Senin, 29 Februari 2016

Mengenal Diri Jalan Mengenal Tuhan

Mengenal Diri Jalan Mengenal Tuhan

Kewajiban pertama yang dibebankan bagi manusia adalah mengenal Tuhannya dengan penuh rasa yakin, Awwalu Wajibin ‘alal insani Marifatul Ilahi bistiqoni, begitu yang disebutkan dalam kitab Matan Zubad karya Syekh Al Imam Ibnu Ruslan. Jika mengenal diri adalah jalan mengenal Tuhan, sedang mengenal Tuhan adalah sebuah kewajiban pertama bagi manusia taklif maka sebagaimana kaidah ushul fiqih yang menyatakan bahwa “Maa Yutawassalu bihi ila iqomatil wajib fahuwa waajibun” artinya apa-apa yang menjadi wasilah terhadap sesuatu yang wajib maka hukumnya juga menjadi wajib. Dari kaidah ini maka wajib hukumnya bagi manusia untuk mengenali dirinya sendiri sebelum ia mengenali Tuhannya.

Mengenal diri adalah jalan untuk mengenal Tuhan, barangsiapa yang tidak mengenal hakekat kediriannya  maka ia akan kehilangan hakekat Ketuhanan. Dalam bahasa haditsnya disebutkan Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu, wa man ‘arafa Rabbahu fa qad ‘arafa sirrahu” artinya “Barang siapa yang mengenal dirinya maka ia mengenal Tuhannya, dan barang siapa yang mengenal Tuhannya maka ia mengetahui rahasia-Nya.”

Dalam al Qur’an Surat Fussilat ayat : 53 disebutkan yang artinya :
   
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?
Di dalam ayat ini Allah Swt akan memperlihatkan tentang tanda-tanda tentang kebenaran Al Qur’an pada diri manusia, karena memang pada diri manusia menyimpan segala potensi ayat-ayat Tuhan. Jika alam semesta adalah makrokosmos, maka diri manusia sebagai mikrokosmosnya. Apapun yang tergelar di jagad raya ini maka segala potensinya juga ada pada diri manusia.

Manusia adalah makhluk yang paling sempurna yang diciptakan oleh Tuhan, dan dalam diri manusia baik secara jasmani maupun ruhani adalah bentuk kecil dari alam semesta ini.

Dalam sebuah desertasi yang ditulis oleh Masataka Takeshi dengan judul “Ibn ‘Arabi’s Theory of the Perfect Man and Its Place in the History of Islamic Thought” yang dialih bahasakan oleh Harir Muzakki, M.Ag dengan menjadi sebuah buku yang berjudul “Insan Kamil Pandangan Ibnu ‘Arabi” disebutkan di halaman 116 bahwa :

Tubuh manusia dalam bentuk ringkasnya adalah salinan (mitsal) seluruh alam semesta, apa pun yang diciptakan di alam terdapat pada diri manusia. Tulang bagaikan gunung, keringat seperti hujan, rambut seperti pohon; otak sama dengan awan, indera-indera bagaikan bintang-bintang. Untuk menyebut secara lengkap akan membutuhkan waktu lama; namun semua genera ciptaan terdapat salinannya pada diri manusia.”

Maha besar Allah Swt yang telah menciptakan diri kita manusia dalam bentuk kesempurnaan yang luar biasa bukan ? dan ini baru rahasia perkenalan manusia dengan bentuk dan anatomi tubuh,  jika kita mengenalnya dengan benar maka pengetahuan itu pastilah akan mengantarkan manusia pada pengetahuan Ketuhanan yang luar biasa. Oleh karena itu manusia tidak akan mengenal dengan benar siapa Tuhannya sebelum mampu mengenali dirinya sendiri.  Karena tak ada yang lebih dekat dengan kita kecuali diri kita sendiri.

Tuhan adalah sebuah pengetahuan yang adikodrati, yang mana karena keterbatasan akal dan indera  manusia tidak mampu menangkap dan menjangkau realitasnya. Orang Jawa bilang “Tan Kena Kinaya Ngapa” maknanya tidak bisa dibayangkan seperti apa, yang dalam konsep tauhid Islam itu yang disebut sebagai ”Laisa Kamitslihi sai’un.” (Tidak ada sesuatu yang menyerupai dengan-Nya) Oleh karena itu agar Sang Khaliq bisa dikenali ia menciptakan makhluk sebagai citra dari-Nya. Sebagaimana yang terkandung dalam sebuah hadits hadits Qudsi dinyatakan : “Kuntu Kanzan Mahfiyan Fa ahbabtu an u’rafa fa kholaqtul khalqa li ya’rifni” artinya : Aku adalah suatu perbendaharaan yang tersembunyi. Aku ingin sekali untuk dikenali, maka Ku-jadikan makhluk agar ia mengenali “Siapa Aku.”

Oleh karena itu untuk melihat dan merasakan realitas Sang Khaliq ini kita harus berfikir tentang kemakhlukan, bukan tentang Khaliq itu sendiri, karena pada dasarnya akal dan indera manusia tidak akan mampu menangkapnya. Dalam sebuah hadits Nabi yang lain juga disebutkan “Tafakkaruu Fi Kholqillaahi wa la tafakkaruu fillah,” artinya berfikirlah tentang makhluk Allah Swt dan jangan berfikir mengenai dzatnya Allah Swt itu sendiri.

Begitu pentingnya untuk mengenali diri sehingga banyak sekali perintah Allah Swt yang menyuruh agar manusia mengenal akan kediriannya. Dalam Surat Adz-Dzariyat ayat 21 dengan tegas Allah Swt memerintahkan agar manusia mengenali dan memperhatikan dirinya, Allah Swt berfirman yang artinya :


21. dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka Apakah kamu tidak memperhatikan?

Perintah untuk memperhatikan diri kita sendiri dalam ayat ini sangat tegas sekali, karena memang dengan mengenali diri, manusia bisa mengenali Tuhannya. Hal ini sejalan dengan maksud Allah Swt menciptakan manusia di muka bumi dalam rangka menyembah kepada-Nya. Allah Swt berfirman dalam surat Adz-Dzariyat ayat : 56 yang artinya : “Dan tidak aku ciptakan jin dan manusia kecuali mereka menyembah kepada-Ku”

Ringkasnya barang siapa yang mengenali dirinya maka akan lebur kemakhlukannya, dan barang siapa yang telah lebur kemakhlukannya maka ia akan sampai pada realitas Ketuhananya. Dan barang siapa yang telah mampu mencapai realitas Ketuhananya maka ia akan akan merasa tak pernah ada. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Al Hallaj “Kesalahan terbesar yang dibuat oleh manusia adalah ia merasa dirinya ada.” Sekian. Joyojuwoto

Jumat, 26 Februari 2016

Agama Bangsa Nusantara

Agama Bangsa Nusantara

Dalam tulisan di buku-buku sejarah Nasional yang diajarkan di sekolah-sekolah, maupun dalam catatan-catatan peneliti dan sejarawan asing menyebutkan bahwa agama atau kepercayaan  yang dipeluk oleh penduduk Nusantara sebelum masuknya agama Hindu-Budha, Islam, dan Kristen adalah pemujaan terhadap roh nenek moyang atau dikenal dengan istilah Animisme. Selain itu disinyalir masyarakat Nusantara juga mempercayai benda-benda yang dianggap memiliki kekuatan gaib yang lazim dikenal dengan istilah Dinamisme.

Lalu benarkah data-data sejarah yang menyatakan bahwa agama Nusantara adalah penyembahan terhadap roh nenek moyang dan peyembahan terhadap benda-benda yang memiliki kekuatan gaib semisal pohon-pohon besar, batu, gunung dan lain sebagainya ?

Walau hal ini telah diamini oleh seluruh masyarakat Indonesia dari dulu hingga sekarang ini, baik dari kalangan sejarawan dalam maupun  luar negeri, dari guru-guru sejarah dan dari berbagai pihak yang berwajib menyampaikan sejarah bangsa, ternyata pandangan itu tidak selamanya benar.  Disiplin ilmu sejarah memang bersifat nisbi yang mana kebenarannya bersifat sementara dan relatif, jika terdapat data dan sumber sejarah lain yang dianggap lebih valid dan bisa dipertanggung jawabkan secara empiris dan ilmiah maka teori sebelumnya dianggap batal.

Begitu juga dengan konsep Animisme-Dinamisme,  walau tidak secara langsung disebutkan bahwa konsep beragama penduduk Nusantara adalah penyembahan terhadap berhala namun hal ini mengindikasikan dan memunculkan anggapan bahwa nenek moyang bangsa Indonesia adalah para penyembah berhala. Apalagi didukung oleh fakta-fakta peninggalan kebudayaan dan kepercayaan pada masa zaman batu khususnya era meghalitikum yang banyak meninggalkan jejak batu besar sebagai sarana untuk penyembahan dan pemujaan roh nenek moyang. Semisal menhir, dolmen, sarkofagus, waruga, pundek berundak dan lain sebagainya.
Penyebutan yang menyatakan bahwa kepercayaan masyarakat Nusantara sebagai pemeluk animisme-dinamisme yang berkonotasi menyembah batu atau berhala oleh Bangsa Barat menurut dugaan saya walau ini belum melewati fase analisis ketat, hal ini digunakan sebagai senjata budaya untuk merusak moral dan keyakinan anak cucu bangsa ini. orang-orang Barat yang waktu itu datang ke Nusantara  dengan membawa ajaran Kristen akan menuding “Itu lho moyangmu, bangsamu adalah bangsa jahiliah, mereka adalah para penyembah berhala.” Dengan tudingan itu diharapkan kita akan kehilangan jatidiri sebagai bangsa yang berperadaban.

Menurut sejarawan, budayawan sekaligus Ulama kondang, KH. Agus Sunyoto ketua Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) sebenarnya agama dan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Nusantara adalah tauhidisme, yaitu ajaran yang mengesakan Tuhan.  Oleh penduduk Nusantara agama ini disebut secara berbeda-beda sesuai dengan tempatnya. Orang Jawa menyebutnya Kapitayan, Orang Sunda menyebutnya Sunda Wiwitan, Orang Dayak menyebutnya Kaharingan, orang Batak menyebutnya Ugamo Malim. Agama ini telah sekian lama dipeluk oleh masyarakat semenjak jaman batu tua atau paleolitikum.

Dalam keyakinan penganut kepercayaan Kapitayan di Jawa, pertama kali yang mengajarkan Kapitayan adalah Danghyang Semar keturunan manusia purba dari jenis Homo Sapiens. Dalam kitab Paramayoga dan Pustakaraja purwa silsilah Nabi Adam hingga sampai pada Semar dijelaskan sebagai berikut :
Nabi Adam > Nabi Syis > Anwas dan Anwar > Hyang Nur Rasa > Hyang Wenang > Hyang Tunggal > Hyang Ismaya > Wungkuhan > Smarasanta (Semar).

Semar inilah yang dianggap sebagai pamomongnya tanah Jawa, mengasuh raja-raja Jawa dengan beravatar menjadi wujud yang berbeda-beda, seperti pada masa Majapahit menjelma menjadi Sabda Palon-Naya Genggong yang mengasuh Prabu Brawijaya V.

Kepercayaan Kapitayan secara sederhana adalah kepercayaan yang memuja sembahan utama  yang disebut Sanghyang Taya, yang bermakna kekosongan, awang-uwung.  Taya sendiri bermakna absolute tidak bisa dipikirkan dan dibayangkan seperti apa. Orang Jawa menggambarkan Taya sebagai dzat yang “Tan Kena Kinaya Ngapa” yang maknanya tidak bisa disangka seperti apa. Dalam konsep tauhid Islam itu yang disebut sebagai ”Laisa Kamitslihi sai’un.” Untuk mencapai dzat yang tak terjangkau orang Jawa biasanya menggunakan istilah Uninong-Aning-Unong untuk berusaha mencapai jalan Taya tadi.

Taya bermakna tidak ada tapi ada, ada tapi tidak ada, untuk itu agar bisa dikenal dan  disembah oleh manusia Sanghyang Taya digambarkan mempribadi dalam nama dan sifat yang disebut Tu atau To, yan bermakna seutas benang. Daya gaib yang bersifat adikodrati. Tu atau To adalah tunggaldalam dzat, satu pribadi. Tu lazim disebut Sanghyang Tu-nggal. Dia memiliki dua sifat, yaitu kebaikan dan keburukan. Yang bersifat baik disebut Tu-han, sedang yang bersifat buruk disebut Han-Tu.

Karena Sanghyang Tunggal bersifat ghaib untuk memujanya dibutuhkan sarana yang bisa ditangkap oleh panca indera manusia. Oleh karena itu dalam kepercayaan Kapitayan ini dibalik sesuatu yang memiliki nama Tu ini dipakai sebagai sarana penyembahan, seperti wa-Tu (batu), Tu-rumbuk (pohon beringin), Tu-Gu, Tu-lang,  Tu-ndak (punden berundak), Tu-tut (limpa) To-san (pusaka), To-peng, To-ya (air).

Dalam penyembahan terhadap Sanghyang Tunggal tadi biasanya disediakan Tu-mpeng, dalam Tu-mpi (keranjang bambu), Tu-ak (arak), Tu-kung (Ayam) yang kesemuanya itu dipersembahkan kepada Sanghyang Tunggal.

Persembahan-persembahan itu hanya sebagai perantara saja untuk mendekati dzat yang Taya tadi, sedang para rohaniawan kapitayan melakukan sembah-Hyang langsung kepada Sanghyang Tunggal di ruangan khusus yang disebut Sanggar. Yaitu sebuah bangunan segi empat, beratap Tu-mpang, dengan Tu-tuk (lubang) di dinding sebelah timur sebagai lambang kehampaan Syanghyang Taya. Adapun praktek sembah-Hayangnya adalah sebagai berikut aebagaimana yang disampaikan oleh KH. Agus Sunyoto :

Mula mula sang Rohaniawan melakukan Tu-lajeg (berdiri tegak) menghadap Tu-tuk (lubang) dengan kedua tangan diangkat keatas menghadirkan Sanghyang taya kedalam Tu-tud (hati), setelah merasa Sanghyang taya hadir didalam hati, kedua tangan diturunkan di dada tepat pada Tu-tud (hati), posisi ini disebut Swadikep (sidakep/memegang ke-akuan diri), proses Tulajeg ini dilakukan dalam tempo lama.

Setelah tulajeg selesai, sembahyang dilanjutkan dengan posisi Tu-ngkul (membungkuk memandang kebawah) yang juga dilakukan dalam tempo yang relatif lama.

Lalu dilanjut kan dengan posisi Tu-lumpuk (bersimpuh dengan kedua tumit diduduki) dilakukan dalam relatif lama.

Yang terakhir, dilakukan dengan posisi To-ndhem (bersujud seperti bayi dalam perut ibunya) juga dilakukan dalam tempo yang lama.

Setelah melakukan sembahyang yang begitu lama itu, Rohaniawan Kapitayan dengan segenap perasaan berusaha menjaga keberlangsungan Sanghyang taya yang sudah disemayamkan didalam Tu-tud (hati).
Seorang pemuja Sanghyang taya yang dianggap saleh akan dikaruniai Tu-ah (kekuatan gaib yang bersifat positif) dan Tu-lah (kekuatan gaib penangkal negatif). Mereka yang memiliki Tu-ah dan Tu-lah itulah yang dianggap berhak menjadi pemimpin masyarakat dengan gelar ra-Tu atau dha-Tu.

Oleh karena itu konsep raja atau ra-Tu bagi masyarakat Jawa dianggap sebagai perwujudan dan pengejawentahan daya gaib Taya atau Tu-han yang ada di muka bumi. Demikian agama dan kepercayaan yang dianut selama berabad-abad oleh Bangsa Nusantara sebelum agama-agama luar masuk ke wilayah Nusantara. Joyojuwoto

Rabu, 24 Februari 2016

Seindah Sakura di Langit Nusantara

Seindah Sakura di Langit Nusantara

Bunga Sakura memang indah dan sedap dipandang mata, begitu pula yang saya rasakan ketika membaca lembar demi lembar buku yang ditulis oleh Suyoto Rais. Seperti sedang menikmati kesegaran dan keindahan lembar demi lembar kelopak bunga Sakura yang mempesona, tiada bosannya saya menikmati buku yang berisi kisah inspiratif perjuangan anak desa dari Jojogan Singgahan Kab. Tuban yang akhirnya menjadi seorang profesional global yang handal.

Walau telah sukses menjadi orang penting dibeberapa perusahaan ternama di Jepang Suyoto Rais tidak lupa diri, dari berbagai pengalamannya malang-melintang di dunia global justru menjadikannya semakin matang dan menjadi pribadi yang unggul. Cobaan dan ujian hidup yang dialami Pak Suyoto semenjak dari kecil semakin mengokohkan kedewasaanya, begitu beberapa pesan yang bisa saya tangkap  dari buku beliau.

Merasa ikut bangga menjadi orang Tuban ketika pertama kalinya saya ketemu walau hanya sepihak dengan Pak Suyoto, saat beliau mengisi Simposium Nasional yang digelar oleh Pemkab Tuban di Pendapa Kridha manunggal yang mengambil tema : “Prospek dan Rencana Pembangunan Ekonomi Lokal Menuju Tuban Yang Semakin Maju dan Sejahtera.”

Sepulang dari simposium itu saya terobsesi dan membayangkan bahwa di Tuban nantinya basis ekonomi lokal dikuatkan sehingga mampu mensejahterakan masyarakat. Inilah hebatnya Pak Suyoto menurut saya, beliau yang sudah duduk nyaman dan mapan luar negeri serta menjadi orang penting ternyata punya pemikiran untuk bali kampung, “Demi Indonesia Aku Kembali” begitu tulis beliau di salah satu sub judul bukunya. Pak Suyoto kembali ke Indonesia bukan agar beliau diangkat menjadi salah satu pejabat penting di negeri ini, beliau dengan tulus ingin mengabdikan apa yang ia punya untuk Indonesia.

Oleh karena itu beliau dengan beberapa koleganya mendirikan organisasi Formasi-G sebuah Forum Masyarakat Indonesia Berwawasan Global (Indonesian Forum For Global Vision). Forum ini dibentuk bersama untuk menyambut gempita globalisasi yang juga mulai masuk ke Indonesia. Target akhir yang ingin dicapai Formasi-G agar seluruh kecamatan minial memiliki satu klaster Industri Rakyat yang nantinya klaster-klaster itu akan bersinergi meningkatkan daya saing produk-produk dan SDM Indonesia untuk menghadapi globalisasi dunia.

Riilnya program Formasi –G di Tuban seperti apa yang dipaparkan dalam simposium di Pendapa kemarin akan menggandeng Pemkab untuk mengembangkan ekonomi kerakyatan di wilayah Kabupaten Tuban untuk menginventarisasi sektor mana yang perlu dikembangkan dan menjadi produk unggulan lokal. Contohnya  dalam bidang pertanian selama ini ketela dan kelapa belum dimanfaatkan secara maksimal, karena sektor pertanian di Tuban dibidang ketela misalnya masih sebatas tanam, panen, dan dijual masih dalam bentuk bahan mentah. Sehingga nilai ekonomisnya rendah. Jika produk ketela ini disentuh dengan teknologi industrialisasi, tentu ketela akan menjadi produk yang bernilai ekonomis tinggi.

Sementara produk turunan ketela di Tuban masih tradisional seperti menjadi kripik, gethuk, pathi/tepung, dan segala macam makanan tradisional lainnya yang harganya rendah. Seiring dengan penemuan-penemuan baru dalam bidang inovasi industri pangan ada secercah harapan bagi masyarakat, karena pakar-pakar ilmuan di negeri ini mampu mengolah ketela menjadi produk unggulan yaitu MOCAF (Modified Casava Flour).

Adalah Prof. Dr. Acmad Subagio Superhero dari Jember seorang dosen, ilmuwan, inovator dan seorang pengusaha yang berhasil menemukan tepung singkong yang diberi nama MOCAF.  Tepung ini bisa menggantikan peran tepung gandum yang Indonesia sepenuhnya mengimpor. Tepung MOCAF dapat digunakan sebagai bahan baku dari berbagai jenis makanan, mulai dari mi, bakery, cookies, dan lain-lainnya. Jika pemerintah dengan kebijakannya mampu menekan impor gandum dan mengembangkan MOCAF untuk industri makanan tentu ketela akan menjadi primadona di negeri ini.
Kita berutang budi pada orang-orang yang bekerja keras penuh kreasi dan inovasi untuk kemakmuran negeri ini. mereka-mereka patut  kita jadikan contoh dan teladan untuk membangun negeri.


Suyoto Rais dalam buku yang ditulisnya “Seindah Sakura di Langit Nusantara” membagikan kisah inspiratifnya, beliau bukan hanya sekedar menulis kisah romansa hidupnya namun beliau telah membagikan separuh energi kebaikan untuk anak cucu negeri ini. semoga kisah kita bisa meneladaninya demi dan untuk Indonesia tercinta. Joyojuwoto.

Minggu, 21 Februari 2016

MEA (Masyarakat Ekonomi Asean) dan Potensi Lokal Yang Terabaikan

MEA (Masyarakat Ekonomi Asean) dan Potensi Lokal Yang Terabaikan

MEA (Masyarakat Ekonomi Asean)  sudah diberlakukan mulai akhir 2015 kemarin, produk-produk luar negeri khususnya Cina telah membanjiri pasar-pasar lokal di Indonesia. Tidak terkecuali di Kabupaten Tuban, di pasar-pasar tradisional telah banyak kita dapati produk impor. Untuk itu masyarakat harus mulai pasang kuda-kuda membekali diri  dengan wawasan global.

Saya menyambut baik usaha Pemkab Tuban menggandeng Forum Masyarakat Indonesia Berwawasan Global (Indonesia Forum For Global Vision) di pendopo Krido Manunggal mengadakan simposium Nasional dengan tema : “Prospek dan Rencana Pembangunan Ekonomi Lokal Menuju Tuban Yang Semakin Maju dan Sejahtera.” Diharapkan simposium ini menjadi pemantik bagi peran bersama Pemkab dan masyarakat untuk mempersiapkan diri go internasional.

Fenomena masuknya produk impor  ke pasar-pasar tradisonal yang ditawarkan lebih murah tentu berdampak buruk bagi produk-produk lokal, masyarakat yang belum siap dipaksa harus bersaing ketat dengan produk luar negeri. Jangankan lebih murah lebih mahal pun kecenderungan masyarakat lebih memilih produk luar negeri dibanding memilih produk lokal. Ada kecenderungan konsumen lebih merasa bangga menggunakan produk luar negeri dibandingkan dengan produk dalam negeri. Ini menjadi PR bersama agar masyarakat mempunyai kesadaran terhadap lokalitas, toh tidak jarang masalah mutu produk lokal tidak kalah dengan produk impor.

Dengan masuknya era MEA ini masyarakat harus mempersiapkan diri agar tidak kalah bersaing di pasar global, oleh karena itu perlu pemahaman global agar masyarakat bisa go global menyambut persaingan pasar bebas.

Masyarakat khususnya Tuban jangan sampai menjadi bulan-bulanan dan menjadi korban persaingan di era pasar bebas, oleh karena itu mulai sekarang masyarakat harus jeli melihat potensi yang ada. Sumber daya alam di Tuban telah mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pasar, hanya saja perlu sedikit sentuhan kemajuan dan inovasi agar siap bersaing di kelas atas. Salah satu contohnya adalah ketela, jika ketela kita jual masih dalam bentuk ketela harganya murah dan tidak banyak orang yang tertarik, namun jika ketela telah kita olah dengan teknologi ketela bisa dibuat menjadi tepung Mocaf yang harganya bisa empat sampai lima kali lipat dari harga ketela itu sendiri. Itu baru satu potensi ketela bisa meningkatkan ekonomi masyarakat, belum potensi-potensi lain yang tersedia cukup banyak di wilayah Tuban, semisal jagung, kelapa, kedelai, kacang tanah  dan lain sebagainya.

Potensi-potensi lokal inilah yang harus menjadi perhatian Pemkab dan masyarakat tentunya agar kita tidak kalah bersaing dengan produk-produk dari luar negeri. Dan tentu masih sangat banyak potensi lokal yang perlu digarap dan mendapat perhatian serius agar berdaya guna bagi kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat khususnya Tuban.

Salah satu kendala sulitnya memajukan aspek lokal di Tuban adalah kreativitas dan inovasi, tidak banyak masyarakat khususnya ilmuan dan peneliti yang benar-benar mau terjun ke lapangan untuk menggali dan menciptakan hal-hal yang baru dan inovatif. Lazimnya masyarakat lebih suka menjadi pegawai kantoran, memakai dasi, dan abai dengan potensi lokal yang perlu di garap. Mana ada coba sarjana pertanian yang mau tekun mengembangkan sistem pertanian di daerahnya, mereka akan lebih suka menjadi pegawai daripada terjun  langsung berbaur di sawah-sawah yang berlumpur.

Sikap dan cara pandang yang sedemikian ini yang menjadi kendala terhadap kemajuan masyarakat, karena bersekolah niatnya untuk menjadi pegawai bukan menuntut ilmu yang kemudian diaplikasikan di tengah-tengah masyarakat.

Masyarakat menunggu sentuhan-sentuhan keajaiban dari sebuah ilmu pengetahuan yang akan mengubah paradigma masyarakat selama ini yang menganggap bahwa singkong itu tidak lebih keren dibandingkan Roti. Sudah saatnya masyarakat bangga dan merasa terhormat menjadi Petani Singkong, karena dengan sentuhan teknologi singkong sekarang bisa diolah menjadi tepung Mocaf yang menjadi bahan dasar pembuatan roti. Jadi kita tidak perlu lagi mengatakan “Aku Anak Singkong dan Kau Anak Keju” karena itu sudah masa lalu. 21/2/2016 Joyojuwoto

Pemkab Tuban Gelar Simposium Nasional Untuk Menghadapi Tantangan Global

Pemkab Tuban Gelar Simposium Nasional Untuk Menghadapi Tantangan Global

Tuban, 20/2/2016- www.4bangilan.blogspot.com Pemkab Tuban beserta jajarannya memberikan perhatian yang serius dalam menghadapi era pasar bebas yang ditandai dengan diberlakukannya MEA (Masyarakat Ekonomi Asean) sejak akhir tahun 2015 tahun lalu. Kemarin di Pendapa Kridha Manunggal digelar Simposium Nasional dengan tema : “Prospek dan Rencana Pembangunan Ekonomi Lokal Menuju Tuban Yang Semakin Maju dan Sejahtera.”

Acara yang dihadiri oleh seluruh kepala instansi pemerintahan, Perhutani, kepala sekolah baik swasta maupun negeri,  para siswa tingkaat SLTA yang diwakili OSIS, maupun dari dinas-dinas lain yang terkait ini menggandeng FORMASI-G, Forum Masyarakat Indonesia Berwawasan Global (Indonesian Forum For Global Vision) yang diketuai Dr. Ir. Suyoto Rais, seorang anak asli dari Tuban, tepatnya dari kecamatan Singgahan yang sukses meraih gelar Doktor di Jepang.

Bupati Tuban, Pak fathul Huda yang hadir dan memberikan sambutan memaparkan tentang kondisi perekonomian Tuban yang membaik walau tidak dipungkiri di sana-sini masih banyak kekurangan-kekurangannya. Tingkat pengangguran di Kabupaten Tuban sendiri menurut Pak Huda hanya 3 %, sedang di level Nasional tingkat pengangguran Kabupaten Tuban masih di angka 5-6 %. Ini mengindikasikan bahwa pemerintah kabupaten masih harus terus berbenah untuk menekan angka pengangguran.

Senada seperti apa yang disampaikan oleh Bapak Bupati, Ir. Noor Nahar Husein, wakil Bupati Tuban juga mengatakan bahwa Tuban perekonomiannya membaik. Hal ini dapat dilihat dari prosentase pencari kerja di Kabupaten Tuban semakin meningkat tingkat pendidikannya. Jika tahun lalu pencari kerja kebanyakan lulusan SMA sekarang pencari kerja kebanyakan adalah lulusan S1. Tentu ada korelasi tingkat kemakmuran masyarakat dengan tingkat pendidikannya.

Dr. Ir. Suyoto Rais yang didapuk sebagai pemateri Simposium nasional banyak memberikan materi sambil dibumbui nostalgia dengan masa lalunya, maklum karena ia memang asli Tuban namun tidak mengurangi isi dari apa yang beliau sampaikan. Menurutnya sudah saatnya masyarakat memperhatikan potensi lokal daerah sebagai bekal untuk menghadapi persaingan global, karena alasan inilah beliau mendirikan Formasi-G sebagai forum bersama untuk memahami kondisi global dan mencari solusinya, yang nantinya akan membawa Indonesia dan Tuban tentunya untuk Go Global. Sekian. Joyojuwoto

Selasa, 16 Februari 2016

Islam dan Nasionalisme

Islam dan Nasionalisme

http://www.kompasiana.com/
Islam adalah agama purna yang diturunkan Allah untuk menjadi pedoman hidup bagi manusia, sebagai agama terakhir dan menyempurnakan ajaran-ajaran sebelumnya, hampir seluruh permasalahan pasti tercover di dalam ajaran Islam, baik itu bersifat qoth’i maupun ijtihadi. Tentu kita sebagai pemeluk agama Islam meyakini sudah tidak ada perkara yang terlewatkan dalam ajaran Islam baik itu yang menyangkut masalah ubudiyah, maupun yang menyangkut masalah-masalah sosial.

Beberapa waktu yang lalu saya sempat mencermati status di time line Ust. Felix Siauw mengenai masalah nasionalisme, beliau mengatakan “Membela nasionalisme, nggak ada dalilnya, nggak ada panduannya, membela Islam jelas pahalanya, jelas contoh teladannya.”

Dari pernyataan Ust. Felix di  atas mengisyaratkan bahwa ajaran Islam tidak mengenal paham nasionalisme, atau tidak memuat ajaran nasionalisme. Kalau kita mencari sumber dalil dari hadits atau Al-Qur’an yang berbunyi “Islam itu nasionalisme, atau mungkin dengan kalimat lain yang yang lebih ekstrim bahwa nasionalisme adalah salah satu rukun Islam atau rukun iman kita, tentu sampek tuwek sampek elek  ya kita tidak akan pernah menemukannya.
 
Ibarat ranah Islam adalah samudra luas dan kita lihat di atasnya saja, tentu kita tidak mendapati apa-apa dari ajaran Islam kecuali hanya air lautnya saja, atau kalau beruntung kita bisa melihat satu-dua ikannya. Dari apa yang kita lihat itu kemudian dengan enteng kita simpulkan oh, samudra itu hanya terdiri dari air saja ya, sejauh kita memandang ya hanya air itu. Kalau kita mau agak nyrempet-nyrempet  di batas garis laut di situ kita mendapati bid’ah pasir, ada bid’ah batu karang, dan bid’ah-bid’ah lainnya. Padahal kalau kita mau menceburkan diri secara kaffah di kedalaman samudra luas kita akan mendapati berbagai macam spesies ikan, berbagai macam terumbu karang dengan pesona keindahannya, berbagai macam kemilau mutiara dan masih banyak lagi khasanah persamuderaan yang luar biasa.

Itu gambaran saya mengenai Islam dengan segala aspek yang ada di dalamnya, ada orang yang memang hanya mampu melihat permukaannya saja, ada yang nyrempet-nyrempet bid’ah di pinggiran pantai bahkan ada yang totalitas menyelam ke dalam palung samudra yang paling dalam untuk mendapatkan mutiara yang tidak di dapati oleh orang yang hanya nyincing-nyincing tanggung saja.
Tentu gambaran saya tentang Islam tadi tidak harus benar dan tepat, namanya gambaran dan perumpamaan kan tidak wajib benar dan tepat. Saya hanya berupaya menganalogikan  Islam melalui angan-angan saya saja. lalu apakah memang dalam ajaran Islam tidak memuat paham nasionalis seperti yang difatwakan oleh Ust. Felix dalam khutbah twitternya ? jika ditanya hal yang demikian saya memang bukan pakarnya untuk menjawab. Tapi saya hanya ingin sedikit memberikan apa yang saya pahami tentang nasionalis. 

Dulu ketika Rosulullah SAW terusir dari kota kelahirannya Makkah, beliau tinggal di kota yang diberkahi  Madinah Al Munawwarah. Di kota ini beliau tidak hanya diimani sebagai seorang Rosul tapi beliau juga sebagai pemimpin politik negara Madinah. Ibaratnya Rosulullah dan kaum muhajirin sudah berada pada posisi yang nyaman. Ada pepatah yang mengatakan bahwa “Hujan batu di negeri sendiri lebih baik hujan emas di negeri orang” petah ini tentu tidak selamanya benar, namun setelah sekian lama orang-orang Muhajirin dan Rasulullah meninggalkan tanah kelahirannya tercinta, ada rindu terhadap kampung di mana mereka dilahirkan dan dibesarkan. Kecintaan Rasulullah SAW terhadap kota kelahirannya sangat jelas tergambar sebagaimana yang beliau sabdakan :
مَا اَطْيَبَكِ مِنْ بَلَدٍ وَاَحَبَّكِ اِليَّ, وَلَوْلَا اَنَّ قَوْمِىْ اَخْرَجُوْنِىْ مِنْكِ مَا سَكَنْتُ غَيْرَكِ
“Alangkah indah dan besarnya cintaku wahai kota Makkah. Jika tidak karena aku diusir oleh kaumku dari padamu pasti akan tak akan pilih menetap selainmu (Makkah).”

Hingga suatu ketika Rasulullah bermimpi seolah-olah beliau memasuki kota Makkah dan bertawaf di Ka’bah. Akhirnya pada setelah beliau menceritakan mimpi itu kepada para sahabatnya Rasulullah mengajak umat Islam untuk mengunjungi Makkah sambil menjalankan ibadah umrah pada bulan Dzul Qo’dah tahun ke-6 Hijriyah atau tahun 628 M. Ada sebanyak 1500 orang yang ikut dalam rombongan.

Dari hadits Nabi di atas jelas sekali Rosulullah mencintai negerinya dengan sepenuh cinta, bahkan jika beliau tidak diusir oleh kaumnya beliau tidak akan menetap kecuali di negerinya.

Selain itu dalam sebuah hadits lain ada keterangan Rosulullah pernah ditanya mengenai orang yang mempertahankan hak miliknya dari perampokan jika ia terbunuh karena usahanya untuk mempertahankan hak miliknya kemudian dia meninggal dunia maka tercatat sebagai seorang syahid.
Dari hadits-hadits di atas saya meyakini bahwa rasa nasionalis adalah bagian dari ajaran Islam dan itu syah menurut saya secara analogi maupun secara dalil qoth’i. Yang menjadi persoalan menurut saya tentang nasionalisme yang diharamkan dalam Islam adalah nasionalisme yang telah berubah rasa, warna, dan dzatnya. Ibarat legen itu halal, namun jika telah berubah menjadi toak maka hukumnya haram, ibarat beras itu halal, namun jika beras itu didapat dari mencuri maka hukum asalnya yang halal menjadi haram. Begitu juga dengan nasionalisme adalah sesuatu yang jelas kehalalannya, namun jika nasionalisme ini telah dipakai untuk ashobiyyah maka hukum asalnya yang halal menjadi batal dan berubah statusnya menjadi halal. Ini jelas dalilnya, Rosulullah bersabda :
لَيْسَ مِنَّا مَنْ دَعَى إلىَ عِصْبِيَّةِ ...(رواه أبو داود)
Artinya : “Bukan termasuk golongan kami orang-orang yang menyeru kepada fanatic kesukuan.”

Kata menyeru pada pada fanatik kesukuan tidaklah sama dengan nasionalisme itu sendiri, jadi gampanya seperti ini jika nasionalisme yang sebenarnya tujuan utamanya untuk merekatkan ukhuwwah islamiyah kok berubah dipakai untuk merusak ukhuwwah itu sendiri, maka nasionalisme hukumnya menjadi haram. Karena nasionalisme telah berubah dari kedudukannya sebagai perekat  umat menjadi senjata yang merusak persatuan umat Islam.


Jadi sekali lagi saya tegaskan jika kita mencari dalil Al Nasionalisme  ruknun min arkaanil Islam, atau Al nasionalisme imaaduddin ya tentu tidak ada, bahkan dalil Hubbul Wathon Minal Iman yang masyhur juga bukan sebuah hadits ataupun dalil A Qur’an. Itu hanya sekedar untaian hikmah agar umat Islam mencintai negeranya. Demikian uraian singkat saya mengenai nasionalisme dan Islam. 

Joyojuwoto
Bangilan, 15 februari 2016 

Senin, 15 Februari 2016

Penderas Legen

Penderas Legen

http://gallery.indonesiaimages.net/
Angin pegunungan Kendeng utara bertiup ribut, langit senja di perbukitan Banyulangse tampak muram, guntur di langit meledak-ledak bagai suara anak-anak bermain mercon di bulan ramadhan. Dengan agak tergopoh-gopoh seorang lelaki tua memanjat pohon siwalan di sebuah kebun di belakang perkampungan. Pohon itu sudah berusia puluhan tahun, besarnya serangkulan orang dewasa tinggi angkuh menantang langit, dahan-dahannya gemulai diterpa angin, menari-nari seperti lengan penari tayub yang luwes menggerakkan kain sampurnya.
Dengan sangat cekatan lelaki tua itu menaiki pohon yang akan diderasnya guna diambil airnya. Air derasan pohon siwalan bisa dibuat sebagai minuman tradisional yang lezat dan menyehatkan, masyarakat setempat menyebutnya legen. Menurut kepercayaan masyarakat yang turun temurun legen bisa digunakan obat untuk menyembuhkan sakit maag akut dan melancarkan buang air kecil, konon legen dapat menghancurkan endapan zat kapur di kandung kemih yang menjadi penyebab kencing batu.  Selain itu air derasan pohon siwalan juga bisa dibuat gula merah dan juga dapat dipakai untuk melancarkan ASI bagi ibu menyusui. Daunnya oleh masyarakat dibuat kupat, makanan berbentuk segi empat yang dibuat dari beras yang direbus. Biasanya kupat disajikan dengan kuah opor ayam dan dibuat pada saat-saat tertentu, seperti saat hari raya, saat upacara kupatan sapi dan lain sebagainya.
“Aku harus segera mengambil dan menurunkan bumbung-bumbung itu, sebelum air hujan memenuhi dan merusak hasil derasanku tadi pagi” gumam Mbah Kardi pada dirinya sendiri.
Dengan agak tergesa lelaki tua itu mengambil bumbung-bumbung bambu berisi air legen untuk dibawa turun. Satu dua bumbung diambilnya dan di talikan diikat pinggang sebelah kiri dan kanannya. Ia harus berlomba cepat dengan rintik hujan yang mulai menerpa daun, ranting, cabang, dan dahan pepohonan. Kaki tua yang keriput itu mulai  menuruni pohon bergantian kiri dan kanan, saat sampai di pertengahan pohon tiba-tiba kaki Mbah Kardi terpeleset.
Aaauhh... !!!
Tubuh Mbah Kardi melayang ke bawah dan brukk.... !!!  tubuh lelaki renta itu menghantam tanah, tak ada lenguhan karena ia langsung pingsan. Air legen yang dibawanya tumpah bercampur dengan rintik hujan yang semakin rapat. Senja semakin kelam dan beku, lengkung cakrawala barat mulai gelap dan aroma malam mulai mencekam.
Tetes-tetes air hujan membangunkan mbah Kardi dari pingsannya, ia menggeliat bergerak pelan. Mbah Kardi dengan tertatih memberesi bumbung-bumbungnya yang berserakan di tanah yang basah. Tidak ada sedikitpun air derasannya yang tersisa seluruhnya tumpah ke tanah.
Pagi yang sepi matahari tampak malas menebarkan pendar-pendar sinar keemasannya, dinginnya sisa-sisa hujan semalam masih terasa membuat penduduk kampung Banyulangse masih setia menunggui tungku di dapur rumahnya masing-masing. Mereka enggan keluar dari rumah untuk beraktifitas dan memilih menunggu matahari beranjak dari peraduannya menebar sinar pagi, menghangatkan suasana.
Sebuah gubuk kecil di pinggiran kampung di tepat berada di dekat sungai tampak masih gelap tiada sinar lampu yang menerangi, di gubuk itulah Mbah Kardi tinggal bersama istrinya yang juga sudah tua, Mbah Jinem.
“Doke, pagi ini kita tidak punya beras, nanti kalau jalanan sudah tidak becek saya ke grumbul di seberang sungai untuk mencari tales” Kata Mbah Kardi kepada istrinya yang dipanggilnya Doke, dari kata Mbah Wedok.
“Nange, apa kuat mencari tales, jalan saja tertatih-tatih begitu” jawab Mbah Jinem memanggil suaminya Nange, yang berasal dari kata Mbah Lanang.
“Lha gimana lagi Doke, pagi ini kita tidak bisa mendapatkan upah menderas dari juragan Samo, derasanku tumpah saat saya terjatuh tadi sore, bahkan kita punya tanggungan hutang dua bumbung kepada juragan Doke”
“Nanti saya tak ke hutan untuk mencari daun-daun jati Nange, semoga daun-daunnya tidak banyak dimakan ulat sehingga bisa dijual ke pasar, hasilnya nanti kita belikan beras”
Mbah Kardi dan mbah Jinem adalah pasangan renta yang mengandalkan hidupnya dari upah tetangganya yang minta tolong untuk di deraskan pohon siwalan, atau kadang Mbah Jinem yang mencari daun-daunan di hutan untuk dijual di pasar atau diminta oleh pedagang rengkek di kampungnya. Walau sudah renta pantang bagi pasangan itu untuk meminta-minta dan berharap belas kasihan orang lain, selagi ada tenaga mereka berdua tetap bekerja sebisanya.
Selama nafas masih di badan tentu Gusti Allah masih memberikan jatah rizki kepadanya, begitu keyakinan mbah Kardi. Baginya sesuap nasi bisa dinikmati bersama sang istri sudahlah cukup untuk ia syukuri,  pakaian  yang ia punya pun ibarat yang menempel di badan, namun tak mengapa semua sudah lebih dari cukup. Yang terpenting baginya ia mampu menghadirkan rasa cukup dan syukurnya kepada Tuhan. Hal-hal itulah yang sebenarnya terus menguatkan mbah Kardi dan Mbah Jinem untuk terus ada walaupun dalam ketiadaan.
Banyak tetangga-tetangganya yang menggunakan  tenaga dan keahlian mbah Kardi untuk memanjat siwalan, walau sudah beberapa kali mbah kardi jatuh dari pohon. Orang-orang menganggap mbah kardi adalah salah seorang pemilik ilmu bajing kliring, yaitu ilmu yang menjadikan si pemiliknya mahir memanjat seperti seekor bajing. Selain itu masyarakat juga beranggapan orang yang menguasai ilmu bajing kliring jika jatuh dari pohon akan segera pulih kesehatannya.
Mbah Kardi hanya diam saja dengan anggapan orang seperti itu, toh dia memang mahir memanjat, namun di usianya yang semakin renta otot dan tenaganya tidak lagi sekuat seperti masa mudanya dulu. Seharian bisa puluhan pohon yang dipanjatnya, namun sekarang ia hanya mampu memanjat dua hingga tiga pohon dalam sehari, sekedar untuk mendapatkan beras yang dapat ia makan bersama istrinya.
Bagaimana lagi, Mbah Kardi hanya memanjat itu yang menjadi andalannya untuk mencari rizki, dan anggapan masyarakat bahwa ia menguasai bajing kliring adalah hal yang membuatnya terus dipakai tetangganya untuk memanjat pohon, walau sudah beberapa kali ia jatuh hingga membuat tubuh rentanya semakin rapuh. Mbah Kardi  berusaha bertahan untuk terus memanjat, ia ingin seperti kebo mati ing rakitan, bukan kebo mati sakit-sakitan.
“Mbah, Mbah Kardi ! teriak salah satu tetangganya dari luar gubuk.
“Owh Den Narto, ada apa Den” jawab Mbah Kardi sambil keluar dari gubuknya
“Saya minta tolong Mbah Kardi menderas pohon siwalan di belakang rumah saya Mbah” timpal Narto yang dipanggil Den itu.
Narto  adalah salah satu penduduk kampung Banyulangse yang terkenal kaya-raya, sawah dan tegalnya berhektar-hektar, namun ia terkenal pelit,selain itu desas-desus tetangganya Narto punya pesugihan, konon ia sering menjadikan buruh-buruhnya sebagai tumbal dari kekayaannya.
“Iya Den, nanti saya kesana” jawab mbah Kardi mengiyakan permintaan Den Narto.
“Baiklah Mbah saya pulang dulu, nanti langsung ke belakang rumah saja, pohon siwalan di belakang rumah itu sudah saatnya di deras, namun sayang saya tidak mendapatkan orang yang mau memanjatnya” kata Den Narto.
Setelah kepulangan Den Narto Mbah Kardi menemui istrinya di belakang yang sedang merebus ubi talas yang diambil Mbak Kardi di grumbul seberang sungai, istrinya yang sudah sudah renta itu tampak dengan sabar menata nyala api agar tidak padam. Maklum musim penghujan kayu-kayu agak basah dan susah untuk dibakar dan dibuat perapian.
“Yut, saya pergi dulu, ada orang yang meminta saya untuk memanjat pohon siwalannya” kata Mbah Kardi sambil mendekati istrinya yang sedang meniup-niup tungku api. Asap dari dapur mengepul memenuhi ruangan dapur yang tidak begitu luas, kemudian asap itu mengangkasa hilang ditiup angin.
“Memangnya siapa sepagi ini menyuruhmu Nang ? tanya Mbah Jinem
“Itu Yut, tadi Den Narto ke sini” jawab Mbah Kardi
“Mengapa Nange kok mau disuruh memanjat pohon siwalannya Den Narto ? dia itu kan terkenal punya pesugihan, nanti kami dijadikan tumbalnya pesugihannya”
“Hehe...” mbah Kardi terkekeh, “lha siapa yang mau menjadikan saya tumbal toh Doke, setan prayangan ora doyan, demit ra ndulit, siapa makhluk mana juga yang doyan sama badan yang sudah bau tanah ini toh Doke” kelakar Mbah Kardi kepada istrinya.
“Iya, Iya, tapi tunggu ubi talesnya masak ya Nang ? ini sebentar lagi juga siap”
“Tidak usah Doke, saya berangkat sekarang, itung-itung nanti upah dari Den Narto bisa kita pakai untuk membayar hutang dua bumbung milik juragan Samo yang tumpah kemarin”
“Baiklah, nanti kalau sudah selesai segeralah pulang, Nange kan belum sarapan aku menunggumu di rumah” kata Mbah Jinem.
***
Di belakang rumah besar milik Den Narto terdapat puluhan pohon siwalan yang menjulang tinggi, pohon itu berderet-deret seperti tentara yang berbaris, daunnya melambai-lambai ditiup angin pagi yang sejuk dari arah pegunungan kapur di bukit Banyulangse. Sisa-sisa hujan semalam terhapuskan oleh dekapan hangat sinar  matahari pagi. Mbah Kardi telah bersiap memanjat salah satu pohon siwalan yang berada belakang rumah Den Narto.
Pagi itu Mbah Kardi sangat gembira, wajahnya cerah bercahaya ia memandang ke atas ke arah pohon-pohon siwalan yang siap untuk di deras. Lambaian pohon-pohon siwalan yang ditiup angin  itu seperti tersenyum dan menyapanya untuk segera naik keatas. Pohon-pohon siwalan itu seperti membisikinya “Ayo Mbah ! naik dan tenanglah engkau dalam dekapanku”
Mbah Kardi  tersenyum, ia segera menaiki pohon itu, tubuhnya ringan serasa kapas yang mengangkasa, nafasnya tak lagi terengah-engah, otot-otot kaki dan tangannya juga tidak terasa kaku, semuanya menjadi ringan, ia seperti sedang menaiki tangga tujuh bidadari surga. Mbah Kardi tak ingat lagi tugasnya untuk menderas pohon siwalan, ia terus naik ke atas. Di kiri dan kanannya  dilihatnya banyak kupu-kupu yang terbang mengikutinya langkah-langkahnya, makin lama makin banyak hingga kupu-kupu yang berwarna putih cerah itu berubah menjadi pendar cahaya dan cahaya itu hilang bersamaan dengan lenyapnya tubuh Mbah Kardi.
Pagi masih sepi, Mbah Jinem duduk di depan gubuknya dengan sebakul ubi talas yang mengepul di depannya, ia sedang menunggu suaminya pulang.

Bangilan,  14 Februari 2016
Joyojuwoto

Minggu, 14 Februari 2016

Bunyi-Bunyian NKRI Harga Mati

 Bunyi-Bunyian NKRI Harga Mati 

Banyak orang beranggapan dan mengatakan bahwa pergulatan idieologi di negara kita sudah selesai dan final sejak dihapuskannya tujuh kata dalam piagam Jakarta pada tanggal 18 Agustus 1945. Tokoh-tokoh bangsa yang membidani lahirnya negara ini telah consensus, mufakat  dan sepaham bahwa Pancasila adalah jawaban dari perseteruan panjang antara kaum agamis dan kaum nasionalis kala itu.

Banyak kalangan menganggap bahwa NKRI adalah harga mati yang sudah tidak dapat diutak-atik lagi, pakem, baku, padat dan beku. Mengingat kata harga mati saya jadi teringat apa yang disampaikan oleh Cak Nun, beliau mengatakan : “Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) kabarnya harga mati. Sebagai “harga mati” tentunya, seperti label harga barang di mall-mall, tidak bisa ditawar-tawar lagi. Padahal impian itu terus bergerak, pikiran terus mengembara, dan selalu membuka ruang “tawar-menawar” bagi terus bergeraknya suatu peradapan. Itulah realitas kesejarahan yang dialami siapa pun umat manusia, termasuk bangsa-bangsa yang terlahir di kepulauan Nusantara.”

Mengamini apa yang ditulis oleh Cak Nun bahwa kata harga mati itu tidak kreatif dan terkesan takut dengan perubahan, padahal di dunia ini tidak ada yang tidak berubah kecuali perubahan itu sendiri. Sudah menjadi sunnatullah bahwa apapun dan siapapun akan mengalami perubahan, tidak terkecuali sebuah ideologi.

Pancasila saja yang dianggap sebuah harga mati selalu mengalami perubahan mekanisme dan penafsiran yang berbeda-beda pada setiap generasi. Jaman Soekarno Pancasila ditafsirkan model demokrasi terpimpin, jaman Soeharto Pancasila ditafsirkan model pemerintahan yang dikenal dengan istilah orde baru, hingga jaman yang konon reformasi pun Pancasila punya format yang berbeda dengan model-model  sebelumnya.

Saya sama sekali bukan seorang yang anti NKRI, saya tetap mencintai tanah tumpah darah saya dengan segenap jiwa raga saya, karena saya menyadari darah saya, daging-daging saya, tulang-belulang saya tersusun dari tanah dan air bumi pertiwi ini. Namun saya hanya tidak ingin generasi sekarang hanya bisa lantang bersuara NKRI harga mati namun tidak paham substansinya. Mereka hanya menjadi korban jargon-jargon kosong yang dirangkum dalam kalimat NKRI harga mati.

Sebagai seorang muslim tak perlu kau ragukan kesetiaan saya kepada NKRI, umat-umat lain selain Islam juga tak perlu berprasangka yang tidak-tidak dengan umat Islam pada umumnya, sejarah telah berbicara dengan terang seterang matahari kemarau siang bahwa bangsa ini diperjuangkan oleh para santri dan ulamanya.

Tak perlu berteriak-teriak menjadi pahlawan kesiangan dengan modal NKRI harga mati. Bacalah realitas sejarah siapa itu Cut Nyak Dien, Cut Meutia, Tengku Umar, Teuku Cik Ditiro, Imam Bonjol, Sisingamaraja, Pangeran Diponegoro, Pangeran Antasari dan ratusan bahkan ribuan perjuangan para santri dan ulama yang tak tercover dalam buku-buku sejarah bangsa ini.

Umat Islam tidak perlu dibelajari tentang nasionalisme, tak perlu dikhutbahi tentang cinta tanah air, tentang kemanusiaan, karena umat Islam telah menciptakan satu kearifan lokal yang luar biasa yang yang dirangkum dalam kalimat “Cinta tanah air adalah sebagian dari Iman” ini memang bukan sebuah hadits namun sudah terbukti di manapun berada umat Islam adalah umat yang peduli dengan bangsanya, umat yang mencintai negerinya.

Tidak semua orang yang meneriakkan slogan NKRI harga mati adalah nasionalisme tulen, mereka kadang hanya ingin menuai keringat masyarakat dengan mengorbankan kepentingan bangsa ini, bahkan mereka sendiri yang menghancurkan benteng-benteng ketahanan bangsa. Lihatlah berapa banyak UU yang dihasilkan dari perselingkuhan yudikatif dengan para pemilik modal  dan para kapitalis asing.

Saya kira tidak perlu saya sebutkan satu persatu produk-produk UU yang sebenarnya adalah upaya neokolonialisme yang mencengkram bangsa ini. hampir 85 % SDA kita dikuasai asing, 72 % perbankan kita milik asing, 65 % hutan dan perkebunan kita juga milik asing. Di mana bumi kita pijak di situ hampir dipastikan ada perusahaan asing yang menguasai SDA kita atas nama investasi , atas nama kerjasama, atas nama pasar bebas, atas nama globalisasi dan atas nama atas nama lain-lainnya, walau kenyataannya SDA kita dihisap habis oleh korporasi. Rakyat sebagai pemilik sah negeri ini dipaksa menjadi kuli, dipaksa menjadi pengemis di negerinya sendiri.

Tulisan saya di sini hanya ingin menegaskan mari mencintai negeri Zamrud Katulistiwa ini dengan sepenuh hati bukan hanya sekedar NKRI harga mati namun hanya bunyi-bunyian tanpa arti. Kita tak perlu bilang seorang nasionalis sejati jika segala tindak-tanduk kita merugikan negara kita tak perlu bilang NKRI harga mati jika kita masih suka korupsi uang rakyat. Nasionalis sajati adalah dia yang dengan sepenuh jiwa berjuang untuk kemakmuran seluruh kepentingan bangsa dan negara bukan atas nama pribadi, kelompok, agama, partai dan lain sebagainya.

Di akhir tulisan saya ini, saya ingin memberikan pesan dan menegaskan khususnya kepada generasi muda penerus bangsa ini bahwa :
انّ في يدكم أمر الأمّة وفي أقدامكم حياتها
“Sesungguhnya di tangan kalianlah letak urusan bangsa ini dan pada derap langkah kaki kalian letak hidupnya bangsa”

Oleh karena itu wahai para pemuda mari sambutlah kembali seruan Bapak Proklamator kita, Bung Karno hidupkan gelegar semangatnya untuk menjadikan bangsa ini bangsa yang berdikari, bangsa yang kokoh berdiri diatas kakinya sendiri, karena kata Bung Karno : “Dengan berdikari...dengan berdikari saudara-saudara, maka lonceng kematian imperialisme berbunyi.” Ingat ! kita tidak sedang berada di bawah sinar bulan purnama, kita sedang berada di masa pancaroba, Vivere Pericoloso. Merdeka!!!.

Sabtu, 13 Februari 2016

Dalang Kentrung Terakhir

Dalang Kentrung Terakhir

*1Gending alit munggwing driji,
Ojo lali yen momong raga,
Ya Lailla Hailallah
Ya Muhammad Rasulallah
Lamun supe wiwitane,
Kaya ngapa mring gesange,
Ya Lailla Hailallah
Ya Muhammad Rasulallah
............................................
Suara serak-serak Mbah Rati terdengar lamat-lamat tersaput angin kemarau di pinggiran hutan jati, malam itu Mbah Rati sedang membaca mantra  gending wiwitan sambil duduk bersimpuh menghadap ke timur, seperti duduknya huruf Mim yang melambangkan kepasrahan mutlak kepada dzat yang Maha Kuasa. Mbah Rati dalam keheningan mulutnya komat-kamit membaca tembang pelebur sukma. Tembang yang berisi ajaran tentang Ngemong raga, tembang tentang Sangkan Paran. Ya setiap pertunjukan kentrung Mbah Rati selalu diawali dengan ritual khusu’ menghadap kearah kiblatnya kehidupan, arah timur, arah di mana segala bermula, arah di mana awal kehidupan diciptakan.
Pertunjukan kentrung bagi Mbah Rati adalah darma, kentrung bukan sekedar sebagai hiburan semata namun lebih dari itu ia menganggap kentrung adalah dzikirnya kepada Tuhan, kentrung adalah tugas suci dan pengabdian serta penghambaannya kepada Syang Hyang Gusti. Karena pada dasarnya manusia memang  dititahkan Tuhan untuk manembah kepada-Nya, sekaligus sebagai khalifatullah di muka bumi. “Hananira sejati wahananing Hyang” Adanya kita sebagai utusan dari Tuhan. Tidak heran jika di setiap pertunjukan kentrung Mbah Rati selalu dalam keadaan tidak berhadas, suci secara lahir dan suci secara batin. Begitu juga dengan para penabuh yang mengiringi pertunjukan kentrung.
Para penonton yang melingkari lapangan dusun tampak terbawa suasana, hening mendengarkan dengan seksama bait-bait tembang yang dibawakan oleh Mbah Ratri. Menghayati setiap kalimat yang meluncur dari seorang nenek yang sudah sangat sepuh itu, seakan mereka adalah para cucu yang sedang asyik mendengarkan sebuah dongeng yang indah. Dongeng pengantar tidur, tidur ke alam kelanggengan.
Malam itu adalah malam yang kesekian kalinya Mbah Ratri menggelar pertunjukan kentrung di lapangan dusunnya, pertunjukan yang digelar di akhir musim kemarau dalam rangka upacara bersih desa. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya biasanya Mbah Ratri memilih lakon yang menghibur banyak leluconnya dan atau membawakan kisah-kisah tentang percintaan yang melegenda semisal Sarahwulan-Jowarsah, namun kali iniMbah Ratri membawakan lakon tuo, lakon yang diambil dari Serat Dewaruci. Lakon tentang pencarian makna dan tentang hakekat kesejatian hidup.
Lakon Dewaruci adalah lakon Bima yang menjalankan perintah dari guru Dorna untuk mencari air pawitrasari, air kehidupan, atau maa’ul hayat. Lakon ini biasanya dibawakan sebagai wejangan tentang ilmu kasampurnan hidup.
***
Nduk besok jika tugasmu hampir purna dalam ngemong masyarakat lewat kentrung, jangan lupa bawakan lakon Serat Dewaruci” Dawuh Kyai Basiman kepada santrinya, Ratri yang duduk bersimpuh di depannya.
“Iya Kyai, pesan ini akan saya ingat selalu” Jawab Ratri sambil tetap menunduk dihadapan gurunya itu.
“Ingat Nduk !  kentrung tidak hanya sekedar hiburan semata, namun kentrung adalah jalanmu, jalan yang akan mengantarkanmu hingga nanti engkau sampai pada jalan kasampurnan hidup” Kyai Basiman melanjutkan wejangannya.
Ratri hanya diam, dia adalah satu-satunya santri Kyai Basiman yang mendapatkan amanah untuk melanjutkan tradisi kentrung, sesuatu yang aneh memang, biasanya santri ditunjuk oleh Kyainya untuk mengajar mengaji di langgar-langgar jika telah selesai masa nyantrinya, namun ini beda, Ratri harus mendalang kentrung, sebuah tugas yang tidak mudah tentunya, menjadi dalang kentrung berarti menjadi semisal bocah angon, anak gembala, yang menggembalakan nafsu-nafsu hewani manusia agar tidak tidak lepas kendali menerjang paugeran Tuhan. Disetiap pertunjukan Ratri akan berperan sebagai dalang yang akan memberikan wejangan hidup lewat hiburan kentrung.
Peran dalang kentrung telah dilakukan dengan baik oleh Mbah Ratri sesuai dengan amanah Kyai Basiman, telah puluhan tahun Ratri masuk kampung keluar kampung mengajarkan makna hidup dalam bait-bait tembang kentrung, hingga sampai masanya ia harus menyempurnakan tugasnya memberikan wejangan purna pada masyarakat.
***
*2Tirta nirmala wisesaning urip
Wus kawengku aji kang sampurna
Pinunjul ing jagad kabeh
Kauban bapa biyung
Mulya saking sira mak mami
Leluwihing triloka
Langgeng ananipun
Arya Sena matur nembah
Inggih pundi prenahe kang toya ening
Ulun mugi tedahana
......

Mbah Ratri dengan khusu’ menembangkan syair-syair  dalam serat Dewaruci, seakan beliau sendiri yang sedang berjuang keras untuk memperoleh air kesucian itu agar dapat dipakai untuk membasuh badan jasmani dan ruhaninya guna bertemu dengan yang Dzat Yang Maha Suci. Sebagaimana Bima Sena yang melabrak pekatnya hutan Tribrasara, mendaki puncak gunung Gandamuka, melawan dua raksasa bersaudara Rukmuka dan Rukmakala, serta mengaduk-aduk luasnya samudra yang tak terkira. Hanya untuk mendapatkan tirta pawitrasari atau air kesucian itu.

Bait demi bait dalam serat Dewaruci telah ditembangkan oleh Mbah Ratri, malam semakin gelap dan sunyi, hanya desau angin yang perlahan menggerakkan nyala obor yang mengelilingi lapangan desa, nyala itu bagai tarian spiritual para sufi yang mabuk Ketuhanan. Para penonton tidak ada yang beranjak dari tempat duduknya, mereka menyimak tentang apa yang disampaikan oleh Mbah Ratri. Pertunjukan kentrung yang biasanya ramai oleh sorakan penonton karena banyolan maupun kisah-kisah percintaan yang menggembirakan kini tampak seperti sanggar pawejangan para cantrik di padepokan-padepokan suci para brahmana.

Mbah Ratri tampak semangat sekali memainkan kendangnya, sedang dua orang penabuhnya juga terbawa permainan Mbah Ratri, seperti sebuah majelis sufi  yang memainkan musiknya Mbah Ratri tampak menghayati benar permainannya malam ini, seperti Ar Rumi yang merasakan asma-asma Tuhan dalam setiap denting musik yang didengarnya, hingga ia mengalami ekstase yang luar biasa.

Tepat tengah malam pertunjukan kentrung Mbah Rati purna, para penonton tampak puas menikmati hidangan ruhani dalam nampan-nampan tembang Dewaruci. Mereka pun bubar meninggalkan keheningan di lapangan. Tinggal nyala obor yang semakin redup bergerak pelan mengikuti tiupan angin malam.

“Kang Mbah Ratri tadi seperti orang kesurupan saja ya dalam memainkan kentrungnya” kata Trimo kepada Bejo sahabatnya sambil mereka berdua berjalan meninggalkan area lapangan.

“Iya tidak seperti biasanya beliau begitu, kenapa ya kang ? jawab Bejo sambil melontarkan pertanyaan kepada Trimo.

“Denger-denger sih Kang kata kakekku dulu jika dalang kentrung telah membawakan lakon Serat Dewaruci itu pertanda tugasnya telah berakhir” balas Trimo

“Berakhir bagaimana maksudnya Kang ?

“Saya sendiri juga tidak begitu paham, kata kakekku ada dua kemungkinan, ia akan berhenti menjadi dalang kentrung atau bahkan mungkin ia akan meninggalkan dunia ini karena tugasnya telah selesai.  Ah sudahlah ayo kita segera pulang.” Jawab Trimo mengakhiri obrolannya.

Pagi itu di dusun Mbah Rati terasa sepi,  angin kemarau seakan diam bersemayam dalam keheningan Shubuh, semburat merah cakrawala timur pun tampak pucat, suara ayam yang berkokok seperti suara terompet tahun baru yang kesiangan. Sebuah rumah sederhana dipinggiran desa dekat ladang jagung menghadap ke arah selatan masih tampak tertutup rapat, tidak seperti biasanya. Seakan alam berhenti menggeliat diam dalam pelukan Tuhan. Sepi dan sunyi.

Bangilan, 13/2/2016

Catatan :
*1 Gending pembuka dalam pertunjukan kentrung.
*2 Serat Dewaruci Vol : 11