Kamis, 21 Desember 2017

Ajaran Dari Raden Sosro Kartono

Google.com
Ajaran Dari Raden Sosro Kartono   
Oleh : Joyo Juwoto


Hari-hari ini saya sedang gandrung-gandrungnya menyanyikan lagu yang digubah oleh Sujiwo Tejo yang diadobsi dari ajaran Raden Sosro Kartono, kakak dari Pahlawan emansipasi wanita Indonesia, Raden Ajeng Kartini.   Lagu ini saya pakai rengeng-rengeng sambil saya resapi dan saya selami makna dan artinya.

Selain menelusuri arti dan makna, saya juga berusaha menangkap daya kekuatan dan mewadahi cahaya spiritual yang terpancar dari setiap kata-kata yang terangkai dalam falsafah tersebut, agar lagu ini tidak hanya sekedar lagu namun memiliki kekuatan positif yang merasuk dalam setiap pori-pori kehidupan.

Berikut saya kutipkan syair dari lagu berbahasa Jawa tersebut :

Sugih tanpa bandha
Digdaya tanpa aji
trimah mawi pasrah
sepi pamrih, tebih ajrih

Langgeng tanpa susah, tanpa seneng
anteng mantheng
sugeng jeneng”

         
Bagi masyarakat selain Jawa tentu akan kesulitan memahami bahasa tersebut, namun juga tidak menjamin setiap orang Jawa telah paham falsafah agung yang terangkai dalam bahasa ibu mereka. Ajaran dalam syair lagu ini memang menggunakan kata-kata yang berlapis, yang harus kita kupas satu persatu isi dan maknanya.


Sugih tanpa bandha
Falsafah sugih tanpa bandha ini mengingatkan saya dengan sebuah mahfudhot yang berbunyi “Al Ghaniyyu Ghaniyyun Nafsi” artinya orang yang kaya itu adalah yang kaya jiwanya. Kekayaan yang kita miliki harus kita sadari bahwa itu hanyalah titipan belaka, kekayaan itu hanya akan menjadi benda material belaka tanpa arti, yang tidak akan kita bawa mati kecuali harta yang kita pakai untuk kebaikan.

Didaya tanpa aji
Digdaja tanpa aji memiliki makna kuat tanpa perlu memakai azimat. Seseorang kadang menginginkan punya kesaktian lebih dengan laku tirakat, mengamalkan ilmu-ilmu kedigdayaan agar sakti mandraguna. Tapi pada hakekatnya tidak ada yang memiliki kekuatan dan kesaktian kecuali hanya Tuhan. Dalam falsafah Jawa lainnya dikatakan “Ora ana kasekten kang bisa madani pepesthen” tidak ada kesaktian  apapun di dunia ini yang mampu menolak takdir dan kepastian dari Tuhan. Oleh karena itu jika kita memiliki kesaktian dan kekuatan linuwih jangan merasa sombong, karena di atas langit masih ada bentangan langit yang tak terbatas.

Tidak ada di dunia ini kesaktian dalam bentuk apapun yang tidak memiliki kelemahan, hanya kebaikan dan sifat luhur budi saja yang akan bertahan di setiap waktu dan tempat. Sura dira jaya diningrat lebur dening pangestuti.

Trimah mawi pasrah
Menerima segala takdir dan ketentuan Tuhan adalah cara terbaik dalam menjalani laku kehidupan. Orang Jawa mengatakan “Urip mung sakderma nglakoni” hidup hanyalah sekedar menjalankan titah Tuhan di muka bumi. Oleh karena itu kepasrahan kepada segala ketentuan dan garis Tuhan adalah cara terindah dalam menjalani takdir kita di dunia ini. Setiap saat pujian dan doa kita hanyalah “alhamdulillah”.

Sepi Pamrih, Tebih ajrih
Sepi ing pamrih rame ing gawe, sudah menjadi sesanti masyarakat kita. Hidup tak memiliki pamrih untuk hidup itu sendiri, namun hidup hanyalah untuk Yang Maha Hidup. Hidup hanya untuk Tuhan, jalan ketuhanan, dari Allah untuk Allah dan menuju Allah. Oleh karena itu tidak perlu kita takut dengan kehidupan ini. Doa yang kita panjatkan adalah “laa hawwla wa laa quwwata illa billah”.

Jika empat point ajaran di atas telah merasuk dalam jiwa dan kehidupan kita maka hal yang akan kita capai adalah “langgeng tanpa susah, tanpa seneng”. Kita akan mencapai maqam yang oleh Cak Nun dikatakan sebagai “Laa syarqiyyah wa laa gharbiyyah” maqam yang dalam dunia pewayangan digambarkan sebagai sosok Semar. Sosok yang telah memahami alam hakekat, sehingga baginya antara senang dan susah tidak ada garis pemisah.

Anteng Mantheng adalah sikap batin yang telah mencapai kesejatian hidup, jiwanya tidak goyah dan terpesona dengan gebyarnya dunia. Hatinya tenang tidak tergoda dengan segala tetek bengeknya dunia. Orang yang hatinya anteng mantheng tinggal selangkah menuju singgahsana Tuhan. Bahkan Tuhan dengan mesra akan memanggilnya “Yaa ayyatuhan nafsul muthmainnah, irji’ii ila Rabbiki raadiyatam mardiyyah, fadkhulii fii ibaadii fadkhulii jannatii”.


Jika seseorang telah anteng dan  mantheng hatinya maka dipastikan kelak ia akan mendapat sebutan yang baik atau sugeng jeneng, ingkang suwargi, atau dalam bahasa agamanya dikenal dengan sebutan almarhum yang hidup di alam keabadian dan kelanggengan.

4 komentar:

  1. Empat poin yang mengajarkan pada kita, bahwa di dunia ini kita hanya sekedar mampir ngombe lan numpang ngiyup.
    Jadi, kita harus selalu bersyukur dan tak perlu sombong.

    Matur suwun atas pencerahannya, Mbah..

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus