Selasa, 13 Juni 2017

Berkomunikasi Dengan Semesta Menciptakan Harmoni Bersama

Berkomunikasi Dengan Semesta Menciptakan Harmoni Bersama
Oleh : Joyo Juwoto

Alam semesta dengan segala isinya diciptakan Tuhan untuk saling berinteraksi dan menjalin hubungan komunikasi yang baik diantara makhluk Tuhan. Manusia sebagai makhluk Tuhan yang mendapatkan tugas sebagai khalifah fil ardh, bisa menjalankan tugas kekhalifahannya dengan baik selagi manusia mampu menjalin komunikasi dengan alam. Untuk berkomunikasi dengan alam, baik dengan batu, dengan debu, dengan tanaman, hewan, angin, hujan dan lain sebagainya, maka manusia perlu memahami pola interaksi dan komunikasi dengan semesta ini. Jika interaksi dan komunikasi ini berjalan dengan baik maka simponi harmoni semesta akan terjaga.

Pada dasarnya tiap-tiap makhluk di semesta raya ini, baik itu makhluk hidup ataupun benda mati memiliki jiwa, memiliki inti yang menjadi dasar tersusunnya komponen makhluk yang diciptakan oleh Tuhan. Dari hal yang dasar inilah makhluk-makhluk bisa mengembangkan pola berkomunikasi. Kita tidak heran dalam peradaban yang pernah dicapai bangsa Nusantara ada manusia yang mampu membaca dan menerjemahkan tanda-tanda alam, seperti Jangka Jayabaya, ramalan Ronggowarsito, dan masih banyak lagi contohnya. Sekilas mungkin ada yang mengatakan bahwa orang yang mampu menahan hujan, mampu mengusir angin ribut, menaklukkan petir adalah orang yang mengamalkan klenik dan ilmu hitam. Namun jika kita mau arif dalam memahami pola komunikasi yang dibangun oleh para pawang tersebut tentu kita tahu bahwa yang sedemikian itu bisa dijelaskan dengan akal sehat dan ilmiah.

Kata kunci dari hal-hal yang kelihatan tidak masuk akal di atas adalah pola interaksi dan komunikasi dengan semesta. Ambil contoh saja petani pada zaman dahulu, untuk menentukan masa bertanam biasanya para petani membaca tanda-tanda alam, apakah saat bertanam itu sudah masuk musim penghujan atau belum. Ayah saya dulu sebelum bertanam padi biasanya melihat tanda-tanda dan posisi bintang di langit. Dalam kearifan lokal masyarakat Jawa jika akan memulai bertanam biasanya menunggu munculnya bintang waluku (mata bajak) di waktu subuh, ini adalah salah satu contoh dari pola komunikasi yang dibangun oleh manusia dengan alam.

Namun sayang kearifan-kearifan lokal yang sedemikian ini mulai bergeser akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga manusia tidak lagi memahami pola komunikasi dengan semesta, namun lebih mengandalkan pada teknologi, karena dianggap lebih mudah dan cepat. Tidak ada yang salah dengan perkembangan teknologi dalam berbagai bidang kehidupan, namun yang menjadi masalah adalah hubungan manusia dengan alam sudah tidak lagi sinergis namun lebih pada penguasaan terhadap sumber daya alam. Akibatnya alam tidak terjaga dengan baik dan menjadi rusak, karena pola komunikasi yang dikembang manusia sekarang adalah model eksploitasi bukan sinergi.

Tepat sekali Al Qur’an menggambarkan kerusakan alam akibat dari ulah manusia, hal ini tentu karena manusia menerapkan pola interaksi dan komunikasi yang salah. Dalam surat Ar-Rum ayat 41 Allah berfirman :

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ (٤١)
Artinya :“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).

Oleh karena itu mari kembali merekonstruksi cara berkomunikasi dengan semesta untuk menciptakan harmoni bersama, dari mengeksploitasi menjadi bersinergi dan membangun kerjasama yang baik dengan alam, karena pada dasarnya alam semesta adalah kesatuan dari makhluk Tuhan yang fungsinya membersamai manusia mewujudkan tata kelola kehidupan yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur, untuk mencapai kemakmuran bersama dalam bingkai kehidupan yang rahmatan lil ‘alamin.

Joyo Juwoto, Santri Pondok Pesantren ASSALAM Bangilan Tuban. Telah menulis dua buku solo, Jejak Sang Rasul (2016); Secercah Cahaya Hikmah (2016), dan menulis beberapa buku antologi.”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar