Kamis, 08 Juni 2017

Wudhu Kebangsaan Dalam Merawat Kebhinekaan Tunggal Ika

Google
Wudhu Kebangsaan Dalam Merawat Kebhinekaan Tunggal Ika
Oleh : Joyo Juwoto


Kebhinekaan akhir-akhir menjadi sesuatu yang mahal, entah apa yang sedang menimpa bangsa ini, orang-orang seakan lupa dengan sejarah bangsa dan leluhurnya sendiri. Telah berlangsung berabad-abad silam, mulai era Mataram kuno, perbedaan adalah sesuatu yang sangat wajar, antara pemeluk Hindu dan Budha bisa hidup rukun, saling saling bertetangga dan bekerjasama, tak ada diskriminasi dan ujaran kebencian diantara mereka. Semua kompak membangun sinergi bersama mewujudkan tata kehidupan yang damai sentausa.

Pun demikian yang terjadi pada masa Kerajaan Majapahit, perbedaan-perbedaan adalah hal yang wajar dan lumrah, nilai-nilai Bhineka Tunggal Ika tumbuh subur berkembang diantara pemeluk agama Siwa, Budha, dan penganut ajaran Jawa, sehingga saat itu muncul istilah Siwabodja, kepanjangan dari Siwa, Budha, dan Jawa.

Bahkan produk istilah dari Bhineka Tunggal Ika ini muncul abad ke-14 masa kerajaan Majapahit, yang termaktub dalam Kakawin Sutasoma karangan Mpu Tantular. Bhineka berarti "beraneka ragam" Tunggal "satu" sedang Ika bermakna "itu", yang kemudian diartikan sebagai beraneka ragam itu satu, atau berbeda-beda tetapi tetap satu jua.

Kemudian di era Walisongo, toleransi di dalam perbedaan juga sangat baik, perbedaan itu tidak hanya terjadi di dalam satu kelompok agama saja, bahkan antar agama dan keyakinan. Lihatlah betapa arif dan bijaksananya Kanjeng Sunan Ja'far Shodik, saat di mana pemeluk Hindu di Kudus mendewakan sapi, tidak lantas beliau memerintahkan umat Islam menyembelih sapi saat bulan kurban. Walau di dalam ajaran Islam diperbolehkan menyembelih sapi, namun Kanjeng Sunan lebih memilih menyembelih kerbau, demi toleransi dan menjaga perasaannya pemeluk agama Hindu.

Begitulah memang ajaran yang dicontohkan oleh para Walisongo kepada umatnya. Jika kita merasa bagian dari Walisongo maka hendaknya kita teladani, akhlaq dan perilaku dari beliau-beliau. Jangankan dengan sesama muslim, orang yang di luar keyakinannya saja dihormati. Subhanallah, semoga kita bisa meneladani karakter dan fiqh dakwahnya para Sunan.

Jadi bangsa kita ini sudah sangat kenyang dengan yang namanya perbedaan. Jika sekarang orang-orang sama teriak mempertanyakan kebhinekaan, maka kita harus memutar waktu, melihat kembali perjalanan sejarah bangsa ini.

Jangan sampai kita lupa sejarah, hanya karena ego, hanya karena kebencian, hanya karena kepentingan sesaat kita melupakan nilai kebhinekaan yang telah diwariskan oleh nenek moyang kita.
Untuk menumbuh kembangkan kembali spirit Kebhinekaan Tunggal Ika, hendaknya kita menyadari bersama, secara arif dan bijaksana bahwa kehidupan berbangsa dan bernegara ini tidak diibaratkan sebagai sebuah bangunan besar, rumah besar, yang masing-masing komponen harus saling menjaga dan saling menguatkan. Mustahil sebuah bangunan hanya terdiri dari genting saja, mustahil bangunan hanya tersusun dari kerangka kusen-kusen saja. Ada banyak hal, banyak variabel, banyak unsur untuk membangun rumah kebangsaan.

Masing-masing komponen bangunan kebangsaan yang beragam dan berbeda itu tentu memiliki fungsi dan peran yang berbeda, namun pada dasarnya punya tujuan yang sama, yaitu terbentuknya bangunan kebangsaan yang kokoh dan kuat.

Oleh karena itu, mari bersama merawat kebhinekaan mulai dari yang paling mudah, mulai dari yang paling dekat dengan kita, mulai dari keluarga kita, kerabat kita, dan tetangga tetangga kita. Jangan sampai kita perturutkan hawa nafsu yang akhirnya justru itu merusak tali rajutan Kebhinekaan yang Tunggal Ika yang kita dengang-dengungkan bersama.

Mari bersama mengambil ulang air wudhu kebangsaan, untuk menyucikan kembali Bhinneka Tunggal Ika kita, yang mungkin telah batal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar