Senin, 28 November 2016

Pawang Hujan

Pawang Hujan
Oleh : Joyojuwoto

Kilat berkelebatan cepat bagai anak panah terlepas dari busurnya, lidah-lidah api di udara menyambar dan membakar telaga langit yang berwarna putih susu, dentuman guntur dan petir mengoyak dinding-dinding telaga itu dan membuatnya berhamburan menjadi keruh kelam kelabu. Awan menghitam berarak dan bergulung-gulung laksana banjir bandang yang siap menerjang. Angin berkesiur cepat, riuh mendesau, berputar-putar bagai seorang penari sufi yang sedang mabuk ketuhanan. Pertemuan antara kilat, mendung, petir, dan angin di atas kanvas angkasa adalah bahasa alam yang mengabarkan hujan segera tumpah membasahi bumi.

“Kali ini hujan tidak akan terbendung lagi, walau mantra-mantra penolak hujan telah disebar oleh Mbah Djiwo” seru Bejo di cangkrukan warung kopi bersama Samo di pinggiran jalan desa”.

“Iya Kang, kita lihat saja apakah Mbah Djiwo mampu menahan hujan saat ini. kemarau berkepanjangan, banyak warga yang mengeluh kapan hujan datang, sumur-sumur kita mulai mengering, namun tampaknya Mbah Djiwo masih belum juga membuka payung ghaibnya dari desa kita” lanjut Samo sambil menyeruput kopi hitamnya”.

Warung kopi selalu berhasil menjadi tempat yang asyik untuk mengobrol dan melupakan kepenatan serta beban hidup warga desa. Mereka menyempatkan waktu berkumpul di pagi atau sore hari untuk sekedar meneguk secangkir kopi dan menghisap sebatang kretek, setelah itu mereka akan memulai aktivitasnya masing-masing.

Telat empat bulan dari kebiasaan waktu datangnya musim penghujan, desa Sambonglombok dan sekitarnya mengalami kekeringan hebat. Ini telah memasuki bulan Januari, yang oleh orang-orang disebut sebagai “hujan sehari-hari”, namun nyatanya belum sekalipun hujan mengguyur tanah-tanah mereka yang gersang dan kering-kerontang. Proyek pembangunan bendungan di ujung desa bagian barat diklaim warga sebagai penyebab hujan tidak segera turun.

Pimpinan proyek, Bang Kirman telah menyewa beberapa pawang hujan yang hebat untuk memindahkan hujan ke tempat lain, atau bahkan menahan hujan itu untuk tidak turun. Dia tentu tidak mau proyeknya rugi, atau ia akan dimarahi habis-habisan oleh Big bosnya karena pekerjaan terkendala oleh hujan. Jika hujan turun potensi banjir juga akan merusak plengsengan yang baru saja selesai dibangun oleh para pekerja.

Di desa-desa sekitar hujan sudah turun sejak dua bulan lalu, namun entah mengapa desa Sambonglombok tidak juga turun hujan. Sudah berkali-kali mendung mengabarkan akan datangnya hujan, lagi-lagi angin mengusir mendung-mendung itu dari langit Sambonglombok hingga hujan tak jadi turun. Kekeringan melanda di mana-mana, namun penduduk desa tak berani protes karena mereka takut dan khawatir akan tuah dari Mbah Djiwo. Mereka khawatir jika protes mbah Djiwo akan menyantet seluruh penduduk kampung, karena semenjak Mbah Djiwo diminta menahan hujan, sejak pembangunan bendungan itu tak sekalipun hujan turun. Aliran sungai pun mengering, karena Kali Kening yang membelah wilayah Sambonglombok dan sekitarnya berhenti di hulu, air tidak dibiarkan mengalir ke hilir.

Namun kali ini keadaan benar-benar tak terbendung, sore itu langit sebentar lagi akan menumpahkan butiran air matanya, Mbah Djiwo tidak bisa menyembunyikan kepanikannya, ia mondar-mandir di sekitar bendungan, jika sore itu hujan benar-benar turun maka habislah nama besarnya. Selain itu para pekerja baru saja mengecor plengsengan dan memasang batu bata pembatas dinding-dinding  bendungan, jika hujan turun maka pekerjaan itu akan berantakan dan sia-sia. Juragan Kirman pasti akan marah besar kepadanya, dan tentu yang paling mengkhawatirkan ia akan kehilangan upahnya sebagai pawang.

Di pojok kampung di punden desa, di bawah pohon kepoh besar dekat bendungan Sambonglombok, uba rampe telah dipasang, sapu gerang dengan posisi menghadap ke langit, lidi-lidi itu ditusuki cabai merah dan juga bawang merah, tampak pula setakir cok bakal yang berisi bunga setaman. Selain mengandalkan mantra penolak hujannya, Mbah Djiwo juga melakukan ritual memasang sesaji di punden desa, di bawah pohon kepoh di sebelah selatan bendungan. Namun sayang tampaknya kali ini sajennya tidak bisa membantunya mengubah keadaan. Entah uba rampe apa yang kurang, menurutnya semuanya telah komplit dan dipersiapkan dengan matang.

“Wah hujan sebentar lagi turun, bagaimana ini ! reputasiku sebagai dukun penolak hujan akan runtuh bersamaan dengan turunnya hujan” gumam Mbah Djiwo sambil menyedot kreteknya dalam-dalam.

Asap kretek itu kebal-kebul memenuhi angkasa yang semakin gelap, lelaki tua itu berfikir keras agar hujan bisa dicegahnya. Selama ini mantra dan sesaji yang dipasangnya cukup ampuh untuk menahan turunnya hujan. Namun kali ini ia benar-benar diambang kegagalan.

“Perawan Sunti !...iya perawan sunti ! hahaha...aku harus mencari gadis yatim yang ditinggal mati oleh bapaknya saat masih di dalam kandungan” teriak Mbah Djiwo girang.

Langit semakin gelap saja, guntur dan petir bersautan silih berganti, seakan mengejek Mbah Djiwo, dengan langkah mantap lelaki tua itu menuju warung, ia tersenyum penuh kemenangan.

“Eh...Mbah Djiwo, mari silahkan, silahkan Mbah” sapa Bejo agak gugup dengan kedatangan lelaki tua berjubah hitam itu.

“Eh..kamu Bejo, Samo, ya..ya, sini temani aku ngopi sambil rokok-rokok-an, nanti aku yang bayar semuanya” jawab Mbah Djiwo penuh keakraban.

Tidak biasanya Mbah Djiwo bersikap ramah terhadap penduduk desa, biasanya ia sangat dingin dan angker, begitu yang dipikirkan oleh Bejo dan Samo. Namun kali ini sikapnya lain, hangat dan penuh persahabatan. Entah angin apa yang membuatnya berubah. Mbah Djiwo duduk mendekat di samping Bejo dan Samo, ia menyodorkan kreteknya kepada dua orang itu sambil berbisik.

“Bejo, Samo...saya ada proyek buat kalian berdua, bayarannya gedhe, tugasnya ringan, mau kan ?

“Tumben Mbah ada proyek untuk kita, kita sih siap-siap saja mbah, bukan begitu Samo, kata Bejo.

“Hehe... iya Mbah, ada proyek pembangunan bendungan kita juga tidak kebagian, justru pekerjanya orang-orang dari luar daerah, kita ini jadi nganggur Mbah, padahal kita kan butuh ngrokok dan ngopi tiap hari mbah”.

“Tenang...tenanglah kalian berdua, sini aku bisiki” kata Mbah Djiwo sambil mendekatkan mulutnya ke telinga Samo dan Bejo.

“Ok mbah kita siap ! gampang itu”

“Haha... haha... haha” kemudian ketiga orang itu tertawa terbahak-bahak.

***

Langit sore semakin muram, mendung masih menggantung di langit, gerimis tipis-tipis mulai turun membasahi bumi. Suasana menjadi sepi. Dua sosok orang mengendap-endap mendekati belakang rumah Mbok Sri, seorang janda berputri tunggal. Suaminya telah meninggal dunia lima tahun yang lalu, saat anaknya masih di dalam kandungan.

Dengan cekatan dua sosok bayangan hitam melompati tanaman-tanaman perdu yang menjadi pagar belakang rumah Mbok Sri, kemudian dengan gerakan cepat dua sosok bayangan itu mengambil jemuran di dekat sumur, setelah menyelesaikan aksinya dengan tanpa meninggalkan jejak kedua bayangan itu pun menghilang di balik rimbunnya pepohonan.

***

          Pagi itu sangat cerah, matahari bersinar terang dan langit tampak membara. Tanda-tanda datangnya musim penghujan serta sisa-sisa mendung kemarin sore tidak nampak sama sekali, pohon-pohon layu,  sumur warga pun semakin mengering. Di sebuah warung kopi di pinggiran desa, dua orang tampak asyik menghisap kreteknya. Samo dan Bejo tertawa gembira.


Joyojuwoto, lahir di Tuban, 16 Juli 1981, Anggota Komunitas Kali Kening; Santri dan Penulis buku “Jejak  Sang Rasul” bisa dihubungi di WA 085258611993

Tidak ada komentar:

Posting Komentar