benar-benar menunjukkan identitasnya sebagai pembela kebenaran di jagad sejarah Nusantara. Walau nama itu hanya tersemat di surat lahir dan ijazahnya, karena sang Masyhudul Haq lebih dikenal dengan sebutan Agus Salim.

Agus Salim termasuk orang yang beruntung kala itu, ayahnya adalah seorang pegawai pemerintah Belanda dan menduduki jabatan sebagai Hoofddjaksa (Kepala Jaksa) hingga kehidupannya terjamin ketimbang teman-temannya yang lain yang hanya rakyat jelata. Walau sejak kecil Agus Salim sekolah di ELS (Europeesche Lagere School) milik Governemen Belanda dan hingga masa dewasanya ia juga banyak bergaul dengan Belanda namun hal itu ternyata tidak mengikis jiwa nasionalisme dan patriotismenya  kepada bangsanya sendiri. Agus Salim tidak hanya termasuk sebagai salah satu dari the founding fathers negeri ini, lebih dari itu Bung Karno mengatakan : “Dialah “The Grand Old Man” bangsa Indonesia”.

Kiprah Agus  Salim dalam berbagai organisasi sosial dan politik seperti Syarikat Islam dan keikutsertaannya dalam Mu’tamar Alam Al-Islami maupun pada saat mengikuti konferensi Buruh Dunia di Jenewa menjadi bukti nyata akan perjuangannya membela rakyat Hindia yang terus ditindas oleh pemerintah Belanda. Agus Salim juga sangat aktif menulis dan menyuarakan kesewenang-wenangan kaum penjajah melalui surat kabar Bendera Islam. Walau akhirnya surat kabar itu mengalami kevakuman karena kekurangan dana. Namun hasil dari lawatannya di Makkah Agus Salim mendapatkan dana hibah dari Raja Abdul Aziz bin Saud, dan dana ini digunakan menghidupkan kembali Bendera Islam yang telah redup. Untuk mengefektifkan fungsi Surat kabar Bendera Islam kantor redaksinya dipindah ke Batavia dan namanya diganti menjadi Surat Kabar Harian Fadjar Asia. Kali ini gaung perjuangan Surat Kabar Harian Fadjar Asia tidak hanya wilayah-wilayah Hindia Belanda namun mampu menembus sampai luar negeri, seperti London, Moskow, China, India, Den Haag dan Mesir.

Agus Salim adalah sosok yang sederhana, berkemauan keras, dan berjuang tanpa pamrih untuk kemerdekaan anak negeri. Kehidupannya berpindah dari satu rumah kontrakan ke rumah kontrakan lain. Namun hal itu tak menyurutkan bara semangat perjuangannya. Di tengah keterbatasan ekonominya, beliau sangat beruntung memiliki pendamping hidup yang sangat luar biasa Zainatun Nahar, sosok istri yang sangat berbakti kepada suami. Sosok bidadari surga yang mendampingi susah senangnya perjuangan sang suami. Layak pasangan ini untuk kita teladani dalam membangun biduk rumah tangga, sekaligus berjuang untuk bangsa dan negara.

Seperti apa yang ditulis oleh Haidar Musyafa penulis Novel “Cahaya dari Koto Gadang” Mari mengenal lebih dekat salah satu peletak dasar bangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Agar dapat dikisahkan kepada generasi penerus bangsa ini, sehingga kisah-kisahnya tetap lestari.Haji Agus Salim, satu di antara Bapak Bangsa peletak dasar NKRI. Berkat kecerdasan dan kepiawaiannya dalam membangun relasi , kedaulatan dan kemerdekaan NKRI diakui secara de jure oleh bangsa-bangsa adidaya. Sekian. Joyojuwoto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar