Jumat, 28 April 2017

Kartini, Perempuan Yang Menulis Hidupnya


Pic. Ikal Hidayat Noor
Kartini, Perempuan Yang Menulis Hidupnya
Oleh : Joyojuwoto

Kajian Komunitas Kali Kening sore ini dengan tema ” Perempuan Yang Menulis Hidupnya” tentu pas dengan momen hari Kartini. Saya merasa tema ini penting bahkan sangat penting, melihat fenomena perayaan Kartini, di seluruh penjuru negeri, yang semakin hari semakin jauh dari khittah tanggal 21 April, yaitu dalam rangka memperingati hari Kartini.

Walaupun tema yang diambil adalah secara umum mengenai permpuan yang menulis hidupnya, karena ini masih di bulan Kartini, maka tidak ada salahnya jika saya mengupas mengenai esensi perayaan hari Kartini. Hitung-hitung ini sebagai apresiasi dan penghormatan saya kepada seluruh pahlawan kehidupan, baik yang terdahulu, sekarang, dan yang akan datang.

Sejatinya bangsa ini perlu bertanya kembali, tepatnya bermuhasabah nasional, apa dan siapa itu Kartini. Apakah Kartini mengajak kita untuk berkonde dan berkebaya ? Apakah Kartini menyeru untuk bersolak-solek dan berbedak ria ? saya kira semua bisa menjawab dengan baik dan benar, bahwa sejatinya peringatan hari Kartini bukanlah untuk ajang fashion show, atau ajang rias pengantin. Mohon maaf jika saya agak keras menyindir perayaan-perayaan yang sedemikian.

Walaupun sebenarnya masih banyak deretan nama pahlawan perempuan yang juga banyak berjasa di negeri ini, namun saya memilih tidak akan mempermasalahkan, mengapa Pahlawan emansipasi kaum perempuan adalah Kartini, kok bukan yang lain yang lebih layak. Walau tentu tidak bisa dikatakan, Kartini tidak layak untuk menyandang gelar itu. Saya hanya ingin mempertanyakan  dan mempermasalahkan mengapa perayaan hari emansipasi dan keseteraan kok dimaknai dengan tusuk konde, dan pakaian kebaya, apa ini tidak aneh dan bias ?

Peninggalan Kartini sangat jelas, tulisan-tulisannya yang kemudian disusun dan diterbitkan menjadi sebuah buku yang berjudul “Door Duisternis to Light” yang oleh Armin Pane kemudian diterjemahkan menjadi “Habis Gelap Terbitlah Terang.” Dari sini tentu bisa kita maknai, bahwa sejatinya peringatan Kartini adalah peringatan terhadap dunia literasi. Jadi jika sebuah lembaga pendidikan atau instansi pemerintahan atau siapa saja yang akan memperingati hari Kartini seyogyanya menjadikan hal ini sebagai acuan.

Ya, Kartini dikenang karena surat-suratnya, Kartini diperingati karena usahanya, menuliskan segala keresahannya terhadap adat yang membatasi gerak aktivitas kaum perempuan, berbicara Kartini sejatinya adalah berbicara mengenai literasi itu sendiri.

Jadi kalau mau membuat lomba peringatan hari Kartini, ya buatlah lomba menulis surat, lomba membuat cerpen, lomba nulis puisi, membuat opini dan lain-lain yang berkaitan dengan dunia literasi. Kalau memang menulis masih dianggap sesuatu yang susah kita perlu usaha, perlu berjuang, panggil itu, aktivis literasi dari Kali Kening untuk memberikan pelatihan menulis.

Ada Mas Ical yang jago ngegombal dan membual di jalan yang benar, akhirnya terbitlah buku-buku puisi dan cerpennya yang cetar membahana. Ada mas Blind yang selalu menulis di lembar-lembar dedaunan dan tanaman bunga yang tidak pernah dipetiknya, ada juga Mas Senja yang jika melihat warna agak gelap agak terang jadi tulisan,  Ada Mbak Sun, yang  tiap matanya memandang lakon hidup, selalu jadi cerita yang menarik, dan tentu ada Mas Rohmat, maskotnya Kali Kening, ada Mbak Linda Iconnya Kali Kening, kalau sudah berlabel maskot dan icon tak usahlah bertanya macam-macam, ikuti saja, sami’na wa ato’na, beres jadi tulisan dah pokoknya.

Lha setelah ada kegiatan pelatihan menulis, boleh tu disertakan juga lomba memasak bagi ibu-ibu PKK, biar panitia tidak usah menyediakan snack untuk pelatihan, tinggal nanti sekalian anggota Komunitas Kali Kening yang menjadi tutor menulis sekalian menjadi juri lomba memasak. Bereskan, sekali dayung tiga pulau terlampaui.

Kembali ke Kartini, bahwa sesungguhnya demi sejarah yang sebenar-benarnya ada baiknya kita berani out off the box, mengubah cara berfikir secara nasional mengenai ritual perayaan Kartini yang hanya sekedar ritual jasmani ditingkatkan kelasnya, menuju ritual pikiran, dari sekedar ritual kebaya, konde dan tata rias menjadi ritual literasi dengan seluruh anak turunnya. Karena sejatinya Kartini tidak meninggalkan butik tradisional, namun Kartini meninggalkan ide dan pikiran.

Selamat berliterasi dan selamat Hari Kartini.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar