Selasa, 29 November 2016

Kali Kening Bagi-bagi Buku dan Ilmu di Rumah Baca Al-Ihsan

Kali Kening Bagi-bagi Buku dan Ilmu di Rumah Baca Al-Ihsan
Oleh : Joyojuwoto
Karang Tengah, Bangilan - www.4bangilan.blogspot.com - Sabtu (26/11/2016) pukul 13.30 WIB Komunitas Kali Kening menyambangi rumah baca dan rumah belajar Al Ihsan yang berada di dusun Karang Tengah desa Bangilan Kec. Bangilan. Rumah baca ini adalah rumah baca yang digagas oleh bapak H. Umarul Farouq. Kecintaan beliau terhadap ilmu dan kepeduliannya terhadap pendidikan anak bangsa yang melatar belakangi pendirian rumah baca ini.
Semangat dan kesadaran beliau akan masa depan generasi bangsa dan negara inilah yang mempertemukan komunitas Literasi Kali Kening dengan Rumah Baca Al Ihsan. Ibarat gelombang radio di frekuensi yang samalah yang akan mempertemukan antara pendengar melalui radionya dengan stasiun radionya. Kalau dalam bahasa haditsnya Rasulullah saw bersabda :
الْأَرْوَاحُ جُنُودٌ مُجَنَّدَةٌ فَمَا تَعَارَفَ مِنْهَا ائْتَلَفَ وَمَا تَنَاكَرَ مِنْهَا اخْتَلَفَ
Artinya : "Ruh-ruh manusia itu seperti tentara yang besar, selagi tentara itu saling mengenal, maka mereka akan bersatu padu". (HR. Muslim)
Berdasarkan hadits Nabi di atas jiwa-jiwa manusia itu berkelompok sesuai dengan kecenderungannya, sesuai dengan komunitasnya, dan sebaik-baik komunitas tentu adalah yang mengajak pada kebaikan. 


Kami dari komunitas literasi Kali Kening sangat gembira mendapat tawaran untuk berbagi ilmu dengan para pelajar di Rumah Baca Al Ihsan, selain berbagi ilmu secara verbal Kali Kening juga membagikan buku untuk rumah baca al Ihsan. Semoga buku-buku itu menjadi investasi yang pahalanya terus mengalir dan tidak berhenti hingga kelak di hari akhir nanti.
Acara yang langsung dipandu oleh ketua Komunitas Kali Kening, Mas Ikal Hidayat Noor berlangsung cukup meriah, tampil sebagai pembicara di kegiatan itu Mas Rohmat Sholihin, Mbak Linda, dan saya ikut mendampingi beliau berdua.
Bertemu dan berhadapan dengan anak-anak usia sekolah dasar ibarat sedang bertemu dengan tambang emas, mereka adalah generasi baru yang perlu ditempa dan diolah menjadi emas murni. Potensi mereka perlu dikembangkan agar kelak siap menjadi pilar-pilar bagi tegaknya kemajuan bangsa.
Kami dari komunitas Kali Kening sangat berterima kasih kepada Rumah baca Al Ihsan yang telah ikut serta memikirkan masa depan bangsa ini dengan tanpa pamrih, semoga kegiatan ini menginspirasi dan membawa manfaat dan kebaikan bersama, tentunya demi Nusantara kita tercinta.
Terakhir tulisan saya ini saya tutup dengan ucapan terima kasih dari Mas Rohmat sebagai koordinator acara kepada keluarga besar Taman Baca dan Taman Belajar Al-Ihsan :
“Terima kasih sambutannya yang luar biasa oleh keluarga H. Umarul farouq dan kelompok belajar Rumah Baca Al Ihsan, semoga apa yang kita lakukan dalam belajar bersama dengan adik-adik yang ganteng-ganteng, cantik-cantik dan pinter-pinter dapat memberikan sumbangsih pengetahuan dan pengalaman agar menjadi generasi emas bagi negara, bangsa, dan agama. Aamiin”.
Sekian.

Joyojuwoto, lahir di Tuban, Anggota Komunitas Kali Kening; Santri dan Penulis buku “Jejak  Sang Rasul” bisa dihubungi di WA 085258611993

Memfungsikan Masjid Bagi Kemaslahatan Umat

Memfungsikan Masjid Bagi Kemaslahatan Umat
Oleh : Joyojuwoto

Tempat pertama kali yang dibangun Rasululah saw saat beliau hijrah ke Madinah adalah masjid, bahkan sebelum beliau menginjakkan kaki di bumi Madinah yang penuh berkah Rasulullah saw telah membangun masjid di tengah perjalanan yaitu di suatu tempat yang bernama Abwa. Masjid memang memiliki fungsi yang sangat penting dalam proses pembentukan identitas dan peradapan Islam.

Pada jaman Rasulullah saw masjid tidak hanya berfungsi sebagai ibadah ritual keagamaan saja, namun lebih dari itu masjid juga berperan penting dalam kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan dan kenegaraan. Masjid adalah centra bagi kegiatan-kegiatan untuk kemaslahatan masyarakat baik yang berhubungan dengan kepentingan duniawi maupun kepentingan ukhrawi.  Jadi masjid tidak hanya sekedar sebagai tempat sholat saja, namun juga dipakai untuk mengurusi masalah pendidikan, ekonomi, politik, dan kebudayaan.

Menurut salah satu buku yang ditulis oleh KH. Ali Mustafa Ya’kub, mantan Imam besar Masjid al-Istiqlal, setidaknya ada lima fungsi masjid bagi umat Islam. Kelima fungsi itu adalah pertama : Masjid berfungsi sebagai tempat ibadah, kedua : Masjid berfungsi sebagai tempat pembelajaran atau tarbiyah, ketiga : Masjid sebagai tempat untuk bermusyawarah, keempat : masjid juga difungsikan sebagai tempat merawat orang sakit, dan yang kelima : Masjid difungsikan sebagai asrama.

          Namun sayang di masa sekarang masih banyak masjid yang fungsinya sangat terbatas sekali, hanya dipakai sebagai tempat untuk sholat saja, hanya memiliki fungsi ritual dan belum dimaksimalkan untuk fungsi-fungsi sosial lainnya. Karena pada dasarnya dalam ajaran Islam tidak terpisahkan antara urusan yang menyangkut keduniaan dan urusan yang menyangkut akhirat. Oleh karena itu kita berharap masjid dikembalikan atau diberdayakan kembali sebagaimana dahulu Rasulullah saw menjadikan masjid sebagai pusat aktivitas umat Islam.

          Jika umat Islam telah kembali merapatkan shofnya di masjid baik untuk urusan sholat maupun untuk urusan lainnya, maka tidak lama lagi fajar kebangkitan dan kemuliaan Islam akan kembali bersinar. Oleh karena itu mari merapatkan barisan guna izzul Islam wal muslimin, janganlah kita berpecah belah sehingga umat Islam menjadi lemah. Perbedaan-perbedaan adalah hal yang wajar dan telah digariskan oleh sunnatullah, mari tetap bersatu dalam persaudaraan sejati ukhuwwah islamiyah demi Islam rahmatan lil ‘alamin yang kita cita-citakan bersama.

          Umat Islam sudah sangat lama terpuruk dan surut, dan sekarang saatnya umat Islam bangkit dengan cara merapatkan barisan di masjid-masjid. Mari mengembalikan fungsi masjid sebagaimana dahulu Rasulullah saw membangun Madinah Munawwarah dengan Masjid Nabawi sebagai ruhnya. Jika Allah menolong kalian maka tidak akan ada yang mampu mengalahkan kalian semua wahai umat Islam, oleh karena itu mari bersama menolong agama Allah, niscaya Allah akan menolong kita.


Senin, 28 November 2016

Pawang Hujan

Pawang Hujan
Oleh : Joyojuwoto

Kilat berkelebatan cepat bagai anak panah terlepas dari busurnya, lidah-lidah api di udara menyambar dan membakar telaga langit yang berwarna putih susu, dentuman guntur dan petir mengoyak dinding-dinding telaga itu dan membuatnya berhamburan menjadi keruh kelam kelabu. Awan menghitam berarak dan bergulung-gulung laksana banjir bandang yang siap menerjang. Angin berkesiur cepat, riuh mendesau, berputar-putar bagai seorang penari sufi yang sedang mabuk ketuhanan. Pertemuan antara kilat, mendung, petir, dan angin di atas kanvas angkasa adalah bahasa alam yang mengabarkan hujan segera tumpah membasahi bumi.

“Kali ini hujan tidak akan terbendung lagi, walau mantra-mantra penolak hujan telah disebar oleh Mbah Djiwo” seru Bejo di cangkrukan warung kopi bersama Samo di pinggiran jalan desa”.

“Iya Kang, kita lihat saja apakah Mbah Djiwo mampu menahan hujan saat ini. kemarau berkepanjangan, banyak warga yang mengeluh kapan hujan datang, sumur-sumur kita mulai mengering, namun tampaknya Mbah Djiwo masih belum juga membuka payung ghaibnya dari desa kita” lanjut Samo sambil menyeruput kopi hitamnya”.

Warung kopi selalu berhasil menjadi tempat yang asyik untuk mengobrol dan melupakan kepenatan serta beban hidup warga desa. Mereka menyempatkan waktu berkumpul di pagi atau sore hari untuk sekedar meneguk secangkir kopi dan menghisap sebatang kretek, setelah itu mereka akan memulai aktivitasnya masing-masing.

Telat empat bulan dari kebiasaan waktu datangnya musim penghujan, desa Sambonglombok dan sekitarnya mengalami kekeringan hebat. Ini telah memasuki bulan Januari, yang oleh orang-orang disebut sebagai “hujan sehari-hari”, namun nyatanya belum sekalipun hujan mengguyur tanah-tanah mereka yang gersang dan kering-kerontang. Proyek pembangunan bendungan di ujung desa bagian barat diklaim warga sebagai penyebab hujan tidak segera turun.

Pimpinan proyek, Bang Kirman telah menyewa beberapa pawang hujan yang hebat untuk memindahkan hujan ke tempat lain, atau bahkan menahan hujan itu untuk tidak turun. Dia tentu tidak mau proyeknya rugi, atau ia akan dimarahi habis-habisan oleh Big bosnya karena pekerjaan terkendala oleh hujan. Jika hujan turun potensi banjir juga akan merusak plengsengan yang baru saja selesai dibangun oleh para pekerja.

Di desa-desa sekitar hujan sudah turun sejak dua bulan lalu, namun entah mengapa desa Sambonglombok tidak juga turun hujan. Sudah berkali-kali mendung mengabarkan akan datangnya hujan, lagi-lagi angin mengusir mendung-mendung itu dari langit Sambonglombok hingga hujan tak jadi turun. Kekeringan melanda di mana-mana, namun penduduk desa tak berani protes karena mereka takut dan khawatir akan tuah dari Mbah Djiwo. Mereka khawatir jika protes mbah Djiwo akan menyantet seluruh penduduk kampung, karena semenjak Mbah Djiwo diminta menahan hujan, sejak pembangunan bendungan itu tak sekalipun hujan turun. Aliran sungai pun mengering, karena Kali Kening yang membelah wilayah Sambonglombok dan sekitarnya berhenti di hulu, air tidak dibiarkan mengalir ke hilir.

Namun kali ini keadaan benar-benar tak terbendung, sore itu langit sebentar lagi akan menumpahkan butiran air matanya, Mbah Djiwo tidak bisa menyembunyikan kepanikannya, ia mondar-mandir di sekitar bendungan, jika sore itu hujan benar-benar turun maka habislah nama besarnya. Selain itu para pekerja baru saja mengecor plengsengan dan memasang batu bata pembatas dinding-dinding  bendungan, jika hujan turun maka pekerjaan itu akan berantakan dan sia-sia. Juragan Kirman pasti akan marah besar kepadanya, dan tentu yang paling mengkhawatirkan ia akan kehilangan upahnya sebagai pawang.

Di pojok kampung di punden desa, di bawah pohon kepoh besar dekat bendungan Sambonglombok, uba rampe telah dipasang, sapu gerang dengan posisi menghadap ke langit, lidi-lidi itu ditusuki cabai merah dan juga bawang merah, tampak pula setakir cok bakal yang berisi bunga setaman. Selain mengandalkan mantra penolak hujannya, Mbah Djiwo juga melakukan ritual memasang sesaji di punden desa, di bawah pohon kepoh di sebelah selatan bendungan. Namun sayang tampaknya kali ini sajennya tidak bisa membantunya mengubah keadaan. Entah uba rampe apa yang kurang, menurutnya semuanya telah komplit dan dipersiapkan dengan matang.

“Wah hujan sebentar lagi turun, bagaimana ini ! reputasiku sebagai dukun penolak hujan akan runtuh bersamaan dengan turunnya hujan” gumam Mbah Djiwo sambil menyedot kreteknya dalam-dalam.

Asap kretek itu kebal-kebul memenuhi angkasa yang semakin gelap, lelaki tua itu berfikir keras agar hujan bisa dicegahnya. Selama ini mantra dan sesaji yang dipasangnya cukup ampuh untuk menahan turunnya hujan. Namun kali ini ia benar-benar diambang kegagalan.

“Perawan Sunti !...iya perawan sunti ! hahaha...aku harus mencari gadis yatim yang ditinggal mati oleh bapaknya saat masih di dalam kandungan” teriak Mbah Djiwo girang.

Langit semakin gelap saja, guntur dan petir bersautan silih berganti, seakan mengejek Mbah Djiwo, dengan langkah mantap lelaki tua itu menuju warung, ia tersenyum penuh kemenangan.

“Eh...Mbah Djiwo, mari silahkan, silahkan Mbah” sapa Bejo agak gugup dengan kedatangan lelaki tua berjubah hitam itu.

“Eh..kamu Bejo, Samo, ya..ya, sini temani aku ngopi sambil rokok-rokok-an, nanti aku yang bayar semuanya” jawab Mbah Djiwo penuh keakraban.

Tidak biasanya Mbah Djiwo bersikap ramah terhadap penduduk desa, biasanya ia sangat dingin dan angker, begitu yang dipikirkan oleh Bejo dan Samo. Namun kali ini sikapnya lain, hangat dan penuh persahabatan. Entah angin apa yang membuatnya berubah. Mbah Djiwo duduk mendekat di samping Bejo dan Samo, ia menyodorkan kreteknya kepada dua orang itu sambil berbisik.

“Bejo, Samo...saya ada proyek buat kalian berdua, bayarannya gedhe, tugasnya ringan, mau kan ?

“Tumben Mbah ada proyek untuk kita, kita sih siap-siap saja mbah, bukan begitu Samo, kata Bejo.

“Hehe... iya Mbah, ada proyek pembangunan bendungan kita juga tidak kebagian, justru pekerjanya orang-orang dari luar daerah, kita ini jadi nganggur Mbah, padahal kita kan butuh ngrokok dan ngopi tiap hari mbah”.

“Tenang...tenanglah kalian berdua, sini aku bisiki” kata Mbah Djiwo sambil mendekatkan mulutnya ke telinga Samo dan Bejo.

“Ok mbah kita siap ! gampang itu”

“Haha... haha... haha” kemudian ketiga orang itu tertawa terbahak-bahak.

***

Langit sore semakin muram, mendung masih menggantung di langit, gerimis tipis-tipis mulai turun membasahi bumi. Suasana menjadi sepi. Dua sosok orang mengendap-endap mendekati belakang rumah Mbok Sri, seorang janda berputri tunggal. Suaminya telah meninggal dunia lima tahun yang lalu, saat anaknya masih di dalam kandungan.

Dengan cekatan dua sosok bayangan hitam melompati tanaman-tanaman perdu yang menjadi pagar belakang rumah Mbok Sri, kemudian dengan gerakan cepat dua sosok bayangan itu mengambil jemuran di dekat sumur, setelah menyelesaikan aksinya dengan tanpa meninggalkan jejak kedua bayangan itu pun menghilang di balik rimbunnya pepohonan.

***

          Pagi itu sangat cerah, matahari bersinar terang dan langit tampak membara. Tanda-tanda datangnya musim penghujan serta sisa-sisa mendung kemarin sore tidak nampak sama sekali, pohon-pohon layu,  sumur warga pun semakin mengering. Di sebuah warung kopi di pinggiran desa, dua orang tampak asyik menghisap kreteknya. Samo dan Bejo tertawa gembira.


Joyojuwoto, lahir di Tuban, 16 Juli 1981, Anggota Komunitas Kali Kening; Santri dan Penulis buku “Jejak  Sang Rasul” bisa dihubungi di WA 085258611993

Bangilan Menangis Duka

Bangilan Menangis Duka
Oleh : Joyojuwoto

Pepatah bagai petir di siang bolong ternyata bukanlah isapan jempol belaka, ini belum siang, bahkan hawa dingin sisa tangis langit malam masih terasa, matahari pun masih berselimut shubuh, namun petir itu benar-benar bersuara. Getarnya menggoncangkan bumi, menggetarkan langit dan seisinya, pilar-pilar jagad raya runtuh, cahaya semesta padam, kegelapan pun menyelimuti dunia. Satu pelita Tuhan di muka bumi telah diambil-Nya, cahayanya telah kembali dan bersatu dengan Sang Maha Cahaya, melebur dalam nur-Nya. Nuurun ‘alaa nur.

Bumiku menangis sendu, langitku bergelayut mendung duka. Dadaku terasa nyeri berdesir pilu, salah seorang hamba terbaik-Mu tlah engkau panggil ke sisi-Mu ya Tuhan. Gus Nafis Misbah, pengasuh pondok pesantren Al Balagh Bangilan adalah sosok yang alim, tawadhu’, bersahaja. Kini beliau  telah menaiki tangga cahaya menuju Rabbnya.  Beliau adalah seorang guru, kyai, dan panutan umat yang berkhidmat penuh rahmat, berbakti dan mengabdi sepenuh hati, tak lelah berpayah-payah mengasuh umat lillah.

Bunga-bunga do’a kami taburkan, harapan-harapan kebaikan kami siramkan, mengiringi langkah engkau ke alam kelanggengan, walau sebenarnya do’a ini mungkin tak memiliki arti  apapun sebagaimana air sungai yang mengairi laut. Kami sungainya, engkau lautnya, namun setidaknya do’a dan pengharapan ini adalah cara kami untuk terus bisa bertahan dan menyembunyikan rasa kehilangan yang mengguncang dada.

Inna lillahi wa inna ilahi roji’un. Allahummaghfirl lahu warhamhu wa ‘aafihi wa’fu anhu. Allahumma akrim nuzulahu wa wassi’ matkholahu, wa aghsilhu bi maa’in, wa tsaljin, wa baradin. Allahumma laa takhrimna ajrahu wa laa taftinnaa ba’dahu. Aamiin Ya Rabbal ‘alamiin.

“Sesungguhnya kita adalah milik Allah dan kepada-Nya kita kembali. Ya Allah ampunilah dia, rahmatillah dia, maafkanlah segala kesalahannya. Ya Allah muliakanlah kematiannya, lapangkanlah kuburnya, basuhlah jiwa dan raganya dengan air, es, dan embun. Ya Allah janganlah Engkau haramkan kami dari pahalanya, dan janganlah  Engkau beri fitnah pada kami sesudah kematiannya. Aamiin ya Rabbal ‘alamiin.

Bangilan Berduka, 28 November 2016
Teriring do’a kagem Gus Nafis, lahu al Fatihah...


Jumat, 25 November 2016

Bumi Adalah Masjid Allah

Bumi Adalah Masjid Allah
Oleh : Joyojuwoto

Dalam sebuah hadits Rasulullah saw bersabda :

عن أبي سعيد رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلّم : كلّ الأرض مسجد طهور الاّ المقبرة والحمّام.

Artinya : Diriwayatkan dari sahabat Said ra. Rasulullah saw bersabda : “Semua bumi adalah masjid dan suci, kecuali maqbarah (kuburan) dan kamar mandi”.

Dari hadits Rasulullah di atas kita dapat mengambil pelajaran bahwa bumi ini keseluruhannya adalah masjid, kecuali dua tempat yaitu pekuburan dan kamar mandi. Hal ini memiliki makna bahwa di manapun kita tinggal wajib bagi kita untuk bersujud dan ndepe-ndepe di hadapan Allah swt. Karena pada dasarnya masjid itu berasal dari kata sajada yang artinya adalah bersujud, dan masjid adalah dalam ilmu sharaf adalah dharful makani yang berarti tempat untuk sujud. Di manapun tempat itu dipakai sujud berarti tempat itu adalah bermakna masjid.
Jika bumi adalah tempat sujud, berarti di manapun bumi kita pijak, maka menurut pemahaman saya kita boleh menjalankan shalat di mananpun, kecuali dua hal yang sudah didawuhkan Nabi di atas, yaitu di kuburan dan pemandian.

Syarat tempat atau bumi yang bisa dipakai menjalankan shalat tentu juga harus memenuhi kriteria bersih dan suci, tidak ada najis yang memungkinkan dilarangnya shalat di tempat itu. Jika ada najis yang tampak dan menghalangi diperbolehkannya shalat, maka najis itu perlu dibersihkan hingga bumi kembali kepada fitrahnya sebagai masjid sebagaimana yang didawuhkan oleh Rasulullah saw.

Mengapa Rasulullah saw. berkata bahwa semua bumi adalah masjid ?

Menurut pandangan saya, di sini Rasulullah sedang mengedukasi umatnya agar selalu menjalankan shalat di manapun ia berada, karena shalat adalah tiangnya agama. Shalat pun menduduki posisi yag sangat penting dalam ajaran Islam, shalat merupakan rukun Islam yang kedua, jika seorang muslim tidak shalat maka Islamnya batal.

Selain itu Rasulullah juga tidak ingin memberatkan umatnya dalam menjalankan ibadah shalat, di manapun ia berada maka shalat boleh dilakukan, baik itu saat di kendaraan, di hutan, di gunung, di tepi sungai, di telaga, di pantai, di mall, di sekolah, di tempat kerja, atau bahkan di jalan raya sekalipun. Kita umat Nabi Muhammad dimudahkan untuk menjadikan bumi ini sebagai masjid tempat di mana kita bersujud kepada-Nya.

Selain sebagai sarana edukasi dan keringanan bagi umat Islam dalam menjalankan ibadah shalat, bumi  dijadikan sebagai masjid dalam arti yang sesungguhnya juga bermakna filosofis bahwa umat Islam janganlah berlaku sombong. Di manapun berada hendaknya ia selalu ingat Tuhan Yang Maha Agung, sedang ia adalah seorang hamba yang hina. Oleh karena itu ia harus selalu bersujud di manapun ia berada. Sujud sebagai tanda kepatuhan dan ketundukan yang sepenuhnya kepada Tuhan Dzat Yang Maha Tinggi.

Bersujud berarti sebagai makhluk kita disuruh menyadari bahwa tidak ada yang layak untuk kita banggakan di dunia ini di hadapan Sang Khaliq, karena semua adalah kepunyaan-Nya semata. Tidak layak seorang hamba berlaku pongah dan sombong, Wa laa tamsyi fil ardhi maraha, (dan janganlah berjalan di muka bumi dengan congkak dan sombong) begitu kira-kira peringatan Tuhan.

Oleh karena itu mari selalu berfikir dan menyadari bahwa kita ini sedang berada di masjid besar Tuhan di manapun itu kita berada, mari selalu bersujud kepada-Nya, karena momentum yang sangat penting antara hamba dan Tuhannya adalah saat sujud. Mari jadikan bumi yang kita tinggali ini masjid yang kubahnya adalah gunung-gunung, lantainya bumi yang kita pijak. Kita selalu berwudhu dengan kebaikan-kebaikan terhadap sesame makhluk Tuhan, shalat kita adalah selalu menjalankan aktivitas kehidupan kita dengan lillahi ta’ala, sehingga tidak terlintas di dalam hati kita berbuat yang tidak baik karena kita selalu berada di dalam rumah besar Tuhan. Wal Ardhu Kulluhaa Masjidun. Amien.


Kamis, 24 November 2016

Gerbang Kata, Rumah Makna

Gerbang Kata, Rumah Makna
Oleh : Joyojuwoto

Gerbang Kata adalah judul buku antologi puisi yang ditulis oleh penulis kondang Much. Khoiri yang akrab dipanggil pak Emcho. Saya sengaja menggunakannya sebagai judul tulisan memoar saya mengenai Kopdar kepenulisan yang diselenggarakan oleh komunitas literasi Sahabat Pena Nusantara (SPN) yang diketuai oleh Ust. Husnaini. Kopdar ini sendiri diadakan di Pondok Pesantren Darul Istiqomah Pekuniran, Maesan, Bondowoso tanggal 20 November 2016.

Dalam judul saya terdapat dua kalimat penting yang saling berkaitan, yang pertama adalah gerbang kata kemudian disambung Rumah Makna. Saya mengibaratkan SPN adalah sebuah gerbang kata di mana para anggotanya mengolah kata yang akan diproduksi menjadi sebuah tulisan. Sedang rumah makna saya ibaratkan sebagai salah satu tujuan dan arah di mana dunia kepenulisan itu berlabuh. Pesantren Darul Istiqomah yang diasuh oleh KH. Masruri Abdul Muhits, Lc. tempat di mana SPN kopdar, saya ibaratkan sebagai Rumah Makna yang mempesona.

Gambaran Pondok Pesantren Darul Istiqomah yang berudara sejuk, berpanorama indah, lingkungan yang bersih nan asri, penghuninya yang ramah, santun dan penuh dengan iklim keilmuan dan ketawadhuan adalah rumah makna tempat di mana nilai-nilai ukhuwwah kemanusiaan tumbuh subur dan terjalin dengan indah. Nilai-nilai dan keilmuan pun berkembang dengan baik dan dinamis, seperti yang saya lihat para santri sibuk belajar dengan membaca, berdiskusi, tenggelam dalam lautan ilmu pengetahuan. Pesantren ini menciptakan iklim dan milieu yang baik bagi pembelajar-pembelajar sejati.

Dari tulisan-tulisan para peserta kopdar anggota SPN saya perhatikan sangat menyukai iklimnya Daris, nama beken dari Pesantren Darul Istiqomah. Sedang saya sendiri tidak usah ditanya, saya sangat suka, betah, dan sangat kerasan tinggal di pesantren ini. Pak Kyai Masruri, Bu Nyai, segenap asatidz-ustadzaat beserta para santrinya berhasil memindahkan dan mengejawentahkan alam surgawi ke bumi, dan surga itu ada di Pondok Pesantren Darul Istiqomah.

Pengalaman kopdar di Daris adalah pengalaman pertama saya di SPN, walau sebetulnya ini adalah kopdar ketiga SPN. Kopdar pertama di Malang dan yang kedua di Jogja saya belum bisa hadir. Alhamdulillah untuk kopdar yang ketiga  bismillah tawakkaltu ‘alallah saya berangkat. Perjalanan saya dari rumah ke Daris cukup lancar, berangkat pukul 10.00 WIB sampai Daris pukul 22.00 WIB alhamdulillah.

Saya sangat beruntung bisa hadir di kopdar SPN yang ketiga, ketemu dengan teman, sahabat, dan guru-guru yang hebat, lebih-lebih bisa merasakan kesejukan dan keasrian Daris di bawah asuhan bapak Kyai Masruri Abdul Muhits, sungguh pengalaman yang sangat berharga dan tak terlupakan.

Acara kopdarnya pun luar biasa karena saya bisa ketemu dan menyecap ilmu dari para pakar dan tokoh literasi nasional. Ada pak Didi Junaedi, beliau adalah penulis produktif, setidaknya ada lima judul buku yang terbit di tahun 2016, karya-karyanya telah diterbitkan oleh penerbit mayor dan telah banyak menghiasi toko-toko buku di seluruh Indonesia, Pak Didi Al Brebesi yang didapuk sebagai pemateri pertama ini memberikan materi tentang mengemas tulisan menjadi naskah buku. Selanjutnya pemateri kedua adalah Prof Muhammad Chirzin, beliau pakarnya ilmu tafsir Al Qur’an, karyanya sudah puluhan judul yang diterbitkan Gramedia, Pak Prof. Ini banyak menginspirasi dalam hal penulisan buku dari Al-Qur’an, dan beliau menyampaikan materi tentang penerbitan buku, pemateri ketiga ada pak Emcho yang memberikan materi mengenai promosi dan menjual karya sendiri, dan tidak kalah dahsyatnya pemateri keempat, Dr. Taufiqi Bravo, beliau seorang Kyai, motifator Nasional sekaligus pakar  hipnotis yang benar-benar bravo.

Sungguh kopdar SPN di Ponpes Darul Istiqomah Bondowoso bertabur ilmu dan pengalaman yang luar biasa, saya bersyukur kepada Allah swt., dan berterima kasih kepada seluruh sahabat-sahabat, guru-guru di SPN yang telah memberikan ilmu dan keteladanan dalam hal tulis menulis, dan tentu tak lupa juga saya sampaikan penghormatan dan rasa terima kasih yang mendalam kepada Pak Kyai Masruri beserta seluruh keluarga besar Pondok Pesantren Darul Istiqomah yang telah menyambut dan menyediakan tempat kopdar, kami tidak dapat memberikan balasan apa-apa, kami hanya bisa berdo’a semoga Allah swt membalas kebaikan beliau dengan balasan yang sebaik-baiknya. Jazakumullah ahsanal jaza’.

Sungguh SPN adalah gerbang kata yang luar biasa dan Pondok Pesantren Darul Istiqomah adalah rumah makna yang menginspirasi kita semua. Semoga perjalanan SPN ke depan lebih baik dan membawa manfaat bagi para anggotanya pada khususnya dan bagi bumi pertiwi Nusantara yang kita cintai ini pada umumnya.


Selasa, 22 November 2016

Reses Anggota DPR menyoal Tower Bodong

Pic : bangsaonline
Tuban, www.4bangilan.blogspot.com - Masa Reses untuk anggota DPR benar-benar dipakai oleh Moh. Fuad salah satu anggota DPR D Kab. Tuban untuk menjaring dan menyerap aspirasi dari grass root. Kemarin (21/11/16) di dusun Punggur, Desa Banjarworo Kec. Bangilan, beliau bertemu dengan puluhan warga guna mendengarkan apa yang menjadi keluhan warga.

Sebagai anggota DPR yang notabenenya dipilih oleh Rakyat Moh. Fuad berusaha menjadi penyambung lidah rakyat yang baik, beliau dengan tekun mendengarkan dan memberikan jawaban dari apa yang ditanyakan oleh warga. 

Banyak usulan yang disampaikan oleh warga, diantaranya tentang buruknya pelayanan publik di tingkat desa maupun kecamatan, tentang pungli-pungli pembuatan KTP, KK, dan yang terkait dengan urusan surat menyurat, hingga permintaan untuk pembangunan ini dan itu.

"Tentu sebagai wakil rakyat, Saya akan mengawal dan mengkoordinasikan segala usulan dan keluhan masayrakat terhadap Dinas terkait" begitu ucapnya.

Tidak hanya itu saja, Pak Fuad sebagai anggota Komisi A yang berkaitan erat dengan pelayanan publik, beliau juga mengedukasi masyarakat agar melek terhadap informasi. beliau mengkritisi banyaknya tower-tower yang bodong dan tidak berizin. 

"Setidaknya ada 140 tower di Kabupaten Tuban yang telah memiliki izin, tetapi tidak memberikan kontribusi apa-apa terhadap daerah, selain itu juga ada sekitar 30 tower yang bodong, Kita akan mengkoordinasikan dan menggodok masalah ini, agar tower-tower yang menghasilkan jutaan rupiah itu juga punya andil untuk daerah, atau setidaknya untuk masyarakat" 

Selain itu, beliau juga memberikan informasi bahwa masih banyak permasalahan yang perlu dibenahi bersama oleh pemerintah Tuban dan tentunya dukungan dari masyarakat. Potret kemiskinan warga Tuban masih tinggi, Indek Pembangunan Manusia (IPM) masyarakat Tuban juga masih rendah, yaitu di urutan ke-23 dari 38 di wilayah Jatim, lalu persoalan kependudukan dan pemukiman warga, semua ini membutuhkan kerja keras dan kerja sama dari semua pihak. (jwt)

Siswa MI Salafiyah Bangilan Tebar Benih Ikan Di Telaga Punggur

Pendidikan karakter yang paling efektif adalah dengan pembiasaan dan keteladanan. Ilmu teori mungkin sangat mudah dihafal namun karakter perlu dibiasakan sejak dini.

Pagi ini (22/11/2016) siswa-siswa MI Salafiyah Bangilan mengadakan bakti sosial tebar benih ikan Nila di telaga Punggur yang berada di dusun Punggur desa Banjarworo Kec. Bangilan. 

Kegiatan tebar benih ikan ini adalah salah satu upaya pendidikan pelestarian alam dan cinta terhadap lingkungan, hal ini perlu mendapatkan apresiasi positif dari semua pihak. Saya sendiri merasa senang dan memberikan penghargaan serta angkat topi yang setinggi-tingginya untuk para siswa MI Salafiyah Bangilan yang telah memberikan contoh dan inspirasi buat semua kalangan.

Menurut Ustadz Rahmat Sholihin guru MI Salafiyah Bangilan yang saya hubungi via WA mengatakan pesan yang ingin disampaikan dalam kegiatan ini adalah agar kelestarian alam dijaga bersama, khususnya agar ikan-ikan yang ada di danau dan sungai bisa kembali berkembang biak dengan akibat pengambilan dengan menggunakan obat kimia seperti apotas, poradan, dan obat-obat lainnya yang mengancam ekosistem alam. Jika kelestarian alam seimbang dan terjaga maka akan banyak hal positif yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar" lanjutnya.

Semoga pesan ini dapat ditangkap oleh semua pihak, baik oleh masyarakat luas dan lebih-lebih para pejabat setempat dan pihak terkait tentunya, dan semoga kegiatan ini menginspirasi kita semua.

Sabtu, 19 November 2016

Kewajiban Membaca dan Menulis

Kewajiban Membaca dan Menulis
Oleh : Joyojuwoto


Semua umat Islam tahu bahwa firman Allah swt yang pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad saw adalah “iqra’”, bacalah, yaitu sebuah kata amar dari fi’il “qara’a” yang berarti perintah untuk membaca. Amr di sini berarti berisi tuntutan untuk mengerjakan yang datang dari yang lebih tinggi kedudukannya kepada yang lebih rendah, dalam kaidah ushul fiqih dinyatakan :

طَلَبُ الْفِعْلِ مِنَ الْاَعْلَى  إِلَى الْاَدْنَى

Semisal seorang guru memerintahkan kepada muridnya, seorang bapak atau ibu memerintahkan kepada anak-anaknya. Perintah ini tentu harus dikerjakan, apalagi dalam khitab iqra’ itu yang memerintahkan adalah Allah swt tentu hal ini memiliki konsekuensi untuk kita kerjakan.

Dalam ilmu ushul fiqih kalimat perintah itu pada  dasarnya bermakna wajib sebagaimana dalam kaidah dikatakan :

اَلْاَصْلُ فِي الْاَمْرِ لِلْوُجُوْبِ

“Pada dasarnya setiap perintah (amr) itu adalah wajib”

Jika ada perintah (amr) itu pada dasarnya menunjukkan kewajiban dari perintah itu untuk dilaksanakan. Kalimat iqra’ yang mengawali surat al alaq memang ditujukan kepada Nabi Muhammad saat di gua Tsur agar beliau membaca dengan bimbingan dari malaikat Jibril, padahal Nabi saat itu adalah seorang yang “umi”, namun malaikat Jibril terus saja meminta Nabi untuk membaca dan perintah itu diulang sebanyak tiga kali.

Dari peristiwa turunnya wahyu yang pertama ini tentu memberikan pelajaran bagi kita akan kewajiban membaca bagi umat Islam. Membaca di sini memang tidak hanya bermakna membaca buku saja, namun lebih luas dari itu membaca juga berarti melihat,menganalisa, memikirkan, merenungkan atas tanda-tanda kekuasaan Tuhan di alam raya ini. Jadi membaca hukumnya wajib bagi umat Islam.

Dalam tafsir Al Iklil yang ditulis oleh KH. Misbah Zainil Mustofa, ulama kenamaan dari Bangilan Tuban setelah turunnya surat iqra’ ini surat selanjutnya yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad adalah surat AL Qalam. Surat Al Qalam ini isinya menyiratkan perintah untuk menulis, karena Kalam berarti pena, dan pena dipakai media untuk menuliskan ilmu pengetahuan. Jadi bukan hal yang kebetulan ketika Allah swt menurunkan wahyu pertama untuk membaca dan disambung wahyu kedua adalah dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuan melalui media pena.

Surat Al Qalam ayat pertama memiliki makna filosofis tiga rangkaian dasar untuk menebarkan ilmu pengetahuan, yaitu “Nun, Qalam, dan Wa ma Yasturuun” yang saya sarikan dalam kata : “Tinta, Pena, dan Tulisan”. Perhatikan tiga hal dasar tersebut adalah sumber dari ilmu pengetahuan. Jika kita perhatikan surat Al Qalam ini maka kita akan teringat ayat ketiga dari surat al Alaq yang berbunyi : “Alladzii ‘allama bil qalam, (yang mengajari manusia dengan perantara pena). Dari sini dapat kita ambil pelajaran bahwa Allah Swt mengajari manusia lewat perantara pena, dan pena ini tentu membutuhkan tinta untuk menuliskan apa-apa yang akan dituangkan di kertas pengetahuan, dan huruf Nunlah yang berperan sebagai sumber dari tinta pengetahuan Allah Swt yang tak terbatas.


Singkatnya dari wahyu Allah pertama dan kedua yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw adalah dalam rangka memerintahkan manusia untuk membaca dan menulis guna menularkan dan mengembangkan ‘ilmun nafi’ ilmu pengetahuan yang bermanfaat yang buahnya menjadi jariyah yang nanti dapat kita petik baik di dunia maupun di akhirat kelak. Amien.

Joyojuwoto, lahir di Tuban, 16 Juli 1981, Anggota Komunitas Kali Kening; Santri dan Penulis buku “Jejak  Sang Rasul” bisa dihubungi di WA 085258611993

Jumat, 18 November 2016

Segera Terbit Buku "Quantum Belajar"

Segera terbit dan beredar ke tangan pembaca, sebuah buku yang luar biasa, "Quantum Belajar , Membangun Gelora Untuk Hidup Bahagia" Buku ini ditulis oleh para penulis -penulis senior yang tergabung di Komunitas Sahabat Pena Nusantara (SPN).

Buku ini akan dilauncing bersamaan dengan kopdar ketiga SPN di Pondok Pesantren Darul Istiqomah Bondowoso, yang diasuh oleh KH. Masruri Abdul Muhith, Lc. besok Ahad, 20 November 2016. Acara Kopdar akan diisi dengan rangkaian pelatihan menulis serta serba-serbi menerbitkan buku dan memasarkannya.

Sebagai buku antologi, buku ini sangat kaya ilmu dan makna karena buku ini ditulis oleh dan dari beragam latar belakang serta profesi sehingga memungkinkan akan banyak dinamika berfikir dan sudut pandang yang disajikan dengan apik di buku ini.

Selamat dan sukses atas terbitnya buku ini, semoga usaha dan karya dari Komunitas Sahabat Pena Nusantara (SPN)  mendapatkan sambutan dan apresiasi positif dalam rangka ikut menggerakkan dan menyemarakkan kegiatan literasi di tengah-tengah masyarakat.

Joyojuwoto, lahir di Tuban, 16 Juli 1981, Anggota Komunitas Kali Kening; Santri dan Penulis buku “Jejak  Sang Rasul” bisa dihubungi di WA 085258611993

Selasa, 15 November 2016

Mutiara Surat Al Kafirun

Mutiara Surat Al Kafirun
Oleh : Joyojuwoto

Surat Al Kafirun adalah surat yang diturunkan di Makkah, jumlah ayatnya ada delapan. Surat ini turun sebagai respon keinginan orang-orang kafir Quraiys yang ingin berkompromi  dalam hal peribadatan dengan Nabi Muhammad. Orang-orang Kafir mengusulkan agar tidak terjadi ketegangan diantara mereka dan dalam rangka menjaga kerukunan dan toleransi alangkah baiknya jika umat Islam dan orang-orang kafir saling bergantian dalam menjalankan ibadah kepada Tuhan.

Orang-orang kafir Quraiys mau menyembah kepada Allah dengan syarat orang Islam juga harus menyembah berhala yang menjadi Tuhan orang kafir. Mereka akan bergantian melakukan penyembahan itu. Jika dilihat secara sekilas seakan-akan usulan orang-orang kafir sangat indah, saling bekerja sama dan rukun. Namun hal ini dengan tegas ditolak oleh Allah sehingga turunlah surat Al Kafirun ini. Antara kebatilan dan kebaikan tidak mungkin akan bersatu dan saling mendukung sebagaimana air dan minyak yang tidak akan pernah bersatu, ada jarak dan pembeda diantara keduanya.

Ajaran Islam punya batasan dan aturan yang jelas dalam hal toleransi, dalam hal kemanusiaan toleransi dijunjung tinggi, sedang dalam hal aqidah tidak diperkenankan mencampur adukkan keyakinan. Karena Islam mengakui benar adanya keragaman dan pluralitas.

Dalam ayat pertama dan kedua surat Al Kafirun ini dinyatakan bahwa Nabi Muhammad tidak akan menyembah apa yang disembah oleh orang-orang kafir, ini adalah ungkapan yang sangat tegas bahwa orang yang beriman tidak akan menyembah dan membenarkan Tuhan selain Allah. Sebagaimana kelanjutan ayat ke tiga orang-orang kafir pun tidak akan menyembah Tuhannya orang-orang yang beriman.

Ayat keempat dan kelima adalah penegasan kembali dari ayat yang sebelumnya, bahwa orang Islam tidak akan menyembah Tuhannya orang kafir, dan orang kafir pun tidak akan pernah menyembah Tuhannya orang Islam. Jadi keinginan orang kafir untuk bergantian dalam hal penyembahan adalah alasan semata yang mereka buat-buat karena mereka kesulitan untuk memalingkan keyakinan umat Islam untuk tidak menyembah Allah swt. Kemudian ayat ini ditutup dengan ungkapan yang sangat indah sekali “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku”

Keyakinan adalah sesuatu yang sangat esensial di dalam hidup ini, apalagi itu meyangkut masalah aqidah, umat Islam harus tegas sebagaimana dalam kandungan surat Al Kafirun ini. kita memang tidak boleh fanatik dengan golongan, dengan komunitas, dengan kesukuan kita, namun dengan agama fanatik itu harus bahkan wajib hukumnya. Keyakinan terhadap keimanan agama adalah salah satu alasan kita rela mati atasnya. Karena memang keyakinan adalah sumber kehidupan, sebagaimana yang dikatakan oleh Martin Luther King Jr, “Jika seseorang belum menemukan sesuatu yang akan membuatnya bersedia mati untuk itu, ia belum cocok untuk hidup”.

Surat al Kafirun ini menjadi hujjah dan bantahan yang sangat kuat bagi orang-orang yang mengatakan bahwa semua agama itu sama, hanya jalannya saja yang berbeda. Tidak sekali lagi tidak, dengan jelas dan gamblang Allah berfirman bahwa hanya Islam sebagai jalan keselamatan yang sempurna. Inna ad-diena ‘indallahi al Islam, Sesungguhnya agama yang diridhoi Allah adalah Islam.




Senin, 14 November 2016

Cahaya di Puncak Arga Wilis

Cahaya di Puncak  Arga Wilis
Oleh : Joyojuwoto

“La ilaha illallah...la ilaha illallah...la ilaha illallah...” suara dzikir itu terdengar keras memenuhi ruangan padepokan yang berada di bawah pohon randu alas raksasa, suaranya serentak menggema seperti ribuan malaikat yang sedang melantunkan dzikirnya mengesakan Tuhan di bawah arys di puncak langit tingkat tujuh. Suara itu bergetar di keheningan malam, menerobos pepohonan, menuruni lembah-lembah dan  perbukitan Arga Wilis yang sepi. Dzikir itu membangunkan alam raya hingga semesta pun serentak mengikuti dzikirnya. Batu-batu diam bertafakkur khusyu’ mengagungkan Tuhan, pepohonan bergoyang pelan ke kiri dan ke kanan sambil daun-daunnya merunduk berdzikir memohon ampun pada-Nya, jangkrik, belalang, dan burung-burung malam mengucapkan dzikir mengagungkan asma-asma-Nya.

Di dalam padepokan para santri yang sedang berdzikir semakin tenggelam dalam lautan ketuhanan. Wajah-wajah mereka memancarkan cahaya kesejatian. Diri mereka seakan lebur dalam nur ilahiah. Tenang dan menentramkan. Makin lama irama dzikir para santri itu semakin pelan, lirih dan akhirnya semua pun berhenti dan terdiam. Keadaan menjadi sunyi, jangkrik belalang, dan burung-burung malam yang setadinya bersuara pun turut terdiam.  Angin seakan berhenti bernafas, pelan namun penuh daya wibawa do’a-do’a keselamatan dalam bahasa Arab pun dibaca oleh Kang Sena, kemudian do’a itu ditutup dengan permohonan dalam bahasa jawa :

“Duh Gusti mugi panjenengan paring katentreman lan kanugrahan  dateng tlatah Arga Wilis meniko, mugi panjenengan Gusti...Gusti... ndadosaken panggenan meniko bibarakatillah lan kanti syafaatipun Kanjeng Nabi, panggenan ingkang joyo lan manfaah, amien ya rabbal ‘alamin”

Santri-santri dalam ruangan itu pun mengikuti dengan mengucapkan amien, sebagai permohonan agar do’a-do’a mereka diperkenankan dan dikabulkan oleh Tuhan.

Setelah selesai berdo’a Kang Sena menghadap jama’ahnya, kemudian ia pun berbicara :

“Malam ini saudara-saudara, adalah malam yang bersejarah, langit dan bumi akan menjadi saksi bukit Arga Wilis bersemi kembali. Dahulu tempat ini dipakai para wali untuk beruzlah, dan sekarang akan kita lanjutkan. Dahulu di tempat ini pernah disinggahi para kekasih-kekasih Allah, Syekh Asmorokondi, Syekh Ali Murtadlo, Syekh Ali Rohmatullah, Sunan Bonang an beberapa wali lainnya, padepokan ini kita dirikan adalah dalam rangka mewadahi barakah dan karamahnya para wali itu”.

“Amien Allahumma amien....!” sahut beberapa Kang Santri bersamaan sambil mengangkat dan menengadahkan tangan kemudian mengusapkannya di wajah masing-masing.

“Ketahuilah, malam ini kita kedatangan tamu yang istimewa, beliau adalah sesepuh Arga Wilis ini, juru kunci yang menjaga tlatah ini dari masa ke masa, beliau adalah Mbah Rhoso” 

Sambung Kang Sena sambil memperkenalkan seorang sepuh, berpakain surjan batik lurik, bercelana hitam selutut, berkolor seperti warok dan menggunakan blangkon model kasultanan Surakarta. Walau terbilang sepuh Mbah Rhoso masih tampak trengginas dan gagah dengan sorot mata yang tajam dan berwibawa. Beliau yang duduk bersebelahan dengan Kang Sena membungkukkan badannya sambil melepas seulas senyum ramah memberikan hormat kepada para santri yang hadir di padepokan itu.

“Mbah Rhoso ini akan menyerahkan Arga Wilis kepada kita, beliau akan memberikan amanah dan kepercayaan agar tempat ini kita kelola dengan baik” lanjut kang Sena menjelaskan maksud kedatangan Mbah Rhoso di tengah-tengah Kang Santri di dalam padepokan yang baru saja mereka tempati.

“Betul seperti yang dikatakan Anak mas Sena, saya sudah tua, dan saya ingin menyerahkan tempat ini kepada orang yang mendapat wahyu keprabon, atau yang berjodoh dengan tempat ini” kata Mbah Rhoso memulai pembicaraannya di hadapan para santri yang berkumpul di padepokan itu.

“Sudah dua bulan lamanya saya bermeditasi, mengurangi makan dan tidur meminta petunjuk dari Gusti Allah tentang siapa yang cocok dan layak menempati Arga Wilis ini. Setelah melalui bisikan nurani yang bersih dan suci itulah saya memilih Anak mas Sena untuk mendirikan padepokan di sini”

“Di sini di Arga Wilis ini dulu wahyu keprabon pernah turun dari langit dan hinggap di puncak bukit di tempat yang sekarang kalian gunakan duduk ini, di tanah yang penuh barakah inilah Raden Aryo Randu Kuning salah seorang putra dari Raja Banjaran Sari dari negeri Pajajaran yang mengembara kemudian berolah yoga di bukit Arga Wilis ini memohon kepada Tuhan untuk diperkenankan mendirikan sebuah kadipaten yang kelak dikenal dengan nama Lumajang Tengah, letak Kadipaten itu di sebelah utara di bawah bukit Arga Wilis ini, dulu namanya hutan Srikandi”

Para santri hanya terdiam mendengarkan Mbah Rhoso membabar sejarah dari bukit Arga Wilis yang sekarang mereka tempati sebagai padepokan itu. Suasana semakin sepi, kemudian mbah Rhoso melanjutkan ceritanya.

“ Malam ini adalah malam Selasa Kliwon, yang dalam perhitungan Jawa dikenal dengan nama hari Anggara Kasih, yaitu hari permulaan wuku, malam ini adalah malam di mana kekuatan batin dan daya kesaktian serta kejayaan mencapai puncaknya. Oleh karena itu sebagai tanda saya menyerahkan Arga Wilis ini kepada Anak Mas Sena, saya juga akan menyerahkan pusaka pedang perak kyai Naga Putih kepada Anakmas sebagai piyandel padepokan Arga Wilis”

“Pusaka ini telah lama tertidur di dalam kotak kayu, terdiam dan kehilangan pamornya, jika ia berjodoh kepada Anak Mas Sena, maka pusaka ini akan kembali bersinar”

“Mari kesini anak mas, berdirilah, saya serahkan pusaka ini kepada engkau sebagai pemegang kendali di Arga Wilis ini”

Kang Sena berdiri dan menghadap kepada Mbah Rhoso dengan menunduk khidmad, para santri yang hadir pun terdiam menyaksikan prosesi penyerahan pusaka Arga Wilis kepada Kang Sena. Dengan didahului oleh ucapkan syahadat Mbah Rhoso menyerahkan pusaka pedang perak kyai Naga Putih itu kepada Kang Sena.

“Asyahadu alla ilaha illallah, wa asyhadu anna Muhammad Rasulullah, pedang pusaka ini, tepat pada malam Anggara Kasih saya serahkan kepada Anak Mas Sena, semoga Tuhan meridhoi dan memberkahi segala langkahnya, dan menjadikan padepokan Arga Wilis ini joyo serta menjadi cahaya di tlatah Kadipaten Tuban ini”

Setelah pusaka yang dibungkus dengan kain mori itu diserah terimakan, Mbah Rhoso dan Kang Sena duduk kembali menghadap ke arah para santri. Dengan mengheningkan cipta, memusatkan panca indra, menghidupkan cipta, rasa, dan karsanya, Mbah Rhoso merapal Kidung Rumeksa Ing Wenginya Kanjeng Sunan Kalijaga, suasana padepokan Arga Wilis semakin tintrim. Daya magis dari kidung itu benar-benar menguasai malam di puncak Arga Wilis.

Ana kidung rumeksa ing wengi
Teguh ayu luputa ing lara
Luputa ing bilahi kabeh
Jin setan datan purun
Paneluhan tan wani ana
Miwah penggawe ala
Gunaning wong luput
Geni atemahan tirta
Maling adoh tan ana ngarah ing mami
Guna duduk pan sirna

Setelah kidung itu selesai dirapal oleh Mbah Rhoso, pusaka yang kini dibawa oleh Kang Sena mengeluarkan cahaya putih keperakan, cahaya itu membasuh gelapnya malam hingga puncak Arga Wilis menjadi terang benderang brmanikan cahaya, sudah lama pusaka itu terdiam di dalam kotak kayu menghitam dan kehilangan pamornya, begitu kata Mbah Rhoso, dan Kini pusaka itu telah menemukan jodohnya dan siap bersinar kembali bagai purnama sidi yang menerangi puncak Arga Wilis.