Selasa, 13 Maret 2018

Jalan Musyahadah-Nya

Jalan Musyahadah-Nya
Oleh : Joyo Juwoto

Simbol  atau rupa memang penting, tapi lebih penting lagi adalah dzat atau esensi, rupa bisa berubah-ubah sesuai dengan kondisi ruang dan waktu namun dzat adalah abadi dan satu. Rupa bisa beraneka, tapi dzat adalah tunggal berdiri sendiri, bebas dari nilai, tidak terikat dengan berbagai macam pertanyaan, apa, siapa, di mana dan mengapa.

Dzat tidak perlu ditanyakan sebagai apa, karena Dia adalah yang mencipta apa itu sendiri, dzat tidak perlu ditanya-tanya sebagai siapa, karena siapa tidak pernah ada tanpa dzat, dzat tak perlu ditanyakan di mana dan sedang mengapa, karena pertanyaan-pertanyaan pencarian itu hanya untuk sesuatu yang tidak ada atau belum ada dan baru diadakan oleh sang maha dzat itu sendiri.

          Dalam sebuah filosofi kejawen dikatakan: “Yen mung rupa sing gawe atimu tresna, banjur kepriye anggonmu tresna marang Gusti kang tanpa rupa?” Kalimat ini sangat menggodaku, dan membawa kesadaranku untuk berusaha memahami isi yang tersurat maupun yang tersirat dari ajaran adiluhung khasanah kejawen di atas.

          Setiap orang tentu pertama kali yang dikenalinya adalah rupa, lalu apakah Gusti yang tanpa rupa tidak bisa dikenali? Jika kita melakukan persaksian tentu harus ada yang disaksikan, mustahil mengatakan dan mengikrarkan persaksian jika tidak tahu siapa yang disaksikan. Lalu bagaimana nasib iman kita yang bersaksi tanpa melihat persaksian itu sendiri?

          Orang-orang yang telah melakukan persaksian dengan sebenar-benarnya maka ia tidak akan mudah terlena dengan rupa, tidak akan tergoda oleh citra, tidak mudah tertipu dengan berbagai macam nama dan sebutan. Menurut orang Jawa orang yang sedemikian ini telah menguasai ilmu sastra jendra, ilmu kawruh tentang esensi tekstual maupun konstektual yang tergelar dalam jagad cilik dan jagad gede kehidupan.

          Persaksian atau dalam bahasa arab disebut musyahadah adalah awal perkenalan untuk menuju gerbang keselamatan. Oleh karena itu seseorang yang menginginkan keselamatan maka hendaknya ia melakukan persaksian kepada Allah dan Rasul-Nya dengan cara mengucapkan syahadat yang sebenar-benarnya.

          Musyahadah kepada Allah dan Rasul-Nya memang tidak mudah, kalimat itu tidak hanya sekedar diucapkan tanpa kita tahu apa yang kita ucapkan, tidak sekedar mencintai nama, tidak sekedar terlena dengan rupa, namun bermusyahadah harus dilakukan dengan penuh mujahadah hingga kita sampai kepada Dzat-Nya. Di dalam risalah Qusyairiyah dikatakan : “Barang siapa yang menghiasi dirinya dengan mujahadah, niscaya Allah akan memperbaiki hatinya  dengan Musyahadah”.

          Untuk menggapai jalan musyahadah memerlukan mujahadah, kesungguhan untuk benar-benar ingin berma’rifat kepada-Nya. Usaha lahir batin dan bertahap, setapak demi setapak, penuh kesabaran melakukan suluk kepada-Nya. Mulai dari jalan syariat, thariqat, hakekat, hingga puncaknya jalan ma’rifat. Perjalanan musyahadah ini tidak bisa dilakukan dengan sepontan dan tergesa, melompat dari satu langkah ke langkah yang lainnya, harus berurutan dan penuh dengan kesabaran, dengan penuh mujahadah.

          Imam Al Junaid mengatakan, bahwa: “Musyahadah adalah nampaknya Al Haq di mana alam perasaan sudah mati”. Jika seseorang telah bermusyahadah maka dirinya akan fana’, alam dan semua makhluk tiada, lebur dan sirna, yang wujud hanya Sang Khaliq, Allah Swt.


          Oleh karena itu jika seseorang telah terbuka hijabnya untuk bermusyahadah maka ia akan mengetahui Dzattullah, mengetahui segala rahasia yang tersembunyi dalam tabir rahasia yang berlapis dan bermukasyafah dari segala yang ghaib. Wallahu a’lam bis showab.

1 komentar:

  1. Sepertinya ilmuq dan imanq masih jauh u memahami tulisan ini.tapi bagus...😊

    BalasHapus