Kamis, 31 Desember 2015

Bumi Ibu Pertiwi

Bumi Ibu Pertiwi

Bumi yang terhampar luas ini, yang terdiri dari gunung-gunung yang menjulang tinggi, lembah dan ngarai, bentangan padang rumput, hutan-hutan, sungai-sungai, danau, dan lautan diciptakan oleh Allah SWT dalam rangka untuk mencukupi kebutuhan manusia. Sebelum Allah menciptakan bapak moyang manusia yaitu Adam, Allah telah terlebih dahulu menciptakan alam semesta ini.

Dengan segala rahasia-Nya, Allah Swt menciptakan segala jenis makhluknya di jagad raya dengan keseimbangan dan berpasang-pasangan. Ada siang ada malam, ada daratan ada lautan, kiri berpasangan dengan kanan, laki-laki berpasangan dengan perempuan, begitu juga bumi berpasangan dengan langit. Bahkan yang unik di dalam Al Qur’an penyebutan pasangan-pasangan tersebut biasanya memiliki jumlah penyebutan yang sama.

Allah Swt sebenarnya telah mempersiapkan penciptaan bumi untuk dihuni makhluk-Nya yang bernama manusia. Manusia diberi tugas menjadi khalifah fil Ardhi, sebagai pemimpin di muka bumi, agar senantiasa menjaga kelestarian dan kemakmuran bumi, menjadi rahmatan lil ‘alamin, sebagaimana gelar yang disematkan oleh Allah Swt kepada Nabi akhir zaman nabi Muhammad SAW. Walaupun saat itu penciptaan manusia ditentang oleh golongan malaikat, bahkan ditentang oleh Azazil panglima besarnya para malaikat yang selalu taat  bertasbih kepada Allah dan berbakti kepada Allah dan selalu menyucikan-Nya. Jadi untuk apa membuat makluk yang nantinya hanya  akan menjadi sumber kerusakan dan bencana di jagad mayapada.

Diantara sifatnya Allah adalah Al Ahadu, Maha Tunggal, Maha Perkasa dengan segala eksistensinya. Allah Swt bergeming dengan protesnya malaikat, Allah ciptakan manusia Adam dari tanah liat. Kemudian Allah perintahkan malaikat untuk bersujud kepada Adam. Semua malaikat tunduk dan patuh untuk bersujud kepada Adam kecuali Azazil tadi. Menurut Azazil tidak layak makhluk yang derajadnya lebih tinggi dari Adam yang terbuat dari api harus sujud di hadapan Adam yang terbuat dari tanah liat. Karena kesombongan inilah Azazil diusir oleh Allah dari surga dan kemudian dikenal dengan nama Iblis.
Setelah iblis terusir dari surga ia berusaha agar Adam yang saat itu telah ditemani oleh Siti Hawa agar keduanya merasakan hal yang sama terusir dari surga. Dengan segala muslihatnya akhirnya iblis berhasil menggoda Adam dan Hawa untuk melanggar larangan Allah sehingga keduanya terusir dari surga dan menempati alam baru yang dikenal dengan sebutan bumi.

Di bumi inilah akhirnya keturunan Adam mendapat amanah agar menjaga harmonisasi dan keseimbangan bumi. Allah Maha cinta, Maha baik yang mencukupi rizki serta keseluruhan kebutuhan hamba-hamba-Nya. Di bumi tumbuh berbagai macam tanaman, berbagai macam satwa baik di daratan maupun di lautan guna dimanfaatkan dan digunakan untuk mencukupi kebutuhan manusia. Air, mineral, bahan tambang disediakan baik yang bertebaran di muka bumi maupun yang terpendam di dalamnya, agar dimanfaatkan dan dipakai untuk menbangun peradapan manusia di muka bumi. Sungguh Allah Maha Rohman dan Maha Rohim kepada seluruh makhluk-Nya.

Di dalam Al Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang menyebut mengenai bumi. Tentang proses penciptaannya, tentang berapa lama bumi diciptakan Tuhan, hingga tentang tanggung jawab manusia akan bumi dengan segala isinya. Dan penyebutan bumi dalam Al Qur’an hampir selalu diikuti penyebutan langit sebagai pasangannya. Menurut ma’rifat Jawa bumi diibaratkan sebagai Ibu sedang langit adalah bapa. Sering kita dengar istilah “Ibu bumi bapa angkasa”. Pengistilahan ini bukan tanpa alasan, karena memang bumi dianggap mewakili sifat ibu, sedang langit mewakili sifat bapa atau ayah.

Bumi mengasuh segala kehidupan yang terbentang di atasnya, ia tidak membeda-bedakan semua diasuh dengan sepenuh jiwa dengan penuh cinta dan kelapangan jiwa. Bumi memberikan tempat tinggal bagi seluruh makhluk hidup baik manusia, hewan, dan tumbuhan. Bumi memberikan airnya, memberikan sari-sari hidupnya untuk seluruh makhluk. Tumbuhan menyerap sari bumi melalui akarnya, hewan memakan tumbuh-tumbuhan, manusia memakan hewan dan tumbuhan yang juga berasal dari sari bumi.

Bumi mewakili sifat rendah hati dan penuh pengorbanan tanpa batas. Oleh karena itu di mana bumi kita pijak di situ kita harus membaktikan diri kita untuk Ibu  bumi atau ibu pertiwi kita. Karena jiwa dan ruh bumi berada dalam badan kita. Dalam falsafah Jawa disebutkan :
“Manungsa iku asala sokolemah, mangan soko hasile lemah, ngadeg nang nduwur lemah, lan bakal bali nang lemah, mulo ojo podho duweni sifat langit.”

Artinya : “Manusia itu berasal dari tanah, makan dari hasil tanah, bertempat tinggal juga di tanah, dan akhirnya ketika mati juga kembali ke tanah, maka jangan sampai memiliki sifat langit.”

Yang dimaksud sifat langit di sini adalah sifat tinggi, sifat gumedhe (merasa mulia) dan juga bersifat sombong. Karena pada dasarnya itu bukanlah unsur pembentuk manusia. Manusia harus ingat bahwa ia berasal dari tanah, dan akan kembali ke tanah. Sifat tinggi juga merupakan sifat Allah, maka jangan sampai dikenakan oleh seorang hamba. Ingatlah sebuah kisah pengusiran Azazil dari surga juga karena kesombongan. Bukan berarti ketika kita berasal dari tanah tidak bisa memiliki kemuliaan dan derajad yang tinggi. Manusia sekalipun berasal dari tanah juga bisa mencapai maqam yang luhur dan tinggi. Cara untuk menjangkau langit bukan dengan kita mendongak-dongakkan kepala untuk mencapai singgahsana langit. Ketika manusia ingin mencapai maqam langit justru ia harus merendahkan kepalanya serendah-rendahnya dengan cara bersujud di atas bumi. Dengan memperbanyak sujud di bumi itulah Allah akan melangitkan diri manusia. Kelihatannya paradok namun begitulah cara Allah meningkatkan derajad hamba-Nya.

Oleh karena itu dalam budaya kejawen untuk menghormati ibu bumi masyarakat Jawa mengadakan upacara yang dikenal dengan berbagai istilah seperti Nyadran, Manganan, Bersih Desa, Sedekah Bumi dan lain sebagainya. Jika kita mengarifi wisdom lokal budaya tersebut sebenarnya praktek-praktek budaya itu adalah bentuk syukur dan wujud terima kasihnya manusia kepada Sang Pencipta. Mereka merasa bersyukur telah diperkenankan tinggal di bumi yang mereka tempati, mereka merasa berhutang budi kepada tanah yang mereka pijak. Hanya kadang-kadang praktek sedemikian itu kita sikapi dengan penuh penghakiman. Kita membutuhkan teladan dan sikap ibu asal kita ibu bumi yang mengasuh kita dengan keikhlasan dan kemurnian cinta.

Dengan penciptaan bumi dengan segala watak dan karakternya ini Allah ingin menta’dib kita agar kita jangan lupa dari mana kita berasal, apa yang kita makan dan minum, serta ke mana akhir dari kehidupan ini. Sebagaimana hukum asal kejadian bahwa yang dari tanah akan kembali ke tanah, yang dari air akan kembali ke air, yang dari api akan kembali menjadi api, yang dari udara akan kembali menjadi udara. Manusia sejati adalah manusia yang mengerti dari mana dulu ia berasal dan kemana akhir tujuannya, orang Jawa bilang mengerti sangkan paraning dumadi.  
“Ibu bumi, bapa angkasa Ingsun Sujud marang Gusti Kang Murbeng Dumadi.” Joyojuwoto

Minggu, 27 Desember 2015

Jelajah Ke Pesanggrahan Janjang

Tidak banyak yang tahu bahwa Sultan Pajang yaitu Sultan Hadiwijaya memiliki putra-putri yang tersebar di berbagai daerah. Diantaranya berada di Ds. Janjang Kec. Jiken Kab. Blora. Dalam buku-buku sejarah Putra-putri Sultan Hadiwijaya yang terkenal adalah Pangeran Benawa dan seorang putri sulungnya yang dinikahi oleh Arya Pangiri Bupati Demak. 

Kabupaten Blora khususnya wilayah Cepu dan sekitarnya adalah wilayah yang memiliki sejarah dan foklore yang cukup banyak mengenai kelanjutan dari kesultanan Pajang, khususnya era Jipang Panolan yang dipimpin oleh Pangeran Benawa.


Salah satunya adalah Pesarean Eyang Jatikusuma dan Eyang Jati Suwara yang berada di perbukitan Janjang. Kemarin saat liburan saya dan beberapa teman menyempatkan diri berziarah di puncak Janjang. Wilayah Janjang yang secara administratif masuk Kecamatan Jiken ini berada di tengah-tengah hutan. Hamparan pohon-pohon jati yang menjadi primadona wilayah ini masih cukup banyak. Bukit-bukitnya menghijau royo-royo terasa indah dipandang mata.


Letak Janjang dari Kabupaten Blora sendiri sekitar  30 Km, sedang dari kecamatan Jiken masuk ke arah utara sekitar 10 Km. Rumah saya walau berada di wilayah Kab. Tuban, namun secara geografis sangat dekat dengan Janjang. Rute dari desa saya Sidotentrem Kec. Bangilan untuk menuju Janjang cukup dekat dan medannya adventure banget.

Mulai dari Sidotentrem perjalanan menuju kearah barat juga mengasyikkan. Melewati daerah pegunungan Nglateng kemudian menuju ke arah selatan lewat Duren menyebrangi sungai yang dangkal hingga sampai di wilayah perbatasan tiga kabupaten. Kabupaten Blora, kabupaten Bojonegoro, dan kabupaten Tuban. Daerah perbatasan ini dikenal dengan sebutan Singget, yaitu wilayah yang menjadi perbatasan tiga kabupaten tadi.
Perjalanan dari Singget walau di tengah-tengah hutan namun jalannya relatif baik, kecuali yang menyebrangi sungai tadi, masih makadam dan sangat licin jika musim penghujan. Dari Singget arah Janjang adalah ke arah barat daya melewati dusun Nanas. Untuk menambah sensasi perjalanan lebih mengasyikkan saya dan rombongan sengaja berhenti sejenak untuk menikmati panorama ngarai dari dusun Nanas sambil ngopi di sebuah warung di bawah pohon mente. Ya pohon mente juga banyak tersebar di sepanjang perjalanan kami menuju Janjang.

Dari Nanas kami melanjutkan perjalanan ke arah Bleboh. Bleboh adalah sebuah desa yang berada di Ke. Jiken yang berada diantara barisan bukit-bukit. Seakan-akan perbukitan yang mengelilingi wilayah tersebut menjadi benteng alami bagi desa itu. Dari Bleboh letak Pesanggrahan Janjang sudah dekat, bahkan puncak bukitnya pun kelihatan. Kami pun terus memacu motor kami hingga sampai di depan maqam dua putra dari Sultan Hadiwijaya tadi.

Pemandangan alamnya sungguh luar biasa, karena Janjang berada di perbukitan maka kami bisa melihat rumah-rumah penduduk yang tersebar di bawahnya. Karena saat itu tidak ada juru kuncinya maka kami hanya melihat-lihat maqom dari luarnya saja. Kemudian kami naik ke puncak yang lebih tinggi yang mana di situ konon tempat Eyang Jati Kusuma bertapa. Ada puluhan undakan dari beton yang memudahkan kami menaiki punggung bukit. Diatas bukit terdapat cungkup batu pertapaan yang juga terkunci. Udara bertiup sepoi-sepoi menyegarkan suasana siang itu. Sejauh mata memandang tampak perkampungan warga dan juga hamparan hutan jati.

Di atas pertapaan itu terdapat pos pantau perhutani, tingginya kira-kira 40 M. Kami naik ke atas dan menikmati sensasi ketinggian yang mendebarkan. Perjalan yang luar biasa dan kami sangat-sangat menikmatinya. Sekian. Joyojuwoto


Rabu, 23 Desember 2015

Apa kabarmu Wahai Indonesiaku ?

http://tki-belajar-berkarya.blogspot.co.id/
Apa kabarmu Wahai Indonesiaku ?

Pagi yang sendu
Apa Kabarmu Wahai Indonesiaku ?
Apakah rakyatmu masih bisa tersenyum
Ketika hutan-hutanmu terbakar terkapar
di jarah cukong-cukong berwajah sangar

Siang yang kelabu
Apa kabarmu Wahai Indonesiaku ?
Apakah rakyatmu masih bisa tertawa
Ketika langit-langitmu dipenuhi asap dan debu
Dari kobaran api keserakahan

Sore yang membisu
Apa kabarmu Wahai Indonesiaku ?
Apakah rakyatmu bisa menikmati sisa senja
Ketika bumimu ramai-ramai diperkosa
Tanpa syahwat dan cinta

Malam yang kelam
Apa kabarmu Wahai Indonesiaku ?
Apakah rakyatmu masih bisa tidur nyenyak
Ketika selimut atmosfirmu koyak moyak
Tersayat cadas gedung-gedung yang meranggas

Wahai Indonesiaku
Do'aku semoga
Pagimu...
Siangmu...
Soremu...
Malammu...
Damai selalu

Bangilan, 23/12/2015



Sabtu, 12 Desember 2015

Senja di Matamu

Senja di Matamu

Aku temukan keteduhan senja di matamu
Yang mengalirkan derai-derai rindu
Pada aliran sungai nadi darahku

Aku temukan cemerlang senja di ujung senyummu
Yang membangkitkan debur-debur cinta
Pada kedalaman palung jiwaku

Aku temukan kebekuan senja di bibirmu
Yang memaku- paku langkahku
Pada untaian bukit-bukit tulang belulangku

Aku temukan misteri senja yang terurai di rambutmu
Yang mengabadikan kesyahduan
Pada setiap mantra-mantra cintaku

Aku temukan senjamu
Pada senjaku
Di ujung sujudku
pada-Mu.


Bangilan, 11 Desember 2015



Jumat, 11 Desember 2015

Sihir Senja

Sihir Senja

Senja
Temaram senja di ujung cakrawala
Menebar pendar indah suasana
Sungai-sungai menggenang tenang
Bukit-bukit diam terpaku beku
Angin sore mengalun merdu
Membacakan mantra –mantra semesta
Di ceruk senjamu yang jingga

Pada suatu senja yang ceria
Aku menunggumu
Di puncak rindu

Pada  gembala yang pulang kandang
Pada seruling yang melengking
Pada Kerbau-kerbau dan sapi
yang mandi di kali

Pada suatu senja yang syahdu
Kutitipkan rinduku
Pada  ujung senjamu

Pada suatu Senja  yang bisu
Senyum senjamu menyihirku


Bangilan, 11 Desember 2015

Jumat, 04 Desember 2015

Khidir

Khidir

Kegersangan lembah mati itu berubah drastis, tanah-tanah berpasir yang kering tiba-tiba berubah, rerumputan tumbuh perlahan. Warna coklat pucat hamparan tanah gersang perlahan-lahan menjadi hijau segar. Tanah-tanah kering itu pun menjadi basah, seakan terdapat air segar yang mengalir dari kaki seorang tua yang berjalan perlahan menapaki padang gersang yang tandus. Ajaib memang, bekas telapak kaki kakek tua itu meninggalkan rerumputan yang menghijau.

Musa yang berjalan beriringan,  tidak menyadari keanehan yang terjadi dengan kakek tua yang baru ditemuinya, dan menyuruhnya untuk mengikutinya tanpa perlu bertanya untuk apa dan kemana. Dengan penuh tanya Musa pun mengikuti kakek tua itu. Mereka terus berjalan tanpa ada sepatah katapun yang terucap. Baik dari Musa maupun dari kakek tua yang misterius itu. Namun lama-lama Musa pun memberanikan bertanya kepada sang kakek.

Kakek ! kita akan kemana ? tanya Musa kepada kakek tua yang terus berjalan disampingnya, Saya sudah capek Kek, apa kita tidak istirahat terlebih dahulu ?

                Lelaki tua itu hanya diam, ia terus melanjutkan langkah-langkah kakinya menaiki bukit yang gundul. Seakan ia tidak mendengar pertanyaan dari Musa. Sudah hampir setengah hari mereka hanya berjalan dan terus berjalan. Jalan semakin mendaki, namun lelaki tua itu belum ada tanda-tanda untuk menghentikan langkahnya. Musa terus mengikuti di sampingnya, walau kalau ditaksir umur Musa lebih muda dengan kakek tua itu puluhan tahun, namun makin mendaki musa makin ketinggalan, seakan tersadar dari alam mimpi Musa menyadari keanehan dengan kakek yang berjalan di depannya.

                Musa terpana, dilihatnya ke arah bawah, tanah-tanah gersang menjadi hijau. Namun ada yang aneh, hanya tanah yang ia lewati bersama kakek tua itu yang ditumbuhi rerumputan. Musa dengan tergesa menyusul kakek tua yang terus berjalan mendaki bukit. Di sebuah puncak bukit lelaki tua itu berhenti sehingga Musa berhasil menyusulnya walau dengan nafas yang terengah-engah.

“Kakek...kakek...! lihatlah di bawah sana, tanah gersang yang kita lewati berubah menghijau seperti bentangan permadani, bukankah tadi tanah itu mati ? namun sekarang tanah itu ditumbuhi rerumputan.”

                Kakek misterius itu masih diam. Ia duduk bersila di sebuah bongkahan batu hitam di puncak bukit. Senja merayap perlahan, angin sepoi-sepoi menerpa ranting dan daun-daun kering, langit jingga di cakrawala barat tampak teduh mempesona.

                “Kemarilah nak, panggil kakek tua kepada Musa. “duduklah di sini di sampingku.”

Musa dengan perlahan mendekati kakek tua itu, seakan ia masih berada di alam lamunan, baru saja ia bertemu dengan kakek tua tadi siang di sebuah langgar tua di ujung kampungnya. Kemudian tanpa banyak bicara kakek tua itu mengajaknya agar ia mengikutinya. Tanpa berfikir panjang Musa pun mengikuti kemana langkah kaki kakek tua itu melangkah.

                Musa pun duduk di sebongkah batu di sebelah kakek tua, ia hanya diam menunggu reaksi dari kakek tua itu.

                “Nak, jika kamu memiliki azam dalam hal apapun jangan kau hiraukan kiri dan kananmu, teruslah melangkah, tak usah kau tengak-tengok ke belakang. Murnikan azam dan niatmu hanya kepada Tuhan saja, hingga akhirnya kau sampai pada puncak tujuanmu.”

                Musa hanya diam, ia belum begitu mengenal kakek tua itu, bahkan sama sekali tidak tahu dan baru bertemu tadi siang. Seakan kakek tua itu mengetahui apa yang ada dipikirannya. Diusianya yang menginjak dua puluhan tahun Musa memang sedang mencari jati diri. Setelah pulang dari pesantren ia bingung, apa yang harus dilakukan di kampungnya. Dalam kebingungannya itu Musa banyak berdiam di langgar tua di ujung kampung milik kakeknya.

               Hingga pada suatu  siang ia bertemu dengan kakek tua yang misterius itu yang mengajaknya mendaki bukit gersang yang tidak jauh dari ujung kampung.

            “Namun perlu kau ingat nak, janganlah kamu banyak bertanya sehingga menyusahkan dirimu sendiri, banyak-banyaklah bertanya namun pada hati dan nuranimu, Insyallah Gusti Allah akan memudahkan segala urusanmu, dan menjawab apa yang menjadi tujuanmu.”

                Musa semakin tertunduk diam, ia merenung, bayangan-bayangan ketika ia di pesantren tergambar di depan matanya. Ia jadi ingat cerita yang dikisahkan oleh Kyainya tentang Nabi Musa yang berguru kepada Nabi Khidir. Peristiwa itu hampir mirip seperti kejadian yang ia alami. Musa bertanya-tanya dalam hati, mungkinkah kakek tua itu adalah Nabi Khidir ?.

                Musa ingat ketika sang kakek menyuruhnya untuk mengikutinya dari langgar tua tadi, sang kakek berpesan agar ia tidak bertanya tentang apa dan akan ke mana. Dan Musa telah melanggar pesan kakek itu. Dengan perlahan Musa mendongakkan kepalanya, namun alangkah kagetnya Musa sang kakek telah raib dari tempat duduknya.

                Musa berdiri mencari-cari ke sekeliling bukit yang tandus itu, ia  berteriak memanggil-manggil kakek tua tadi.

“Kek..kakek..kemana engkau !” Kakek jangan pergi, tunggu... !!!

Musa terus saja mencari jejak kakek misterius tadi, namun seakan lenyap  ditelan bumi kakek itu tak ditemukan juga.

                Musa kemudian kembali ke batu tempat sang kakek duduk, ia terpaku mengingat-ingat kata-kata kakek tua misterius tadi.

Bukit gundul tempat pertemuan Musa dan kakek tua itu semakin hening dan syahdu. Senja telah hilang dari pangkuan langit barat. Bukit pun menjadi gelap. Sayup-sayup terdengar suara adzan magrib berkumandang dari ujung kampung. Musa bergegas menuruni bukit menyambut seruan adzan dari langgar tua milik kakeknya. Segurat senyuman tersungging di bibirnya, dan ada secercah cahaya yang bersinar dari mukanya. Bangilan, 4 Desember 2015

Joyojuwoto
Penulis tinggal di Bangilan Tuban.

Kamis, 03 Desember 2015

Cak Nun dan Malam Romantisme Di Alun-alun Tuban

Cak Nun dan Malam Romantisme  Di Alun-alun Tuban
Oleh : Joyojuwoto

Doc. Ashfin Van Ghofur
Budayawan kondang Cak Nun saat memberikan pengajian kebangsaan di  Alun-alun Tuban minggu malam tanggal 29 November 2015. Pengajian yang digelar oleh Pemkab Tuban dalam rangka hari jadi Kabupaten Tuban yang ke 722 ini menyedot ribuan pengunjung yang memadati alun-alun. Seakan tidak ada ruang kosong di hamparan paving dan rumput yang menjadi alas duduk para jam’iyyin wal jam’iyyat di malam yang penuh dengan nuansa kebersamaan atau maiyyah lintas generasi.

Cak Nun yang tampil bersama maestro musik asli Tuban Koesplus bersaudara tampil memukau. Koesplus bersaudara yang masih tinggal tiga bersaudara itu menghadirkan jejak-jejak kerinduan masa silam yang penuh dengan romantisme. Generasi 70-an, 80-an, hingga 90-an pasti akan merasakan sensasi masa silam yang mengharu biru.

Sejatinya tiga bersaudara Koesplus akan hadir, namun karena suatu hal acara itu hanya bisa dihadiri oleh Pak Yok Koeswoyo dan Pak Nomo Koeswoyo. Cak Nun yang menyampaikan pengajian malam itu memberikan panggung dan waktu buat Pak Yok dan Pak Nowo guna menumpahkan kerinduan mereka berdua dengan bumi kelahirannya.

Pak Nowo malam itu tampil agresif, seperti pembawaannya yang memang entertaint dan menghibur, serta agak gento goda Cak Nun kepada Pak Nowo. Sedang Pak Yok orangnya lebih pendiam, filosofis dan mistis. Sedang Tony Koeswoyo yang telah dahulu dipanggil Tuhan adalah seorang kreator yang handal. Setidaknya ada sekitar 900-an album yang dihasilkan oleh Koesplus bersaudara. Di usia yang mereka yang sudah tidak lagi muda, Pak Nomo dan Pak Yok masih bisa tampil energik seperti saat mereka menjadi bintang panggung. Lagu-lagu legendaris Koesplus seperti Kolam Susu,  dinyanyikan dengan iringan musik Kyai Kanjeng yang luar biasa.

Seakan membuka memori puluhan tahun silam, para penonton bernyanyi bersama, nyanyian yang melahirkan kerinduan akan alam Nusantara yang bagaikan surga. Dengan apik Koesplus menulis keindahan dan kemakmuran Nusantara masa silam dalam bait-bait syair lagunya yang melegenda :

Bukan lautan hanya kolam susu
Kail dan jala cukup menghidupimu

Tiada badai tiada topan kau temui
Ikan dan udang menghampiri dirimu

Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman

Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman

Namun sayang gambaran tanah kita tanah surga dalam lirik lagu kolam susunya Koesplus hanya tinggal di dalam memori kenangan indah kita. Bumi di mana kita berpijak telah kehilangan keberkahannya. Laut kita sekarang juga telah dipenuhi oleh amuk ombak keserakahan dan kesewenang-wenangan. Di hari ini kita tidak bisa hidup hanya dengan mengandalkan kail dan jala. Tanah surga Nusantara seakan menjadi ibu tiri bagi anak-anaknya sendiri, bangsa ini dipaksa menjadi bangsa kuli di negerinya sendiri. Atas nama investasi atas nama penanaman modal hak-hak anak negeri dikebiri. Adakah musibah yang lebih besar dibanding menjadi bangsa pengemis di negerinya sendiri ?.

Tongkat kayu dan batu tak lagi tumbuh, kesuburan tanah ini tergerus oleh modernisasi zaman. Hutan-hutan beton merambah desa-desa, menjulang tinggi ke langit-langit menyisakan keangkuhan dan egoisme sosial. Keramahan, kebersamaan, kegotong-royongan yang menjadi hiasan mahkota masyarakat terhempas jatuh berkeping-keping di atas tanah peradapan yang kian kejam.

Oleh karena itu dalam khutbah kebangsaannya Cak Nun mengajak agar masyarakat tidak melupakan sejarah, Wal Tandur Nafsun Maa Qoddamat Lighodin, mengenal benar makna “Mikul duwur, mendhem jero” sebuah filosofi Kejawen adiluhung yang mengajarkan sikap menghormati dan menghargai jasa-jasa para pendahulu kita. Mikul duwur bermakna mampu ngajeni, menghormati dan tidak melupakan kerja keras nenek moyang kita, serta sikap mendhem jero yaitu memaafkan dan menutup aib serta kesalahan para pendahulu kita, karena bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawannya. Dan malam itu Cak Nun beserta seluruh masyarakat Tuban hadir memberikan saksi serta mengenang jasa-jasa pendahulu kita. Selamat Hari jadi Tuban yang ke 722.  Untuk para sesepuh dan moyang masyarakat Tuban, Lahumul Fatihah..

Rabu, 02 Desember 2015

Inilah Filosofi Tuban Disebut Sebagai Bumi Wali

Inilah Filosofi Tuban Disebut Sebagai Bumi Wali

Tidak salah memang jika Tuban disebut-sebut sebagai Bumi Wali, karena di pangkuan bumi yang juga sering dijuluki sebagai bumi Ronggolawe ini banyak bersemayam para jasad para auliya mulai dari yang sudah dikenal masyarakat seperti Maqom Sunan Bonang, Maqom Sunan Asmaraqandi, Maqom Sunan Bejagung dan lain sebagainya, hingga maqom-maqom yang belum begitu dikenal secara luas oleh masyarakat luar, seperti Maqom Syekh Gentaru di Tuwiri Wetan Merakurak, Syekh Ahmad bin Muhammad Ar Rozi di Bangilan, Mbah Jabbar di Singgahan, Mbah Bongok di Jetak Montong dan masih banyak lagi tentunya.

Branding Tuban Bumi Wali yang dicanangkan oleh pemerintah daerah Kabupaten Tuban di bawah kepemimpinan Bupati Fathul Huda memiliki tujuan mulia. Bukan hanya sekedar ingin menjadikan Tuban sebagai Bumi Santri ansich namun ternyata Pak fathul Huda memiliki visi dan misi jauh ke depan guna membangun Tuban menjadi Kabupaten yang madani.

Tidak seperti anggapan beberapa orang yang mengatakan bahwa Bupati ingin melupakan sejarah kota Tuban dengan mengganti tagline dari Bumi Ronggolawe menjadi Bumi Wali. Menurut Pak Huda, beliau ingin menjadikan Tuban sebagai Bumi Wali tidak hanya sebagai slogan tanpa makna. Beliau berharap Tuban mampu bertransformasi menjadi Bumi Wali yang sebenar-benarnya.

Lebih lanjut Pak Huda menyatakan bahwa filosofis dan nilai-nilai spirit Tuban sebagai Bumi Wali harus diaplikasikan dan diterjemahkan secara riil ke dalam ranah kehidupan masyarakat Tuban secara menyeluruh.

Nilai-nilai filosofis Tuban sebagai Bumi Wali diungkap dan dikupas oleh Pak Fathul Huda pada saat acara ngaji kebangsaan bersama Cak Nun di Alun-alun Tuban pada minggu malam kemarin tanggal 29 November 2015 dalam rangka hari jadi Kabupaten Tuban yang ke 722. Menurut Pak Huda mengapa Tuban kok disebut sebagai Bumi Wali ? beliau mengatakan bahwa Tuban ingin meniru spirit para Wali Songo yang telah berjasa menyebarkan dan mendakwahkan ajaran Islam di Tanah Jawa. Nilai-nilai spirit itu menurut Pak Huda adalah, pertama : para Wali adalah seorang enterpreuner, kedua : para Wali adalah seorang yang pemberani.

Dari dua nilai spirit para wali diatas pak Huda ingin mengajak masyarakat Tuban untuk menjadi masyarakat yang enterpreuner, menurutnya masyarakat enterpreuner adalah masyarakat yang makmur. Karena dengan enterpreuner masyarakat bisa menjadi penjual atau sebagai produsen, sedangkan masyarakat pembeli atau konsumtor adalah ciri-ciri dari masyarakat yang kurang maju. Sedang spirit pemberani yang dijabarkan oleh Pak Huda menurutnya hanya orang-orang pemberani saja yang memiliki masa depan yang gemilang. Namun beliau mengingatkan keberanian ini harus bermakna positif dan dilambari dengan nilai-nilai religi. Karena keberanian yang tanpa disentuh nilai-nilai religi akan menjadikan sikap  arogansi dan kesombongan, begitu tutur pak Huda. Joyojuwoto