Indahnya
Persaudaraan
Oleh
: Joyo Juwoto
Telah
dua kali saya berkunjung ke Madiun, dalam rangka nyekar dan mendoakan para Kadang sepuh yang telah mendahului kita
semua. Selain itu tentunya sekalian
saturrahim kepada saudara-saudara tunggal banyu, tunggal kecer di Padepokan Agung Setia Hati
Terate Madiun, Jalan Merak, Nambangan Kidul Kota Madiun.
Satu
hal yang membuat saya terkesan adalah sambutan para kadang di Madiun yang cukup
welcome. Kami sebelumnya tentu belum pernah ketemu dan tidak pernah kenal
sebelumnya, tetapi saya dan rombongan yang saat itu berkunjung di Padepokan
Agung sangat terkesan dengan sambutan dari para kadang di Padepokan Agung.
Memang hal yang sedemikian bukan suatu hal yang aneh di Persaudaraan Setia Hati
Terate (PSHT). Jika kami berkunjung di tempat lain pun saya kira demikian
sambutannya kepada saudara-saudaranya.
Inilah
indahnya rasa persaudaraan yang dibangun dan menjadi landasan filosofis dalam
berorganisasi di PSHT, sehingga saya perlu menuliskan sedikit kesan saya
khususnya, dengan para kadang yang ada di Madiun, terkhususnya lagi kepada
Pamter Pusat Madiun, kepada Mas Toro (Mas Subiantoro), Mas Narko dan kepada Mas
Bagus yang telah menerima kedatangan kami serombongan malam-malam hari, dengan
penuh keakraban dan rasa paseduluran yang sejati.
Benar
sekali pesan yang diwejangkan oleh kadang sepuh bahwa “Nek ana sedulure
teko, mbuh iku awan, mbuh iku bengi, bukakno lawang sing amba, mengko awakmu
bakal entuk hikmahe”, ( jika ada saudaramu datang, entah itu siang, entah
itu malam, maka bukakan pintu lebar-lebar, maka engkau nanti akan ketemu
hikmahnya). Wejangan ini sering kita dengar, dan kelihatannya mudah sekali,
namun pada kenyataannya tidak semua orang mampu melakukan ini.
Saya
sangat terkesan dengan sambutan Mas Toro dan Mas Narko, yang telah menemani
kami menikmati hangatnya wedang cemoe di warung dekat Padepokan. Walaupun saat
itu hari telah malam, dan suasananya hujan rintik-rintik, kami diantar Mas Toro
ziarah ke Maqamnya Mbah Harjdo Oetomo di Pilang bango, kemudian mengunjungi
Padepokan Luhur, dan bersilaturrahmi dengan Mas Toyo.
Walau
saat itu hari sudah malam, sekitar pukul 21.00 WIB, cuaca langit Madiun sedang
dingin karena hujan yang mengguyur sejak sore hari, namun dengan santainya Mas
Toro mengetuk pintu rumah, Mas Toyo.
“Santai
wae mas, dalu-dalu gak popo. Mas Toyo wis kenek sumpah nek ana dulure teko
kapan bae kudu mbukakno lawang” Kata mas Toro sambil tertawa ringan tanpa
beban.
Setelah
diketuk beberapa kali akhirnya pintu rumah Mas Toyo pun terbuka. “Eh, sampeyan
toh Mas” kata Mas Toyo.
“Enggih
mas, niki wonten derek Tuban badhe ziarah teng Padepokan Luhur” Jawab Mas Toro.
Kemudian
kami pun dipersilahkan masuk ke padepokan, di situ kami napak tilas ndalemnya
pendiri PSHT, Mbah Hardjo Oetomo. Mas Toyo pun menerangkan tempat-tempat yang
dulu dihuni oleh Mbah Hardjo, termasuk juga, Mbah Harsono juga pernah tinggal
di rumah pusaka itu. Mbah Harsono adalah putra dari Mbah Hardjo Oetomo.
Setelah
puas napak tilas di Padepokan Luhur, akhirnya kami melanjutkan perjalanan
menuju Maqamnya Raden Mas Imam Koesoepangat. Dengan sabar dan dengan senyumnya yang
cerah Mas Toro mengantar kami berziarah di Maqamnya Pendekar yang mendapat
julukan Pendita Wesi Kuning. Dari maqamnya Mas Imam ini kami meluncur ke
ndalemnya Mas Bagus.
Menurut
Mas Toro, Mas Bagus jam malam baru bisa ditemui, karena beliau baru perjalanan
pulang dari Pekalongan hingga malam baru bisa ditemui. Saya sendiri
membayangkan, setelah perjalanan jauh kok ya mau-maunya menerima tamu, Apa
tidak capek, apa tidak ngantuk, begitu pikir saya. Begitulah kalau seseorang
itu sudah selesai dengan dirinya, maka tidak ada sesuatu yang menjadi masalah
baginya. Dan saya merasa Mas Bagus orangnya seperti ini, selesai dengan dirinya
sendiri.
Sesampai
di ndalemnya Mas Bagus, kami pun bersalaman. Mas Bagus menyambut kami dengan
gembira, selanjutnya beliau menawari kami makan. Kemudian beliau meminta salah
satu adang untuk membelikan kami makan. Sambil menunggu makan inilah beliau
bertanya tentang tujuan kami jauh-jauh datang dari Tuban ke Madiun.
Percakapan
pun semakin gayeng dan akrab, kapan-kapan kalau ada waktu saya akan
merangkumkan obrolan kami dengan Mas Bagus, atau tepatnya wejangan Mas Bagus
kepada kami tentang ilmu Setia Hati Terate
dalam prespektif santri. Begitu juga kalau ada waktu saya ingin menulis
tentang ramahnya Mas Toro dan senyumnya yang penuh dengan keakraban dan
persaudaraan.
Karena
makanan telah datang, kami pun menikmati sensasi nasi pecel khas kota gadis.
Semoga di lain waktu, kami bisa mengunjungi dan bersilaturrahmi kembali dengan
kadang-kadang di Padepokan Agung Punjer Madiun.
Terima
kasih Mas Toro atas waktunya, terima kasih kepada para kadang yang tidak dapat
saya sebutkan satu persatu namanya, dan terima kasih juga kepada Mas Bagus atas
segala sambutan dan wejangannya, semoga ada manfaat yang dapat kita raih
bersama. Aamin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar