Senin, 12 September 2016

Di Persimpangan Jalan

Di Persimpangan Jalan

Ilustrasi : google
Tiit..tit...tiiit... mbrem, mbreem...macetnya kendaraan, bau asap knalpot yang membuat perut mual, dan bising serta kerasnya jalanan menjadi ladang penghasilan bagi Sholeh untuk menangguk beberapa lembar rupiah guna mencukupi kebutuhannya sehari-hari, Ia hidup dengan emaknya yang telah berusia udzur di rumah, tepatnya di sebuah gubuk kecil di sudut gang perkampungan. Tiap pagi Sholeh harus berdesak-desakan mengatur laju kendaraan dipersimpangan jalan. Dengan berbekal peluit dan keahliannya melambai-lambaikan kedua tangannya Sholeh berusaha mengurai kemacetan.

Sholeh  berangkat dulu ya Mak” seru Sholeh pamit kepada emaknya sambil mencium tangan yang keriput yang  berbaring lemah di dipan kusam.

Di rumah emaknya akan selalu setia menunggu kedatangannya, ya... menunggu sarapan pagi yang diperoleh Sholeh dari warung Yu Marni di tempat ia menjalani profesinya. Maklum emak Sholeh sudah sangat tua, untuk berjalan ia harus di dukung, makan pun demikian. Sholeh dengan sabar akan menyuapi orang tuanya yang hanya tinggal satu itu. Ayahnya telah lama meninggal dunia ketika ia masih kecil, dan sekarang diumurnya yang ke 15, ia merawat emaknya seorang diri.

“Hati-hati di jalan ya nak”  begitu pesan emaknya serak, lirih dan nyaris tidak kedengaran. Namun Sholeh tahu itu, karena memang selalu pesan itu yang diucapkan emaknya ketika ia pergi keluar rumah.

Kendaraan berlalu lalang memenuhi jalan raya, makin hari bukannya makin berkurang tapi justru terus bertambah, sedang jalan tentu tidak bertambah lebarnya. Pagi itu Sholeh sudah berada di persimpangan jalan. Banyak kendaraan berlalu-lalang yang harus diaturnya bergantian untuk berbelok arah, maupun untuk menyeberang. Sholeh memang bukan petugas kepolisian yang mengatur lalu-lintas, ia bersama seorang kawannya Bang Shomad menjadi tenaga sukarela mengatur kendaraan di jalan raya. Bang Shomad lelaki berusia 60 an itulah yang dulu mengajak dan menawarinya untuk terjun di jalan raya.

Kiri-kiri...ayo terus” teriak Sholeh yang suaranya agak parau, sesekali peliut di tangannya ia tiup sambil melambai-lambaikan tangan atau menyetop kendaraan. Dari pekerjaannya itu Sholeh kadang diberi uang lima ratus perak atau kadang selembar uang seribu dari pengemudi yang baik hati. Dari kaca mobil yang dibuka oleh pengemudi itulah yang menjadi jendela rezekinya. Walau bermandi peluh dan didera rasa haus dan lapar sholeh terus menjalankan aksinya, karena memang ia belum sarapan pagi. Menunggu mendapat uluran uang ribuan sholeh baru berhenti untuk sekedar mengisi perutnya yang keroncongan dengan sebungkus nasi kucing  di warungnya Yu Marni yang berada di tepi jalan raya.

Jika Sholeh berhenti untuk sarapan maka gantian Bang Shomad yang tadinya duduk-duduk sambil menikmati kreteknya di sebuah lincak milik Yu Marni itu terjun ke jalan raya untuk menata arus lalu lintas. Tiga insan itu memang saling melengkapi, Yu Marni mengais rezeki dengan membuka warung, sedang Sholeh serta Bang Shomad menjadikan warung itu sebagai pangkalannya. Jika mereka haus dan lapar dari warung itulah mereka menyantap makanan. Kadang-kadang jika kondisi sepi, Yu Marni pun tidak segan-segan mempersilahkan Sholeh dan Bang Shomad untuk ngutang.

“Bagaimana kabar emaknya Sol ? tanya Yu Marni sambil membuatkan teh untuk Sholeh yang sedang lahap menyantap nasi kucingnya.

 “Ya begitulah Yu, emak hanya bisa berbaring di rumah” jawab Sholeh sambil terus menikmati sarapannya.

“Owh...walau begitu kau harus terus merawatnya Sol, jangan kau sia-siakan emakmu itu” lanjut Yu Marni menasehati.

“Tentu Yu, siapa lagi yang merawatnya kalau bukan saya, satu-saatunya anaknya. Owh ya Yu nanti saya dibungkuskan nasi sayur lodeh untuk sarapan emak ya, pasti beliau suka, tadi malam emak bilang minta sayur lodehnya Yu Marni”

“Tapi ya itu Yu...saya ngutang dulu”

“Iya Sol, gak papa...nanti tak bungkuskan, itu sana Bang Shomad kayaknya sudah kelelahan, kamu gantiin dia, biar dia minum-minum dulu...kasihan”

Sholeh pun beranjak meninggalkan tepat duduknya, ia menyeberang ke tengah jalan raya untuk menggantikan Bang Shomad yang memang sudah tampak kelelahan.

“Bang Sono minum dulu...saya gantiin” teriak shomad di tengah deru kendaraan yang berlalu-lalang.

Bang Shomad pun menepi, Sholeh kembali beraksi melambaikan tangannya, sesekali peliut di mulutnya ia tiup nyaring. 

Kiri-kiri...ayo terus” teriak Sholeh dengan suaranya yang parau, di tengah kesibukannya mengatur lalu-lintas, tiba-tiba mobil patroli Polisi dari arah belakang Sholeh mendekat, Bang Shomad yang duduk di lincaknya Yu Marni berteriak sambil berlari ke dalam gang perkampungan.

“Sholll...awas Polisi !!! larii...” teriaknya

Namun na’as bagi Sholeh, ia tidak sempat lari walau Bang Shomad sempat meneriakinya, dua orang Polisi yang duduk di bangku mobil bak terbuka itu segera bergerak meloncat dengan gesit untuk menangkapnya.

“Lepas..lepaskan Pak...saya tidak berbuat salah” teriak Sholeh sambil berusaha melepaskan tangannya dari jerataan borgol dua polisi yang menyergapnya.

Sholeh meronta, namun sia-sia. Tenaga nasi kucingnya tak mampu menandingi kekekaran otot-otot polisi yang tentu lebih bergizi dari sekedar nasinya Yu Marni. Karena terus berusaha meronta, dengan sigap polisi memukul tengkuk Sholeh.


Kepala Sholeh terasa pusing, deru kendaraan masih saja bising terdengar, begitu pula dengan bau asap knalpot membuat perutnya mual. Bayang-bayang emaknya yang masih tertidur di dipan dan belum sarapan samar-samar memenuhi kepalanya, ia ingat bungkusan nasi lodeh di Yu Marni. Namun tiba-tiba semuanya menjadi gelap.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar