Gerhana di Bukit
Cinta
Selalu ada hal istimewa yang dilakukan
untuk menandai suatu peristiwa yang luar biasa dalam lingkaran kehidupan
masyarakat atau hal-hal yang dianggap bersejarah agar menjadi sebuah momentum
yang menjadi kenangan. Kemarin tanggal 9
Maret 2016 terjadi peristiwa Gerhana Matahari Total (GMT) di beberapa wilayah
di Indonesia, seperti di Palu, Pontianak, Bali, dan sebagian wilayah di
Sumatera. Sedang untuk wilayah-wilayah lain di Indonesia hanya bisa menikmati
terjadinya Gerhana Matahari Sebagian (GMS).
Berbagai ragam cara dilakukan
masyarakat untuk menikmati dan mengenang fenomena astronomis itu. Mulai dari
hal-hal yang bersifat hiburan, ritual kepercayaan hingga yang relegius. Ada yang
berbondong-bondong berkumpul bersama komunitas untuk menikmati sensasi gerhana,
ada yang mengadakan festival gerhana dengan akar kebudayaan masing-masing
daerah, dan tentu tidak ketinggalan umat Islam di berbagai daerah melaksanakan
sholat gerhana ( sholat sunnah Kusuf) sebagaimana yang anjurkan oleh Nabi Muhammad
SAW. Semua perayaan dan ritual itu
menjadi khasanah dan dinamika kebudayaan yang cukup menghibur masyarakat.
Saya pun tak mau ketinggalan
untuk melihat, merasakan, menikmati dan mengabadikan sensasi gerhana matahari
walau di tempatku bukan gerhana total. Gerhana matahari memang sebenarnya
bukanlah hal yang istimewa, karena peristiwa ini pernah terjadi dan tentu akan terjadi
berulang kembali sesuai dengan waktu dan perhitungannya. Namun setidaknya
peristiwa gerhana matahari tahun ini menjadi hal yang cukup bermakna bagi saya.
Pagi setelah melaksanakan sholat
gerhana di Pesantren ASSALAM Bangilan Tuban, saya ada agenda pertemuan para
pesilat di Bukit Cinta Sekar Bojonegoro. Sebuah tempat yang fenomenal karena
berita dan citra dari media sosial. Letaknya cukup jauh dari kediaman saya,
sekitar 70 KM. Dari Bangilan saya mengambil rute tanjakan Banyuurip Kec. Senori,
lewat jembatan Malo, masuk Kec. Kalitidu, Ngasem, terus naik ke selatan hingga
sampai di Deling kemudian naik ke lokasi Bukit Cinta Atas Angin.
Perjalanan relatif lancar
walau agak lambat karena terhambat
kondisi jalan yang rusak akibat gerusan air hujan, khususnya di wilayah sumber
minyak Banyuurip ke selatan. Saya kurang tahu jalan itu menjadi tanggung jawab
pemerintah Kab. Bojonegoro, Pertamina, atau bahkan masyarakat setempat. Yang
pasti wilayah itu adalah kantong-kantong penghasil minyak yang cukup lama
beroperasi. Untuk jalan Malo kemudian Kalitidu hingga Ngasem juga banyak
aspalnya yang mengelupas. Musim hujan bena-benar membawa kerusakan bagi
jalan-jalan. Namun kayaknya Pemkab Bojonegoro tanggap, sepanjang jalan itu
diperbaiki dengan serius. Buktinya pengaspalan jalan diberi rangkaian besi yang
kemudian dicor, bukan tambal sulam seperti biasanya yang saya lihat.
Untuk rute Ngasem ke Selatan
hingga Deling jalannya juga sudah beraspal dan sebagian di paving. Namun
lubang-lubang jalan masih cukup banyak. Jika kita mengendarai sepeda motor off
road jalannya sangat cocok dan menantang, namun kalau kendaraan normal ya kita
perlu sedikit bersabar untuk sampai ke lokasi. Karena selain medannya yang
menanjak juga kondisi jalan yang memang perlu untuk segera diperbaiki.
Bagi saya pribadi rute jalan seperti apa tidak menjadi masalah
dan justru sangat mengasyikkan, namun jika Pemkab Bojonegoro ingin serius
menggarap sektor pariwisata di wilayah paling selatan Bojonegoro itu perlu
banyak hal yang harus dibenahi. Mulai akses jalannya hingga di lanskap lokasi
yang akan dijadikan sebagai objek wisata.
Saya melihat Kec. Sekar memiliki
potensi itu dengan catatan Pemkab atau pihak yang terkait betul-betul
menyiapkan apa yang menjadi harapan masyarakat. Saya sendiri sudah banyak
mendengar tentang keindahan dan keeksotisan Sekar Bumi Atas Angin dengan Bukit
Cintanya. Namun baru kemarin sempat menjamahnya sendiri secara langsung. Banyak
foto-foto yang diunggah di media massa, facebook khususnya yang mencitrakan
dari balik lensa tentang Bukit Cinta dengan segala panoramanya.
Keunggulan dan kekurangan dari
Bukit Cinta saya kira tak perlu saya ceritakan di sini, karena masing-masing
tempat tentu memiliki potensi keduanya. Cuma satu yang menjadi catatan saya, di
sekitar lokasi wisata Bukit Cinta saya kesulitan untuk mengekspresikan cinta
saya kepada Tuhan. Walau akhirnya saya tertolong dengan adanya warung yang ketepatan
saat itu tidak buka, saya menggunakan lesehan dari bambu-bambu di warung itu
untuk sekedar memenuhi panggilan-Nya.
Selain karena alam adalah
anugerah Tuhan yang patut untuk kita nikmati dan kita syukuri bersama, kunjungan
Saya kemarin ke Bukit Cinta saat gerhana menjadi hal yang menarik bagi saya.
Saat momentum Gerhana Matahari di Bukit Cinta akan menjadi saksi keabadikan
derai-derai cinta dari Atas Angin buat
seluruh pesilat antar perguruan di bumi Angkling Darmo. Adalah KPSB (Komunitas
Pencak Silat Bojonegoro) beserta seluruh anggotanya mengadakan kegiatan Touring
Wisata dalam rangka mengumandangkan dan mengibarkan bendera cinta serta mengobarkan
cahaya cinta dari puncak Bukit Cinta Atas Angin. Tujuan kegiatan ini
sebagaimana yang disampaikan oleh koordinator kegiatan Didik Riyanto di
suarabojonegoro.com dimaksudkan agar lebih mengenalkan sebuah kebersamaan antar
para pesilat dari berbagai perguruan di Bojonegoro.
Hal lain yang mendorong saya untuk
mengunjungi Bukit Cinta tidak lain karena saya juga pengin berdiri dan bersefie
ria di puncak Bukit Cinta Atas Angin. Tentu tidak ada kebahagiaan di dunia ini
setelah cinta kepada Tuhan selain bisa berdiri tegak di atas landasan cinta.
Cinta kepada apapun juga akan menghadirkan keindahan. Baik itu cinta kepada
alam, cinta kepada hewan, lebih-lebih cinta kepada manusia dan kemanusiaannya.
Ya karena Bukit Cinta dan potensi cintanya saya jauh-jauh datang dari Bangilan
Tuban ke Atas Angin. Sekian. Joyojuwoto
Sekar Bukit Cinta, 09 Maret
2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar