Pages - Menu

Selasa, 16 Januari 2018

Durian Jlodro dan Misteri Situs Watu Jajar

Durian Jlodro dan Misteri Situs Watu Jajar

Oleh : Joyo Juwoto

Seperti yang telah saya tuliskan kemarin tentang perburuan buah durian di desa Jlodro Kec.  Kenduruan, ada hal lain yang sederhana namun cukup menarik yang ingin saya ceritakan kembali di blog saya ini. Sekitar pukul 14.30 WIB kemarin saya meluncur dengan gembira ceria ke Jlodro dengan berboncengan motor bersama istri dan kedua anak saya, Naila dan Nafa.

Di sepanjang perjalanan udara cukup sejuk karena cuaca agak mendung sehingga terik matahari tidak sempat menyentuh kulit kami. Alam siang itu cukup bersahabat sehingga kami bisa menikmati pemandangan yang cukup indah di sepanjang jalan yang kami lewati. Terlebih jalan yang kami lewati banyak melintasi hutan, tentu pepohonan-pepohonan menjadi hiasan di pinggir-pinggir jalan.

Lepas dari hutan di sebelah barat desa Sidotentrem, kami masuk desa Nglateng yang sudah masuk wilayah Kec. kenduruan. Nglateng ini mengingatkan kenangan saya sekitar 25 tahun silam. Tepatnya saat saya masih duduk di sekolah dasar. Saat itu kami siswa SDN Sidotentrem 02 mengadakan penjelajahan alam, berjalan dari  desa Sidotentrem menuju sendang yang berada di desa Nglateng. Pembina Pramuka kami adalah Pak Didik (bapak Hadi Yuswanto). Kenangan penjelajahan alam melintasi hutan itu cukup terkenang hingga saat ini, saya memang sangat menyukai kegiatan jelajah alam dan blusukan ke hutan-hutan.

Sejak dulu desa Nglateng terkenal sebagai sentra buah jambu mente. Biasanya jika musim berbuah, para penjual jambu mente menjajakan buah yang berasa nyegrak ini hingga ke desa di mana saya tinggal. Buah jambu mente ini bisa langsung dimakan atau di masak sebagai oseng-oseng. Dan yang paling saya suka buah ini dirujak pedas saat siang hari. Wuih, rasanya mantap sekali.

Sekarang desa Nglateng selain terdapat pohon jambu mente, di pekarangan rumah warga tumbuh pula pohon rambutan. Pohon-pohon itu ternyata juga berbuah cukup lebat, sayang saya belum bisa menikmati buah-buahan yang banyak tumbuh di daerah dingin itu. Ternyata selain durian di Jlodro yang akan saya kunjungi di daerah sini juga tumbuh pohon rambutan.

Di desa Nglateng ini terdepat sebuah situs yang oleh masyarakat dikenal dengan nama situs watu wayang. Sayang sekali situs yang terletak di pinggir lapangan dekat jalan raya ini sudah rusak. Kemarin saya lihat tinggal satu batu yang menonjol di sana. Saya sendiri tidak begitu paham apa itu situs watu wayang. Dari namanya mungkin di situ dulu ada batu-batuan yang mirip dengan wayang sehingga disebut sebagai watu wayang. Menurut penduduk sekitar sisa-sisa dari situs watu wayang ditaruh di lokasi sendang Nglateng. Saya pernah melihat batu itu, memang ada kemiripannya dengan tokoh-tokoh dalam wayang kulit.

Setelah melewati desa Nglateng perjalanan saya lanjutkan ke arah desa Jamprong. Sebuah desa yang terletak diketinggian perbukitan. Pemandangan di desa ini cukup eksotis dengan hamparan sawah yang berundak-undak. Rumah-rumah penduduk berjajar di sisi kiri dan kanan jalan, rumah-rumah itu berada di bawah jalan raya yang saya lewati. Beberapa bulan yang lalu di Jamprong ini terdapat pengeboran minyak, namun sekarang sudah berhenti beroperasi, saya tidak begitu paham mengapa demikian.

Setelah sampai di puncak desa Jamprong perjalan saya sudah mendekati lokasi durian Jlodro, tinggal satu melewati satu desa lagi yaitu Sokogunung. Sebelum memasuki Sokogunung kami harus melewati hutan kembali. Udara sore itu semakin sejk dengan pohon-pohon jati yang cukup lebat. Di tengah perjalanan saya melihat nenek-nenek berjalan menenteng ember. Setelah dekat ternyata si nenek ini membawa jamur dari hasil berburu di tengah hutan.

Saya pun berhenti, istriku yang tahu kala saya penyuka jamur serta merta mendekati nenek tadi. “Nek, jamure disade? tanya istri sambil mendekati nenek pemburu jamur. “Enggih Ning, mangga yen badhe ditumbas jamure” jawab si nenek. “Pinten mbah, jamurnya? tanya saya. “Kalih Doso mawon, Gus”. Kemudian istri saya pun mengeluarkan selembar uang dua puluh ribu dan memberikannya kepada si nenek. Sebagai gantinya jamur itu pun kami bawa untuk kami masak di rumah.

Saat ini memang lagi musimnya jamur, namun tentu butuh perjuangan untuk mencarinya. Di pasar jamur hasil budi daya memang banyak dijual, namun saya lebih suka jamur liar hasil budi daya alam. jadilah kami membawa seember jamur sebelum sampai ke tujuan yaitu berburu durian.

Tak berselang lama, setelah perjalanan  melewati hutan sampailah kami di Sokogunung, walau namanya Sokogunung yang berarti tiangnya gunung tapi saya tidak melihat mana tiangnya dan mana gunungnya. Ya mungkin ini hanya sekedar nama saja, dan gunung yang dimaksud adalah bukit-bukit kecil yang oleh masyarakat setempat disebut sebagai gunung, bukan gunung dalam pengertian yang sesungguhnya.

Dahulu memang desa Sokogunung, Jlodro, dan termasuk Jamprong memang berada di pedalaman hutan, dan topografinya memang perbukitan. Desa Sokogunung ini berbatasan langsung dengan desa Jlodro. Di Jlodro inilah seperti saya ceritakan di tulisan pertama saya terdapat pohon durian yang sedang berbuah.  Dan ini adalah akhir dari perburuan kami sesudah mendapatkan seember jamur hutan.

Selain berpotensi menjadi daerah wisata durian, desa Jlodro juga memiliki potensi wisata sejarah. Di Jlodro terdapat situs yang disebut sebagai situs watu jajar. Oleh masyarakat setempat lokasi situs ini dijadikan punden desa yang mana tiap tahunnya sesudah musim panen diadakan upacara bersih desa, atau manganan.

Situs watu jajar ini kemungkinan adalah kuburan kuno masyarakat awal yang mendiami pegunungan kendeng utara, yaitu masyarakat kalang, atau wong kalang. Tentu perlu studi mendalam untuk menentukan apa sebenarnya situs watu jajar tersebut. Tentu pihak pemerintah desa dan dinas terkait yang memiliki wewenang untuk membongkar misteri di balik watu jajar yang ada di wewengkon desa Jlodro Kec.Kenduruan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar