Jumat, 23 September 2016

Dijodohkan Tuhan

Dijodohkan Tuhan

Dijodohkan Tuhan

Umurku saat itu telah menginjak usia dua puluh enam tahun, tepat setahun sesudah Rasulullah melangsungkan akad nikahnya dengan sayyidah Khadijah binti Khuwailid. Namun sayang salah satu sunnah dari beliau untuk menikah di usia yang ke 25 tak terpenuhi olehku. Padahal ini adalah sunnah yang katanya paling enak dan mudah untuk dikerjakan. Sunnah menikah ini banyak dikhutbahkan oleh para muballigh khususnya di bulan Besar, saat musim pengantin.

Dalam ajaran Islam tidak ada kerahiban, menikahlah kalau ingin diaku sebagai umatnya kanjeng Nabi, jika kau miskin menikahlah maka kamu akan kaya, dan masih banyak lagi kalimat-kalimat yang berbau sugestif diucapkan oleh sang penceramah.

Kegalauan diriku mencapai puncak Himalaya, walau aku sendiri tidak pernah tahu di mana puncaknya, kerisauanku mencapai tingkat dewa walau aku juga belum pernah sekalipun bertemu dengan dewa. Mau menikah dengan siapa? setelah menikah kerja apa? adakah orang tua yang mau dan mempercayakan anak perempuannya bersanding dengan pemuda tanpa penghasilan? dan masih banyak lagi tanda tanya-tanda tanya yang harus aku buat di akhir kalimat,  pertanyaan-pertanyaan yang tiada habisnya.

Memang   saat itu diriku sudah mengajar di sebuah sekolah swasta di lingkungan pesantren, tapi posisi itu tidak punya daya tawar sama sekali. Mengajar di pesantren saat itu bukanlah sebuah pekerjaan yang menjanjikan materi. Sebagai guru pengabdian, seorang guru hanya mendapatkan gaji atau bisyarah sekedarnya saja, asal cukup dipakai beli jajan, sabun dan es jikalau kehausan.

Aku pun tidak pernah berfikir lebih daripada itu. Ketika usia semakin dewasa, mau tidak mau diriku harus berfikir tentang masa depan, tentang calon istri, tentang rumah, tentang anak-anak dan seabrek tentang yang tiada habisnya.

Aku adalah sulung dari dua orang bersaudara, adik saya laki-laki sudah terlebih dahulu menikah. Dalam adat Jawa jika ada seorang kakak dilangkahi adiknya menikah, maka sang kakak harus dibuang di pluruhan (tempat pembuangan sampah). Ah...sungguh mengenaskan bukan, menjadi kakak bukanlah pilihan, belum menikah pun juga bukan keinginanku, namun nyatanya diriku harus kena kutuk dibuang di pluruhan tadi. Walau tentu pembuangan ini adalah simbolis semata. Baju yang biasa kupakai dibuang, kemudian diganti dengan hadiah satu stel baju baru dari adik, ya begitulah adat berbicara dengan cara yang tidak dimengerti dan kadang menyakitkan, walau diriku sama sekali tidak sakit hati ataupun jengkel.

Di tengah kegalauan itu, suatu saat ketika diriku sedang duduk-duduk di serambi masjid pesantren sesudah shalat jama’ah Asar, tak disangka ketemu dengan seorang wali santri dari Cepu Blora. Entah mengapa dan darimana kami berbincang dan saling bercerita. Dari obrolan ngalor-ngidul itu akhirnya nyrempet-nyrempet masalah nikah.

Dengan agak tersipu aku meminta do’a restunyanya agar dapat segera mendapatkan jodoh. Karena memang saat itu sudah ada keinginan untuk menikah. Selain itu tentu juga faktor umur yang kayaknya juga sudah tepat dan cukup matang dalam membina sebuah rumah tangga.

Gayung pun bersambut, walau si wali santri tadi punya anak perempuan yang di pondokkan di pesantren bukan berarti aku ke-GRan akan diambil menantu dan dijodohkan dengan anaknya. Beliau kemudian memberikan amalan yang konon katanya sangat manjur bin mujarab. Dan aku pun dengan senang hati mendengarkan petuah dan nasehatnya.

“Begini mas, jika kamu pengin segera menikah, maka kamu harus diruwat” begitu kata pak wali santri mulai membuka dengan tanpa tedeng aling-aling ilmu rahasianya.

Diruwat bagaimana pak” tanyaku agak penasaran

“Carilah pisang jenis Raja kemudian ambillah di tandanan pisang yang pertama, atau istilahnya yang tadah hujan, kemudian mintalah ibumu untuk menyisiri rambutmu dengan sesisir pisang Raja” lanjut pak wali santri meneruskan wejangannya.

“Apa cukup itu saja pak” tanyaku semakin penasaran dan tidak sabaran.
Jika untuk menikah hanya bermodal sesisir atau bahkan setandan pisang Raja, tak begitu sulit pikirku, ah...kenapa tidak dari dulu saja ilmu ini aku ketahui. Kalaupun tidak mampu beli pisang, di rumah pun bapak emak punya, jangankan hanya satu tandan satu kebun pun punya batinku.

“Ada lagi mas, kamu harus mengamalkan wiridan surat Yasin ayat yang ke-36, kamu baca sebanyak-banyaknya sesudah shalat fardhu” begitu pak wali santri memaparkan resepnya untuk mendapatkan jodoh.

“Aku pun mengingat-ingat surat andalan itu, tidak mungkin santri tidak hafal surat Yasin yang ke-36, dengan agak pede kubaca surat itu dalam hati, ah surat itu toh ternyata. Gumamku.

“Baik pak, sangat faham dan minta do’anya semoga amalanku nantinya maqbul diterima oleh Allah swt. dan segera dipertemukan dengan sang jodoh.”

Obrolan itu pun akhirnya selesai dengan turunnya ijazah ajaib itu, karena waktu sudah sore bapak wali santri tadi pamit untuk pulang. Kami pun bersalaman. Suasana menjadi sepi, aku sendiri diam dan merenung di serambi masjid pesantren.

Pikiranku kemana-mana, berfikir dan menebak-nebak nama siapa yang akan kubawa ke hadapan Tuhan untuk kujadikan istri. Hingga tak terasa bedug magrib pun bertalu, suara muadzin dari toa masjid membuyarkan lamunanku.

Hari-hariku pun terus berlalu, setiap usai shalat tak lupa diriku menghadap Tuhan sambil memuji-Nya, mensucikan-Nya, serta mengagungkan asma-asma-Nya. Tidak lupa bacaan-bacaan shalawat kuhaturkan untuk kekasih-Nya yang mulia, Muhammad Rasulullah Saw.

Menurut yang aku dengar dari guru-guruku do’a itu harus didahului dengan shalawat, karena shalawat diibaratkan perangko dalam mengirimkan surat. Tanpa itu do’a kita sukar untuk diterima, atau bahkan sia-sia. Setelah ritual pujian dan shalawatan baru kemudian dengan membaca ijazah Yasinan ayat yang ke-36.

 “Subhaanal lazdii khalaqal azwaaja kullahaa mimmaa tumbitul ardu wa min anfusihim wa mimmaa laa ya’lamuuna” terus saja do’a-do’a itu kulantunkan, batinku seakan sedang melayang ke langit sap pitu untuk ketemu Tuhan dan meminta berkah serta anugerah-Nya.

Untuk menajamkan do’a-do’a permintaan agar segera menemukan jodoh, Aku pun melakukan tirakatan, tidak tanggung-tanggung puasa sunnah terbaik kupakai yaitu puasanya Nabi Dawud. Sehari puasa sehari berbuka.

Aku betul-betul sedang membersihkan ruangan batinku sehingga Tuhan berkenan hadir atau setidaknya singgah walau mungkin hanya sebentar, ya sebentar saja sambil mengucapkan sabda “Kun-Nya”. Jika batin kotor dan gelap mana mungkin Tuhan akan menyinggahi lorong-lorong batinku.

Di tengah menjalankan tirakatan dan ritual membaca ijazah Yasinan, rencana demi rencana berkelebat di kepala, diantaranya adalah nanti akan kubuatkan sebuah proposal cinta, ya sebuah proposal yang akan kukirimkan kepada gadis yang nantinya akan kuketuk pintu hatinya.

Sepertinya konyol, tapi ya begitulah namanya usaha, mungkin seperti seorang pengangguran akut yang sedang sibuk mengirimkan proposal kerjanya ke berbagai perusahaan-perusahaan. Diterima atau ditolak bukan urusan, yang terpenting maju dulu, dan berani dulu. Urusan lain biar belakangan saja.

Selang satu bulan tanda-tanda Tuhan akan menurunkan pertolongannya belum juga kelihatan. Hari-hari masih gelap, tapi rasa galau dan risau serta kecemasan-kecemasan tidak mendapatkan jodoh serta tidak mendapatkan tulang rusuk sudah mulai hilang. Bahkan diriku sudah tidak fokus lagi untuk itu.

Sujud demi sujud, munajat demi munajat menjadi semacam kerinduan yang tak terkirakan. Bercakap-cakap mesra dengan-Nya adalah kebahagiaan yang tiada bandingnya. Ada rasa ketentraman dan kedamaian yang tidak dapat digambarkan.

Semakin hari semakin ku merindukan saat-saat shalat dan bermunajat, ketika menjalankan shalat, seakan-akan tubuh batinku mengangkasa menaiki tangga-tangga cahaya menuju ke sidratil muntaha. Benar dawuhnya Kanjeng Nabi “Asshalaatu mi’raajul mu’min” shalat adalah mi’rajnya orang yang beriman, ya pengalaman batin yang luar biasa.

Ah jadi teringat kisah Nabi Idris yang tidak mau kembali ke dunia gara-gara ia mengambil sepatunya yang tertinggal di surga, atau ingat Nabi Ilyas yang juga ditangguhkan kematiannya karena ia tidak ingin kehilangan kenikmatan berdzikir kepada Tuhannya.

Lalu mengapa Nabi Muhammad yang sudah diundang langsung oleh Tuhan di sidratil muntaha masih mau kembali ke dunia untuk menjalani segala kehidupan di dunia serta kodrat kemanusiaannya ? rahasianya Nabi Muhammad sangat sayang dan cinta kepada kaumnya. Tak mungkin beliau meninggalkan kaumnya demi kebahagiannya sendiri. Nabi Muhammad adalah pecinta sejati, namun kadang kita menyakiti perasaannya.

Jika kenikmatan-kenikmatan dalam shalat itu telah dapat direngkuh, rasa-rasanya enggan untuk mengakhiri shalat, ingin diri ini di posisi itu selalu, tepatnya saat merendahkan kepala serendah-rendahnya larut dalam bersujud.

Dunia di hadapanku seakan hanya sebesar kerikil saja, mudah rasanya untuk menggegamnya, atau menelannya sekaligus. Tidak ada yang penting di dunia jika Tuhan dan Nur Muhammad berada di dalam dada. Mungkin ini yang dirasakan Kresna ketika ia bertiwikrama menjadi raksasa besar sebagai penjelmaan dari Sang Wisnu.

Makin hari cahaya ketuhanan semakin melingkupi, bahkan diriku sudah hampir lupa tentang jodoh, tentang proposal cinta, tentang sesisir pisang raja, atau tentang masa depan, tentang keturunan, serta tentang keduniaan-keduniaan. Atau bahkan tidak kufikirkan lagi apakah kaki ini masih menapak bumi atau sudah naik satu senti dari tanah.

Mungkin inilah yang dirasakan Rabi’ah Al Adawiyah sehingga ia tetap menjadi perawan suci hingga Tuhan sendiri yang menjemput cintanya dalam mahligai suci. Maha Suci Tuhan yang telah merengkuh hamba-hamba-Nya ke dalam pelukan-Nya.

Setelah sekitar tiga bulan dimabuk ketuhanan, akhirnya terjadi sebuah peristiwa yang menarik perhatianku dari pelukan-Nya. Bukan, tertarik terbuang namun lebih pada pengalihan perhatian saja. Tuhan melalui garis-garis takdir-Nya mengirimkan berita gembira. Saat itu ada dua mahasiswi dari sebuah perguruan tinggi negeri yang sedang penelitian untuk skripsinya. Salah satunya rumahnya dekat dengan pesantrenku. Sebenarnya saat itu pun tidak ada yang istimewa, biasa saja dan semua berjalan prosedural dan administratif. Begitulah dalam hal yang biasa kadang tersimpan sesuatu yang luar biasa.

Dari diantara dua mahasiswa itu ternyata punya adik yang kebetulan dulu murid yang kuajar di pesantren. Namun begitulah cara Tuhan mempertemukan jodoh kadang tidak pernah diduga sebelumnya. Sudah lama aku tidak ketemu dengannya, karena ia melanjutkan studinya di kota lain. Karena mbaknya mengambil skripsi di sekolah di mana saya mengajar, kontak yang telah lama hilang itu akhirnya tersambung kembali.

Tuhan Maha Tahu, Diriku dipaksanya untuk menaiki satu level tingkatan yang lebih tinggi agar jodoh dapat kudapatkan. Bukankah Tuhan telah berjanji “Lelaki yang baik untuk perempuan yang baik” maka saat berada diri ini berada di level satu sedang jodoh kita berada di level dua, maka sampai kapanpun tidak akan pernah ketemu.

Hampir selama tiga bulan Tuhan mentraining jiwa dan ragaku untuk mencapai frekuansi yang sama dengan calon istriku, yang levelnya di atasku. Atas izin-Nya kami pun bertemu dan bersatu dalam ikatan “miitsaaqan ghaliidan” membangun kebersamaan dalam mahligai cinta suci hingga pada saatnya nanti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar